Mohon tunggu...
Haris Fauzi
Haris Fauzi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pembelajar

Penyuka Kajian Keislaman dan Humaniora || Penikmat anime One Piece.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jangan Alergi Taaruf ala Indonesia Tanpa Pacaran

13 Desember 2018   14:06 Diperbarui: 13 Desember 2018   14:10 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Taaruf || Sumber gambar: Twitter Majalah Magdalena

Kita tentu mengerti bahwa orientasi Indonesia Tanpa Pacaran untuk menyegerakan menikah dengan berbagai prosedur syariatnya dan menghindari penyakit seksual menular yang kian hari meningkat, diantara tentu komitmen diri dan bertaaruf yang dibenarkan.

Istilah ta'aruf sering disematkan pada upaya untuk saling mengenal antara dua calon pasangan yang akan mengikatkan diri dalam ikatan perkawinan. Tapi apakah sesederhana itu? Apakah memiliki mekanisme yang melindungi kedua belah pihak?

Pertama-tama kita tentu harus mengetahui secara holistik satu prakterk ini dalam kacamata etis syariah. Kata ta'aruf tentu berasal dari bahasa Arab, dimana kata dasarnya adalah ta'arafa - yata'arafu. Secara harfiyah maknanya adalah saling mengenal.

Dalam bentuk teknisnya, praktek ta'aruf adalah saling bertemunya calon suami dan calon istri untuk mengenal baik fisik ataupun sifat masing-masing.  Tujuannya tidak lain agar sebuah perkawinan itu bukan bentuk transaksi yang gelap dan tidak jelas, bak orang membeli kucing dalam karung. Sebab perkawinan itu harus didasarkan pada dasar saling mengenal dan saling menerima kelebihan dan kekurangan masing-masing. Namun tentu kita menyadari bahwa ta'aruf dibatasi dengan kaidah-kaidah syar'iyah yang tidak boleh dilanggar begitu saja.
Etis Syariah

Pada dasarnya sebelum menentukan pilihan calon istri, disunnahkan bagi masing-masing calon pengantin, baik calon suami atau calon istri, untuk sama-sama saling melihat bentuk fisik calon pasangan hidupnya.  Ada banyak dalil yang menjadi dasar pensyariatan atas perlunya melihat calon istri atau calon suami. Di antara petunjuk agama itu misalnya antara lain :

Dari Abu Hurairah radhiyallahuanhu bahwa Nabi SAW bertanya kepada seseorang yang hendak menikahi perempuan,"Apakah kamu sudah pernah melihatnya?". "Belum", jawabnya. Nabi SAW bersabda,"Pergilah melihatnya dahulu". (HR. Muslim)

Dari Mughirah bin Syu`bah radhiyallahuanhu berkata,"Aku meminang seorang perempuan. Dan Rasulullah SAW bertanya padaku,"Apakah kamu sudah melihatnya?". "Tidak", jawabku. Beliau SAWbersabda,"Lihatlah dia karena melihat itu lebih dapat menjamin untuk mengekalkan kamu berdua. (HR. Ibnu Majah)

Kemudian Mughirah pergi kepada kedua orang tua calon istrinya, dan memberitahukan apa yang diomongkan di atas, tetapi tampaknya kedua orang tuanya itu tidak suka. Si perempuan tersebut mendengar dari dalam biliknya, kemudian ia mengatakan: Kalau Rasulullah menyuruh kamu supaya melihat aku, maka lihatlah. Kata Mughirah: Saya lantas melihatnya dan kemudian mengawininya.

Mekanisme Etis Syariah
Meski melihat kepada calon suami atau istrinya disunnahkan atau setidaknya dibolehkan, namun bukan berarti segalanya menjadi boleh. Tentu saja tetap ada aturan dan ketentuan yang harus dipatuhi.

Pertama, diniatkan hanya calon suami yang benar-benar berniat untuk menikahi calon istrinya saja yang dibolehkan untuk melihat. Sedangkan mereka yang cuma sekedar iseng atau coba-coba, sementara di dalam hati masih belum berniat untuk menikahi, tentu tidak dibenarkan untuk melihat. Bahkan mayoritas  ulama mensyaratkan bahwa orang yang melihat calon istrinya sudah punya keyakinan bahwa perempuan itu sendiri pun akan menerimanya.  Sementara dalam mazhab Al-Hanafiyah tidak mensyaratkan sampai sejauh itu, mereka hanya membatasi adanya keinginan untuk menikahinya saja, tidak harus ada timbal-balik antara keduanya.

Kedua, mayoritas ulama berpendapat bahwa tidak ada ketentuan bahwa perempuan yang sedang dilihat oleh calon yang ingin menikahinya harus memberi izin. Dasarnya adalah apa yang dilakukan oleh Mughirah yang melihat calon istrinya tanpa sepengetahuannya.  Bahkan sebagian ulama berpandangan bahwa sebaiknya memang tidak diberitahu, agar benar-benar tampil alami di mata yang melihat, sehingga tidak perlu menutupi apa yang ingin ditutupi.

Sebab kalau perempuan itu mengetahui bahwa dirinya sedang dilihat, secara naluri dia akan berdandan sedemikian rupa untuk menutupi kekurangan yang mungkin ada pada dirinya. Maka dengan begitu, tujuan inti dari melihat malah tidak akan tercapai. Namun mazhab Al-Malikiyah berpendapat kalau pun bukan izin dari perempuan yang bersangkutan, setidaknya harus ada izin dari pihak walinya. Hal itu agar jangan sampai tiap orang merasa bebas memandang perempuan mana saja dengan alasan ingin melamarnya.

Ketiga, mayoritas ulama sepakat bahwa batasan yang boleh dilihat dalam taaruf adalah bagian tubuh yang bukan merupakan aurat. Jika calon suami ingin melihat calon istrinya, maka batasannya hanya wajah dan kedua tangannya hingga pergelangan. Sedangkan bila calon istri ingin melihat calon suaminya, maka batasan auratnya adalah antara pusar dan lututnya. Hanya didibolehkan sekedar melihat bagian tubuh yang bukan aurat, sedangkan menyentuh, apalagi dengan nafsu justru dilarang.

Keempat, dibolehkannya melihat calon pasangan bukan sekali, sebab bisa saja penglihatan yang pertama akan berbeda hasilnya dengan penglihatan kedua, ketiga dan seterusnya. Oleh karena itu, pada prinsipnya asalkan bertujuan mulia dan terjaga dari fitnah, dibolehkan melihat calon istri beberapa kali, hingga betul merasa mantap dengan pilihan.

Kelima, Sebagian kalangan ada yang dengan sangat ketat melarang calon pasangan untuk saling bertemu muka langsung. Alasannya karena takut nanti menimbulkan gejolak di dalam hati.

Padahal sebenarnya pertemuan langsung itu tidak dilarang secara mutlak. Apabila ada ayah kandung, atau pria mahram yang ikut mendampingi, maka pertemuan yang bersifat langsung boleh saja dilakukan oleh pasangan itu. Pasangan itu bisa saja bepergian sambil ngobrol, bisa dengan sambil berbelanja, berpiknik, atau melakukan perjalanan bersama.

Poin pentingnya adalah menghindari tidak berduaan, dan pihak calon istri didampingi oleh pria yang menjadi mahramnya. Hal dilarang adalah posisi berduaan dan bersepi-sepi di tempat yang tidak ada orang tahu. Namun sayangnya syarat ini adalah syarat yang paling utama, sekaligus yang paling sering dilanggar oleh calon pasangan. Seolah-olah ta'aruf itu tidak bisa dilakukan kecuali hanya lewat kencan berduaan.

Untuk poin yang lebih privasi, terkait dengan kekurangan dan cacat, apabila dirasa kurang etis untuk dibicarakan secara langsung, maka kedua belah pihak baik suami atau istri boleh mengirim utusan untuk melihat secara langsung. Pihak calon suami boleh mengirim kakak atau adik perempuannya kepada pihak calon istri, untuk melihat hal-hal yang sekiranya masih haram dilihat langsung oleh calon suami. 

Sehingga detail keadaan fisik calon istri bisa diketahui oleh sang utusan. Dan demikian pula sebaliknya, calon istri boleh mengirim kakak atau adiknya yang pria untuk mendapatkan informasi lebih detail tentang sang calon suami. Itulah sekiranya poin yang harus dipenuhi biar tak ada kata sesal di kemudian hari dan jangan alergi dengan istilah ini, pahami betul mekanisme biar tidak serampangan men-judge orang lain.
Selamat Bertaaruf

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun