Mohon tunggu...
Harisa Shafira Rahma
Harisa Shafira Rahma Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN Imam Bonjol Padang

Mahasiswa UIN Imam Bonjol Padang

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Essai: Sindrom Tourette

31 Mei 2023   10:06 Diperbarui: 31 Mei 2023   10:25 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

SINDROM TOURETTE

Psikopatologi perkembangan yang sering terjadi pada masa kanak-kanak adalah sindrom Tourette, yang dimulai dengan gejala ringan seperti gerakan menggelitik ringan pada wajah, kepala, atau tangan. Tics sering muncul saat anak merasa tertekan (stress) dan perasaannya tidak stabil, tic meningkat seiring bertambahnya usia seseorang dan mencakup beberapa bagian tubuh lainnya juga. Sindrom Tourette dapat menyerang siapa saja dari etnis apa pun (Prima, 2016)

Sindrom Tourette dapat menyerang siapa saja dari kalangan etnis apapun. Namun, wanita lebih sering terkena 3-4 kali dibandingkan pria. Dengan kata lain, perbandingan laki-laki dan perempuan adalah 1:3. Gangguan-gangguan yang terkait dengan sindrom tourette meliputi Attention Deficit Disorder (ADHD), Obsessive Compulsive Disorder (OCD). Kemungkinan mengalami gangguan spectrum autistic, gejala depresi, gangguan tidur, gangguan dalam belajar, executive dysfunctions (gangguan keterampilan organisasi dan proses intelektual yang buruk dan tidak efektif), perilaku merugikan diri sendiri, oppositional defiant disorder (ODD), conduct disorder, dan gangguan kepribadian (Sim & Stack, 2009).

Berdasarkan faktor neurokimia, penyebab sindrom Tourette adalah buruknya regulasi dopamine di caudate nucleus (Dhamayanti, Riandani & Resna, 2004). Sindrom Tourette juga dipicu oleh stimulan seperti methylphenidate dan dextroamphetamine. Selain itu, adanya ketidakseimbangan atau hipersensitivitas terhadap neurotransmitter yang bertanggung jawab untuk komunikasi antar neuron, khususnya dopamin, serotonin, dan norepinephrine. Kelainan pada area otak tertentu, seperti ganglia dan lobus frontal juga bisa menyebabkan penyakit ini (Prima, 2016).

Gejala dari sindrom Tourette biasanya muncul pada masa kanak-kanak (usia 7 dan 10 tahun) yang diawali dengan gejala ringan seeprti gerakan tik ringan pada wajah, kepala atau tangan. Menurut DSM-IV, kriteria diagnostic dari sindrom Tourette antara lain adalah(Prima, 2016):

  • Baik tik motorik multiple maupun satu atau lebih tik vocal ditemukan pada suatu waktu perjalanan penyakit, walaupun tidak perlu bersamaan.
  • Tik terjadi beberapa kali sehari (biasanya dalam waktu yang singkat) hamper setiap hari atau secara intermiten sepanjang suatu periode lebih dari 1 tahun, dan selama periode ini tidak pernah terdapat periode bebas dari tik lebih dari 3 bulan berturt-turut.
  • Onset sebelum berumur 18 tahun.
  • Gangguan bukan karena efek fisiologis langsung dari zat (misalnya, stimulansia) atau suatu kondisi medis umum (misalnya, penyakut Huntington atau ensefalitis pascainfeksi virus).

Penelitian memperkirakan bahwa 70% penderita sindrom Tourette akan mengalami pengurangan gejala pada masa remaja akhir, dan 30% hingga 40% mengalami perbaikan gejala pada masa dewasa akhir, meskipun gejala dapat muncul kembali atau menjadi semakin parah akibat adanya stressor psikologis. Studi lain juga menyatakan bahwa mayoritas penderita sindrom Tourette dapat hidup tanpa pengobatan (Dhamayanti, dkk. 2004).

Beberapa pendekatan terapi yang memungkinkan untuk diterapkan pada penderita sindrom Tourette antara lain sebagai berikut:

1. Pendekatan Kognitif Behavioral -- Habit Reversal (Wilhelm, dkk. 2003, 1175-1177). Komponen-komponen utama dari pendekatan ini adalah:

  • Latihan kesadaran (awareness training).
  • Pemantauan diri (self monitoring), misalnya menghitung sebelum terjadinya gejala.
  • Latihan relaksasi, misalnya menghitung sebelum terjadi gejala. Setiap hari dilakukan selama 10 -15 menit, dan dipraktekkan selama 1 -- 2 menit setiap muncul kecemasan atau setelah muncul tik (Wilhelm, dkk. 2003).

2. Psikoterapi Suportif.

Terapi ini lebih mengarah kepada pendekatan humanistic (khususnya Gestalt) dimana terapis diharapkan untuk tidak bersikap direktif, dan penderita sindrom tourette dapat memfokuskan diri pada pengalaman-pengalamannya, merefleksikan dan mengekspresikan perasaannya terkait dengan cara hidup dan cara menyelesaikan masalah (Wilhelm, dkk. 2003).

3. Hipnoterapi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun