Mohon tunggu...
Haris Fauzi
Haris Fauzi Mohon Tunggu... Pembelajar

Penyuka Kajian Keislaman dan Humaniora || Penikmat anime One Piece.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Cak Nun dan Sengkarut Politik Oligarki

21 Februari 2019   06:52 Diperbarui: 21 Februari 2019   07:06 444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik Oligarki || Sumber gambar: Twitter Bentang Pustaka.

Mengapa kita sampai saat ini masih mencari pemimpin? Apakah kita ini ternyata tidak layak menjadi pemimpin sehingga seringkali terseret arus dukung mendukung seperti kebanyakan orang dan terjebak dalam sengkarut politik oligarki. 

Begitu banyak orang yang sebenarnya lebih pantas menjadi pemimpin justru hanya menjadi pendukung saja. Hal itu mungkin terjadi bukan karena orang tersebut tidak layak, akan tetapi karena ia tidak memiliki piranti serta akses politik untuk mencalonkan dirinya sendiri. 

Tidak dapat kita abaikan, peran media massa begitu krusial dalam menggerakkan opini. Kepopuleran dan ketenaran kemudian menjadi magnet dan parameter yang berpotensi menghancurkan kejernihan masyarakat dalam memandang kriteria seorang pemimpin. 

Hari ini kita bisa tonton bersama tokoh siapa yang terpampang di media massa akan lebih dipertimbangkan oleh masyarakat untuk dipilih menjadi pemimpin. Persoalan pemimpin dan kepemimpinan bukanlah tema baru untuk diperbincangkan. Hampir di setiap lorong pojok warung kopi pun selalu ada obrolan tentang pemimpin dan kepemimpinan. 

Kita mungkin hanya sebagian kecil dari masyarakat Indonesia yang menyadari bahwa ada yang salah dengan pengertian pemimpin saat ini. Kita sendiri diminta untuk mengupgrade keilmuan tentang kepemimpinan. 

Al-Qur'an, risalah Muhammad, budaya komunal, sampai teori filsafat kekinian menjadi alat untuk menguji pikiran kita tentang apa itu pemimpin dan arti sebuah kepemimpinan. 

Hal ini tentu memiliki landasan dan muncul dari keresahan masyarakat yang kini semakin tidak tahu apa itu pemimpin sehingga membuat mereka menjadikan simbol tertentu untuk disanjung karena kejahilan mereka sendiri. 

Nabi Muhammad SAW pernah berkata dalam hadisnya, bahwa setiap dari kita adalah seorang pemimpin dan setiap pemimpin tersebut akan dimintai pertanggungjawabannya. 

Hadis ini mengafirmasi setidaknya setiap diri kita merupakan pemimpin bagi dirinya sendiri. Dalam klasifikasi lain, seorang ayah adalah pemimpin bagi keluarganya, CEO adalah pemimpin bagi bawahannya, dan seterusnya.

Hari ini kita bisa melihat begitu pemimpin sah dan menjabat yang ada ia hanya menjadi ilusi dalam diri dan perilaku pendukungnya adalah mengumpulkan sumber daya untuk kembali berkuasa pada periode selanjutnya. 

Padahal aspek yang harus ditekankan adalaha bagaimana kontribusi kepada rakyat seharusnya menjadi faktor utama yang idealnya selalu terpatri dalam otak para pemimpin. 

Sejak ia bangun tidur sehingga tidur kembali pada malam harinya, sebuah jabatan seharusnya dipahami sebagai alat untuk menunaikan janji kampanye tidak sebagai tujuan utama. 

Seperti apapun sistem kepemimpinan yang dianut sebuah negara tergantung pada orang yang berada di lingkungan tersebut, seperti apapun sistemnya apabila orang orang yang berkumpul sudah tertanam nilai nilai luhur keikhlasan dan rasa memiliki bersama akan berpengaruh secara besar dalam keberlangsungan berputarnya sebuah roda pemerintahan. 

Sejarah mencatat bahwa pemimpin tersebut diikuti oleh pengikut yang setia dan kepemimpinan yang ia jalanaiseharusnya tidak diikuti oleh kepentingan-kepentingan tertentu kelompok partisan. 

Untuk menguak wacana kepemimpinan juga seharusnya berkaca dari dimensi sejarah. Tentu saja sebagai orang Islam, acuan utama adalah sejarah para nabi terdahulu saat memimpin kaumnya. 

Namun tragisnya, kepemimpinan saat ini tidak pernah bercermin dan belajar dari sejarah para nabi dan rasul. Pemimpin sebenarnya adalah pemimpin yang tidak berdiri sendiri, ia memiliki pengikut loyal yang juga tanpa kepentingan apapun. Rasulullah SAW memiliki beberapa sahabat yang sangat setia mendukung setiap keputusan. 

Ketika orang yang didukung sudah tidak memiliki kemungkinan untuk berkuasa lagi, maka orang-orang yang ada di belakangnya akan berpindah haluan mencari tokoh lain yang potensial untuk dimanfaatkan. 

Bisa dipahami bahwa pemimpin saat ini di mata masyarakat hanyalah posisi jabatan sementara, ketika periode berkuasa telah usai, maka kembali lagi perebutan-perebutan. 

Banyak orang berebut menjadi pemimpin karena terdapat nilai-nilai materi yang melekat, seperti fasilitas yang mengitarinya. Perebutan itu menjadikan praktik kelicikan serta suap jabatan menjadi lazim terjadi kepada pihak yang justru seharusnya mengawasi jalannya pemilihan. 

Cak Nun pernah menyampaikan dalam sebuah pertemuan di Kadipiro bahwa kalau engkau ingin membangun kehancuran masa depan, masyarakatmu, bangsa dan negerimu serta umat kekhalifahanmu, tutuplah pintu masa silam dan simpan ia di ruang hampa kegelapan sampai ke relung ketiadaan. Allah Maha Mengabarkan segala apapun yang kita lakukan. 

Hal ini secara tidak langsung mengiyakan betapa krusialnya belajar sejarah sebagai pijakan menuju masa depan. Sementara banyak orang terlanjur acuh dengan masa depannya. 

Simbol yang sebenarnya dimanipulsai oleh dalang dipuja sedemikian tinggi. Indikator masyarakat terhadap pemimpin dan kepemimpinan telah berangsur hilang. 

Keteladanan pemimpin bagi orang Islam sudah tentu tolak ukurnya adalah Nabi Muhammad SAW. Perubahan besar harus dimulai dari perubahan yang kecil, dan perubahan itu dimulai dari diri kita sendiri, sebagaimana poin dari pengabdian diri kepada Allah adalah tentang kecintaan diri. 

Satu hal dari banyak hal yang harus ditiru dan diteladani dari Nabi Muhammad SAW bukan hanya perilaku yang sifatnya artifisial, namun justru yang sifatnya lebih humanis. 

Perubahan struktural hanya bisa dimungkinkan jika diawali dari perubahan kultural, dan perubahan tersebut hanya bisa dimungkinkan jika diawali dari perubahan individual. Perbaikan dan perubahan individu manusia merupakan hal paling penting saat ini. 

Merubah cara pandang terhadap kualitas calon pemimpin adalah hal utama yang harus kita bangun kembali jika kita bersungguh-sunguh ingin tidak hanya berhenti sebagai pemimpi yang paham akan kepemimpinan. 

Setiap personal harus sering melatih dan mengasah kepekaan cara berpikir dan kepekaan cara pandangnya sehingga selalu memiliki pembaharuan pemikiran terhadap parameter pemimpin bukan abal abal namun diharapkan mumpuni dalam mengambil setiap kebijakan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun