Mohon tunggu...
harjanto halim
harjanto halim Mohon Tunggu... -

SMA Karangturi 1984 UC Davis USA 1990

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mendirikan Sholat

4 Januari 2018   05:26 Diperbarui: 4 Januari 2018   05:28 496
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Di sebuah kompleks pembuangan sampah.

"Kenapa kalian tidak sholat?," tanya pak dokter berkacamata dengan heran.

Para lelaki pemulung berbadan kerempeng, sebagian bertato, memandang Pak Dokter dengan tatapan kurang senang. "Maksude sampeyan opo'o?"

"Lha ini hari Jum'at, kok tidak Jum'atan?," ulang pak Dokter bernama Michael. Jelas dia bukan Muslim.

"Pak dokter, pak dokter...," ujar mereka seraya tersenyum getir. "Hidup itu untuk makan. Kalo cuman sholat apa bisa dapat uang? Keluarga kami (sehari) cuman makan sekali..."

Tatapan mereka perih, seperih perut mereka yang tengah dililit kelaparan.

Dokter Michael terdiam, mulutnya kering. Ia meyakini, sangat meyakini, manusia tidak hanya butuh kesehatan badan dan jiwa, tapi juga rohani. Selain makanan dan hiburan, manusia juga butuh berdoa. Tapi menjelaskan konsep itu di hadapan manusia-manusia yang sedang kelaparan dalam arti sesungguhnya, tidaklah mudah. Bayangkan, makan sehari cuman sekali. Tidak bisa makan hanya siang atau malam saja. Kalau makannya siang saja, malamnya lapar, kalau makannya malam saja, siangnya lapar. Makan sekali, makannya harus jam setengah empat sore, agar malamnya tidak kelaparan, siangnya tidak kelaparan. Sebuah strategi jitu menyiasati pahit getir kemiskinan.

"Mau tak bikinkan tempat sholat?," Dokter Michael bertanya sambil tersenyum. Mendadak ia mendapat ide.

"Siapa yang mau bikin? Siapa yang mau nyumbang di tempat sampah kayak gini?" Nada-nada sumbang penuh pesimis bersahutan.

"Bisa!" Dokter Michael kembali tersenyum; para pemulung terdiam.

"Kamu bisa cari kayu bekas?," tanya Dokter Michael pada seorang lelaki berkaos oblong di depannya.

"Bisa, Pak!," sahut si lelaki mantap. Kumisnya bergerak turun naik saat ia tersenyum.

Dokter Michael mengangguk. "Siapa bisa cari seng bekas?"

Seorang pria bertelanjang dada, berambut gondrong, mengangkat jari. "Saya bisa!"

"Sip!," ujar Dokter Michael mengangkat jempol.

"Tapi kalo seng nya karaten dan bolong-bolong boleh, Pak Dokter?," tanya si pria gondrong.

"Boleh, gak papa. Bawa aja..."

Suasana berubah, ada kegairahan. Dan hari itu para pemulung bergerak mencari bahan untuk mendirikan mushola.

Keesokan harinya, Dokter Michael menatap tumpukan kayu bekas, bambu bekas, seng bekas di hadapnnya dengan mata berbinar-binar.

"Siapa yang nyumbang papan ini?," tanya Dokter Michael mengangkat sebilah papan berwarna biru yang sudah luntur catnya.

Seorang pria setengah baya mengangkat tangan. "Saya, Pak Dokter..."

"Siapa nama sampeyan?"

"Muhammad Saiful, Pak Dokter..."

"Baik, pak Muhammad Saiful. Tulis nama dan tanda tangan sampeyan di papan ini..." Dokter Michael memberi petunjuk.

Si pria setengah baya mengangguk, melakukan apa yang diminta. Dokter Michael lalu menanyakan hal yang sama untuk barang-barang bekas lainnya dan meminta siapapun yang membawa untuk menulis nama dan menandatangani di barang masing-masing. Dan hari itu juga, Dokter Michael mengerahkan semua tim dan stafnya, membantu para pemulung mendirikan tempat sholat dari bahan bekas, di tengah tempat pembuangan sampah yang bau dan kotor.

Tiga bulan kemudian, Dokter Michael kembali mengunjungi tempat pembuangan sampah untuk memeriksa kesehatan para pemulung. Ia terkejut melihat mushola dipenuhi orang-orang yang sedang berdoa. Ia pun duduk menunggu di luar dengan sabar.

Jum'atan selesai, ia pun mengumpulkan para pemulung dan bertanya, "Lho sekarang kok rajin sholat?," dengan penuh keheranan.

Seorang pria setengah baya berkata sambil tersenyum, "Karena yang di atas sana, Pak Dokter..."

Beberapa orang tersenyum. Ada yang menunjuk ke atas, ada juga yang ke samping dan ke bawah.

Dokter Michael mengernyitkan kening. "Yang di atas sana? Maksudnya?"

"Coba bapak lihat disana, apa tulisannya?" Bapak setengah baya menunjuk ke atas.

Dokter Michael mendongak, lalu membaca sebuah tulisan di papan bewarna biru yang telah pudar catnya. Dan di papan bewarna biru yang telah pudar catnya, tertera tulisan cakar ayam yang tidak rapi - sebuah nama yang tidak asing: 'Muhammad Saiful'.

Bapak setengah baya mendekat dan menyalami Dokter Michael erat-erat.

"Matur suwun Pak Dokter. Matur nuwun sudah memberi kami kesempatan. Sak mlarat mlarate aku, aku bisa jadi donatur mushola ini..."

Wajah bapak setengah baya yang berkeriput nampak berbinar-binar. Manusia perlu menjaga kesehatan badan, jiwa, dan rohani, juga martabat dan harga diri. Siapa yang barusan membantu mendirikan Sholat dan Harga Diri?

"Bukan berapa banyak uang kau masukkan dalam kotak amal itu," ujar Dokter Michael pada pasiennya yang papa. "Sampeyan masukkan uang di kotak amal untuk membantu temanmu yang lebih miskin. Yang dinilai bukan nominalnya tapi keikhlasannya..."

Siapa yang barusan mengajarkan Makna Memberi?

Desember, 2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun