Namanya Kinasih. Sejak kecil, ia terbiasa hidup dengan segala ketepatan jadwal: pukul enam bangun, pukul tujuh sarapan, pukul delapan belajar, dan begitu seterusnya. Ketika dewasa, ia baru sadar ada satu hal yang tak bisa ia jadwalkan: kapan cinta akan benar-benar siap.
Malam itu, ayahnya memanggilnya ke ruang tamu. Di atas meja, sudah tersaji teh manis dan sepucuk amplop cokelat. Kinasih merasakan firasat yang membuat tengkuknya dingin.
"Ini lamaran dari keluarga Pak Wirya," ucap ayahnya, menatap lurus ke matanya.
"Beliau ingin segera memastikan tanggal."
Kinasih menunduk. Ia menahan gemetar di dadanya. Tanggal. Betapa mudah orang-orang memutuskan sesuatu hanya dengan menetapkan tanggal. Padahal di hatinya, ada satu nama yang belum selesai: Saka.
Saka tidak datang dengan cincin mahal. Ia datang dengan kepolosan yang membuat Kinasih jatuh hati: sepeda motor butut, tas selempang lusuh, tapi mata yang selalu berbinar kalau menatap masa depan bersama.
"Aku sedang belajar memperbaiki diri," kata Saka dulu, pada senja yang basah. "Aku tak mau datang ke orang tuamu hanya dengan janji kosong."
Dan Kinasih percaya. Ia percaya pada proses yang pelan. Namun, waktu tak mau menunggu. Waktu, bersama segala tuntutannya, mengetuk pintu rumahnya malam ini.
Ayahnya menatapnya lagi. "Kalau kamu mau menolak, katakan sekarang. Ibu sudah tak kuat mendengar gunjingan tetangga."
Kinasih ingin berteriak, ingin memprotes mengapa kebahagiaan perempuan selalu diukur dari cepat-lambatnya menikah. Tapi lidahnya kelu. Ia hanya bisa meremas jemarinya sendiri.
Sementara di kejauhan, Saka sedang bekerja lembur, merakit kerangka sepeda pesanan pelanggan. Ia tak tahu malam ini Kinasih sedang hampir dipaksa memilih: menyerah pada waktu, atau bertahan pada keyakinannya.