Mohon tunggu...
Harlis Sang Putra
Harlis Sang Putra Mohon Tunggu... Jurnalis

Tentang Saya Halo, saya Harlis Sang Putra, seorang jurnalis dari salah satu media yang telah terverifikasi oleh Dewan Pers. Saya juga aktif sebagai Kompasianer di platform Kompasiana, yang dikelola oleh PT Kompas Cyber Media. Melalui Kompasiana (https://www.kompasiana.com), saya berkomitmen menyuarakan informasi publik, aspirasi masyarakat, serta dinamika kebijakan dari tingkat desa hingga nasional. Bagi saya, tulisan bukan sekadar media informasi, tetapi juga sarana untuk mencerdaskan dan membangun kesadaran kritis di tengah masyarakat. Sebagai bagian dari ekosistem Kompasiana—sebuah platform blog yang diluncurkan sejak tahun 2008 dan telah berkembang menjadi media sosial berbasis konten orisinal pengguna (user-generated content)—saya melihat pentingnya ruang yang independen untuk menyampaikan gagasan dan pengalaman langsung dari lapangan. Dengan semangat “Beyond Blogging”, saya tidak hanya menulis, tetapi juga aktif dalam literasi digital dan pemberdayaan komunitas. Melalui artikel, foto, dan video, saya berusaha menyajikan konten yang informatif, kredibel, dan bermanfaat. Pengalaman saya di dunia jurnalistik dan pengelolaan media menjadi fondasi dalam menjaga etika profesi, akurasi data, dan keberimbangan informasi dalam setiap karya yang saya publikasikan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Waktu yang Belum Selesai

13 Juli 2025   18:05 Diperbarui: 13 Juli 2025   18:05 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar ini menggambarkan seorang wanita muda bernama Kinasih yang duduk di tepi ranjangnya, memegang kalung kayu dengan air mata di matanya. Ruangan y

Namanya Kinasih. Sejak kecil, ia terbiasa hidup dengan segala ketepatan jadwal: pukul enam bangun, pukul tujuh sarapan, pukul delapan belajar, dan begitu seterusnya. Ketika dewasa, ia baru sadar ada satu hal yang tak bisa ia jadwalkan: kapan cinta akan benar-benar siap.

Malam itu, ayahnya memanggilnya ke ruang tamu. Di atas meja, sudah tersaji teh manis dan sepucuk amplop cokelat. Kinasih merasakan firasat yang membuat tengkuknya dingin.

"Ini lamaran dari keluarga Pak Wirya," ucap ayahnya, menatap lurus ke matanya.
"Beliau ingin segera memastikan tanggal."

Kinasih menunduk. Ia menahan gemetar di dadanya. Tanggal. Betapa mudah orang-orang memutuskan sesuatu hanya dengan menetapkan tanggal. Padahal di hatinya, ada satu nama yang belum selesai: Saka.

Saka tidak datang dengan cincin mahal. Ia datang dengan kepolosan yang membuat Kinasih jatuh hati: sepeda motor butut, tas selempang lusuh, tapi mata yang selalu berbinar kalau menatap masa depan bersama.

"Aku sedang belajar memperbaiki diri," kata Saka dulu, pada senja yang basah. "Aku tak mau datang ke orang tuamu hanya dengan janji kosong."

Dan Kinasih percaya. Ia percaya pada proses yang pelan. Namun, waktu tak mau menunggu. Waktu, bersama segala tuntutannya, mengetuk pintu rumahnya malam ini.

Ayahnya menatapnya lagi. "Kalau kamu mau menolak, katakan sekarang. Ibu sudah tak kuat mendengar gunjingan tetangga."

Kinasih ingin berteriak, ingin memprotes mengapa kebahagiaan perempuan selalu diukur dari cepat-lambatnya menikah. Tapi lidahnya kelu. Ia hanya bisa meremas jemarinya sendiri.

Sementara di kejauhan, Saka sedang bekerja lembur, merakit kerangka sepeda pesanan pelanggan. Ia tak tahu malam ini Kinasih sedang hampir dipaksa memilih: menyerah pada waktu, atau bertahan pada keyakinannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun