Mohon tunggu...
Haries Pribady
Haries Pribady Mohon Tunggu... -

Penikmat cahaya purnama :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kopi #4

14 Februari 2015   19:13 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:11 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14238907561279674231

Sepa

[caption id="attachment_351067" align="aligncenter" width="225" caption="elzajery.blogspot.com"][/caption]

Ada seorang gadis, cantik. Namanya Sepa, Sepa Asmara.Dia duduk di depan rumah menunggu ayahnya pulang. Sepa hanya sendiri sejak ditinggal ibunya mati, kini tinggal ayah yang mengurus semua kebutuhannya. Mentari pagi bersinar cerah, sinar orange masuk ke dalam rumah, menyebar ke lantai-lantai keramik lewat lobang-lobang jendela. Sudah dua hari ini ayahnya tak pulang. Ini bukan yang pertama, namun sudah sering bahkan kadang hingga sepekan. Untunglah Sepa bisa mencari makan sendiri. Dengan tangannya yang mulai kasar, dipetiknya beberapa buah yang ada di halaman rumah. Cukuplah untuk mengganjal perut hingga ayah pulang.

Sepa berdiri, lelah sebab sudah duduk sejak subuh tadi. Kakinya sudah ringkih, punggungnya sudah lemah.Berjalan pelan dia masuk ke kamar. Sepa baring, menatap langit-langit yang hanya berhias lampu pijar. Penutup kepala hitam lebarnya dibuka perlahan, hingga tampak rambut hitamnya yang tergerai panjang. Baju kurung yang berwarna hitamdikenakannya sejak tadi malam, sebab yakin bahwa ayahnya akan pulang. Ah, aku bosan! Lirih Sepa tanpa berharap siapapun di dunia ini memerhatikannya.

Mentari mulai meninggi, bayangan rumah di pinggir bukit itu menghilang. Untunglah angin bertiup sepoi-sepoi. Sepa bangkit dari pembaringannya untuk menyeduh segelas kopi. Sejak ibunya mati, Sepa gemar menyeduh kopi. Bahkan kopi pahit hitam pekat diminumnya tanpa gula sama sekali! Benar benar Sepa sang fundamentalis, dia begitu terjerumus dalam pandangan hidup bahwa segala hal mesti murni dan segala hal yang terjadi di masa lampau sudah terpakemkan dengan sendirinya. Tak boleh diotak atik!

Sore itu ayahnya kembali. Laki-laki gagah berambut lebat itu masuk tanpa mengucapkan salam, perilaku yang sangat dibenci Sepa. Sepa riang, ayahnya datang. Disambutnya sang ayah yang baru saja melepaskan sepatu dan jaket hitamnya. “Pa, ini untukmu. Ambillah!” Ayah menyerahkan sebuah kantongyang berisi setangkai bunga dan sepotong cokelat. “Mmmmm,” tanpa ekspresi yang tegas Sepa mengambil dan membawanya ke kamar.

Beberapa saat setelah itu, ayahnya sedang memerhatikan sekumpulan monyet yang dikurung di samping rumah. Dihitung satu persatu, sepertinya ada yang lepas. Tiba-tiba Sepa datang, menyodorkan sebuah kertas bertuliskan, “Maaf, Ayah. Bunga dan cokelat bukan makanan dalam agama dan kebudayaanku.” Kertas itu diserahkan ke ayah lalu Sepa masuk kembali ke kamarnya.

Sang ayah menarik napas panjang, dia coba memahami sambil berkata lirih pada dirinya sendiri, “Monyet!”

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun