Mohon tunggu...
Haris Fauzi
Haris Fauzi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pembelajar

Penyuka Kajian Keislaman dan Humaniora || Penikmat anime One Piece.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tafsir Al-Quran dengan Gaya Posmodern

14 Agustus 2015   22:29 Diperbarui: 14 Agustus 2015   22:36 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Posmodern merupakan istilah yang sulit didefinisikan. Ia menolak segala bentuk kesepakatan, keseragaman, dan kebulatan. Padahal, sebuah definisi merupakan hasil sebuah kesepakatan dari berbagai pandangan tentang sesuatu. Oleh karena itu, kita hanya bisa mengenal posmodern melalui pikiran para tokoh-tokohnya, seperti Garry Zukav, F. Capra, Foucault, Vattimo, Lyotard, Derrida, Whitehead, Habermas, Gadamer, Rorty, dan Ricoueur.

Secara umum, dapatlah dinyatakan bahwa posmodern merupakan sebuah kesadaran bahwa modernisme telah melahirkan dampak-dampak negatif, oleh karena itu, ia perlu direvisi, dibongkar (dekonstruksi), dan --menurut sebagian pemikir— dibuang. Cara berpikir posmodern akan menghindari standar berpikir modern seperti standar ilmiah dan cara berpikir saintifik karena cara berpikir demikian merupakan wujud dominasi modernisme. Karena menghindar dari standar ilmiah itu, maka sebagian pakar menggolongkan posmodern dalam wilayah ideologi bukan dalam wilayah ide saintifik. Apabila demikian, maka benar dan salah dalam posmodern tidak ditentukan oleh kriteria atau norma tertentu, tapi ditentukan oleh setuju atau tidak setuju yang sangat subjektif dan bebas. Karena mereka tidak dibatasi oleh norma-norma sains, posmodern bebas melakukan apa yang mereka sukai, bermain-main dengan berbagai macam ide tanpa dibatasi oleh standar kualifikasi. Akibatnya, wacana posmodern seringkali sulit diterima oleh orang yang biasa menggunakan perspektif non posmodern. Disamping itu, ide posmodern tidak jarang kabur dan abstrak serta berubah-ubah maknanya, sehingga konsep-konsepnya akan menyulitkan para pembacanya (George Ritzer-Douglas J. Goodman, 2004: 648-9).

Kesadaran tentang posmodern muncul akibat dari fenomena negatif dari modernisme. Munculnya perang di sana sini, kerusakan lingkungan, penindasan ekonomi dari suatu bangsa atas bangsa lain, imperialisme budaya, dan lain sebagainya merupakan fakta negatif yang dihasilkan oleh modernisme. Fakta negatif itu muncul, karena manusia modern mengimpikan kemajuan dan progresivitas yang mana untuk mencapainya seringkali menindas yang lain. Manusia modern juga meyakini bahwa dirinya adalah subjek yang menentukan hidupnya sendiri. Itulah makanya, mengapa George W. Bush ngotot menghabisi Afganistan dan Iraq, karena ia merasa sebagai subjek yang bisa menentukan norma layakkah suatu negara menyerang negara lainnya. Pedoman yang umum dipakai oleh manusia modern adalah nalar rasional dan universal. Pemikir posmodern hadir dengan pedoman baru yang bersifat relativistik, irrasional, dan nihilistik karena mereka yakin bahwa nalar manusia modern yang rasional dan universal itu cenderung memberikan hak istimewa terhadap kelompok tertentu dan menurunkan derajat kelompok yang lain, memberikan kekuasaan pada kelompok tertentu dan membuat kelompok lain tanpa kekuasaan apapun (George Ritzer-Douglas J. Goodman, 2004: 631).

Dengan karakternya yang relativistik, irrasional, dan nihilistik itu, maka posmodern akan bertabrakan dengan prinsip-prinsip penafsiran Alquran yang selama ini telah umum diterima. Apapun bentuk tafsirnya: tahlili, ijmali, muqarin, ataupun  maudhu’i memiliki prinsip-prinsip yang mengikat yang membatasi setiap penafsir agar tidak menafsiri Alquran semau gue. Ini berarti penafsiran gaya posmodern akan cenderung mengabaikan prinsip-prinsip itu dan mendorong lahirnya model penafsiran yang bebas.  Para pendukung posmodern, bisa saja berdalih bahwa alangkah naifnya bila maksud Alquran yang demikian luas dibatasi oleh prinsip-prinsip penafsiran yang demikian sempit, apalagi prinsip-prinsip itu bukan tawqîfî dari Allah melainkan hasil rumusan para penafsir.

Kitapun bisa bertanya bagaimana mungkin kita yang manusia biasa mampu memahami Alquran yang bukan ciptaan manusia? Masih mending bila kita, dengan mengakui segala kelemahan kita sebagai manusia, memahami Alquran dengan berpijak pada akumulasi-pengetahuan dari setiap generasi penafsir Alquran sebagaimana tercermin dalam prinsip-prinsip penafsiran tersebut. Akumulasi-pengetahuan dari generasi ke generasi penafsir jelas mengakui prinsip historisitas pengetahuan dalam hal ini ilmu tafsir. Posmodern menolak segala bentuk hostorisitas semacam itu karena ia merasa manusia pasca modern mampu menciptakan pemahamannya sendiri yang terbebas dari segala bentuk dominasi norma apapun. Inilah masalah inti bila semangat posmo ingin dipakai untuk memahami Alquran.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun