Kamis lalu (4/12) pernah ada Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islam se-Indonesia dari berbagai daerah. Mereka mengadukan mengenai belum dibayarkannya tunjangan sertifikasi bagi guru agama yang mengajar di sekolah negeri atau swasta. Guru protes kalau sudah menyangkut insentif. Jika dalam masalah kurikulum, asal ada sosialisasi yang efektif, tidak akan ada masalah. Kurikulum pun dibuat bukan bim salabim, tapi melalui berbagai analisa yang dikerjakan oleh para ahli di bidang pendidikan. Saya sedikitnya tahu siapa saja yang berada di lingkaran pembahas kurikulum 2013 itu. Mereka orang-orang hebat. Memang, tidak ada kebijakan yang 100 persen berjalan langsung tokcer. Mimpi kali. Kendala pasti ada, tapi bukan berarti kalau ada kendala lantas dihentikan. Itu namanya trial and error. Menteri Pendidikan sendiri yang bilang itu padahal, "anak-anak kita bukan ajang untuk uji coba", lho pak kebijakan bapak itu justru coba-coba lho pak. Kurikulum itu sudah berjalan sekarang dimentahkan lagi, buku-buku kurikulum baru sudah dibeli pak. Saya sendiri sebagai orang tua pernah merasakan bagaimana harus merogoh kantong agak dalam untuk beli buku-buku kurikulum baru. Mau diapakan itu buku-buku?
Jadi, insting saya pun bekerja: kebijakan penghentian kurikulum itu pun murni pencitraan. Kenapa demikian? Wajar dong, Pak Anies ingin mendapatkan tempat di mata atasannya dan di mata masyarakat, sehingga harus membuat kebijakan yang menggegerkan publik. Ketika ia mengeluarkan kebijakan yang menggegerkan publik, nama dia otomatis melambung. Tapi mbok ya, ini menyangkut anak pak.
Apalagi kalau mendengar--yang katanya--gebrakan dari Menteri Tenaga Kerja yang loncat pagar di saat sidak ke penampungan TKI. Ini pencitraan juga. Kenapa? Lho kalau benar sidak tentu media terlambat mengetahui. Namanya juga sidak, inspeksi mendadak. Tapi kalau tidak sampai satu menit setelah loncat pagar lalu muncul di media online, bukan sidak lagi namanya, melainkan direncanakan alias memang sengaja untuk dipamerkan. Pencitraan lagi. Tidak salah. Sudah saya tegaskan di atas. Pencitraan itu tidak salah. Namun, masalah TKI itu bukan dengan loncat pagar, Pak Menteri! Masalah intinya adalah maraknya calo-calo TKI, rendahnya pendidikan, perlindungan hukum yang kurang, dan masalah krusial lain. Apakah cukup dengan loncat pagar?
Rumus sederhana pencitraan adalah: Citra + Kinerja = Trust. Silahkan periksa jurnal-jurnal internasional yang membahas masalah trust. Rumus itu bukan karangan saya lho ya. Bagaimana jika Citra - Kinerja? Otomatis trust akan menurun. Karena antara ketiganya adalah hubungan resiprokal alias hubungan timbal-balik yang saling mempengaruhi satu sama lain.
Contoh pencitraan yang benar-benar terbukti adalah slogan "Politik tanpa syarat" yang dulu didengung-dengungkan oleh Presiden kita saat ini. Dengan sangat mudah saat ini kita bisa menilai bahwa slogan itu murni pencitraan. Bukti adalah segalanya. Silahkan dicermati siapa-siapa saja menteri Kabinet Kerja yang sekarang ditunjuk. Dari parpol pendukung banyak, dari pengusaha pendukung juga banyak, dari aktor-aktor yang sangat dekat kemudian sekarang mendapat bonus di pemerintahan juga banyak, yang terakhir SW pun sekarang masuk ke pemerintahan. Saya melihat dengan mata saya sendiri bagaimana SW terus menempel Sang Capres di saat kampanye.
Ini yang harus dicermati sebenarnya: kenapa Kabinet Kerja kok berlomba-lomba mengeluarkan kebijakan yang hanya berada di level "Citra", tidak menyentuh akar permasalahan? Umur kabinet padahal masih sangat muda, artinya tingkat citranya masih bagus di masyarakat. Buktinya kebijakan BBM berhasil landing tanpa ada insiden yang berarti. Kalau citra Jokowi dan Kabinetnya masih bagus buat apa lagi pencitraan-pencitraan itu? Pemilu masih jauuuuuh...empat tahun lagi. Bekerja dengan memecahkan permasalahan intilah yang seharusnya dilakukan, bukan dengan tebar pesona di mana-mana. Kalau begitu terus cara kerjanya, jangan-jangan nanti outputnya malah kepercayaan masyarakat akan terus berkurang seperti rumus di atas.**[harjasaputra]
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI