Mohon tunggu...
Hari Rahman Hakim
Hari Rahman Hakim Mohon Tunggu... Tukang Ngopi nyambi sebagai Pendidik IAI Nasional Laa Roiba Bogor

sebagai suami dari seorang guru bahasa inggris dan ayah dari anak yang diberi nama seperti anaknya EmHa.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Komunikasi Warung Kopi dalam Tayangan Talkshow TV Nasional

5 September 2025   23:34 Diperbarui: 5 September 2025   23:34 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tayangan talkshow televisi nasional belakangan ini semakin memprihatinkan. Isu-isu yang seharusnya dibahas secara mendalam dan berimbang, justru disajikan seperti obrolan warung kopi tanpa arah yang jelas. Fenomena ini terlihat jelas dalam berbagai tayangan yang membahas isu keaslian ijazah Presiden Republik Indonesia, di mana keributan dan teriakan menjadi sajian utama ketimbang analisis yang substantif.

Televisi nasional kini mengandalkan rating sebagai satu-satunya parameter kesuksesan tayangan. Tidak ada pertimbangan apakah tema yang dibahas memang penting untuk publik atau sekadar sensasi belaka. Yang terjadi kemudian adalah tayangan berulang dengan narasumber yang sama, bahkan keributan yang ditampilkan berkali-kali dalam siaran langsung.

Persoalannya bukan pada isu ijazah itu sendiri, melainkan pada cara penyajiannya. Tayangan live dengan pembicara yang ribut, berteriak-teriak, dan saling menegangkan urat leher dalam diskusi menunjukkan tidak ada standar jurnalistik yang dijunjung tinggi. Faktualitas dan keilmiahan dikesampingkan demi drama yang mengundang perhatian.

Pola ini seperti "pengadilan jalanan" yang dipindahkan ke layar televisi. Setiap orang merasa paling benar dan membela posisinya dengan emosi, bukan dengan argumentasi yang solid.

Dalam komunikasi, saya menyebut fenomena ini sebagai "komunikasi warung kopi" atau pola komunikasi warung kopi. Komunikasi warung kopi memiliki karakteristik khas: tidak ada standar, tidak ada kesimpulan yang pasti, dan tidak ada syarat khusus siapa yang boleh bicara.

Dalam warung kopi, semua orang bebas menyampaikan pendapat. Baik yang berdasarkan fakta, landasan ilmiah, maupun sekadar imajinasi dan pendapat pribadi. Semua boleh disampaikan tanpa filter yang ketat. Namun ada satu hal penting: komunikasi warung kopi selesai ketika kopi habis atau warung tutup.

Yang menarik, dalam warung kopi asli tidak ada teriakan atau pertengkaran seperti yang ditampilkan televisi. Yang ada hanya tawa dan saling menertawakan dalam suasana santai dan tidak formal.

Pertanyaan krusialnya: pantaskah tayangan talkshow televisi nasional mengadopsi pola komunikasi warung kopi tanpa filternya? Dua contoh kasus mencolok adalah tayangan tentang isu ijazah dan keributan Hotman vs Razman yang menunjukkan level advokat bertengkar dengan sadar. Kedua kasus ini terus diputar ulang dengan narasumber yang sama, menimbulkan pertanyaan: apakah layak talkshow televisi nasional memilih narasumber berdasarkan viralitas ketimbang latar belakang yang dapat memberikan pengetahuan dan perspektif baru?

Media televisi dan pemimpin redaksi seharusnya memahami etika penyiaran. Namun apakah etika penyiaran boleh dikorbankan demi rating tinggi?

Seberapa penting sebenarnya jika level talkshow televisi nasional yang dihadirkan malah lebih rendah dalam etika dibanding orang-orang yang bebas ngobrol di warung kopi?

Komunikasi warung kopi sebenarnya memberikan kebahagiaan dan tawa lepas yang tidak menjadi permasalahan berkelanjutan. Kopi habis, warung tutup, maka obrolan selesai meskipun tanpa kesimpulan. Jika besok bertemu lagi, topik yang dibahas sudah berbeda, tapi tawa bahagia tetap menemani.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun