Mohon tunggu...
Hari Anggara
Hari Anggara Mohon Tunggu... Mahasiswa - Structural Reinforcement

Civil Engineering Student at Hasanuddin University

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Cegah Krisis Iklim, Indonesia Targetkan Net Zero Emission di Tahun 2060

19 Februari 2022   22:55 Diperbarui: 19 Februari 2022   23:17 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Isu krisis iklim menjadi pembahasan hangat masyarakat seluruh dunia. Menurut Badan Meteorologi Inggris, suhu rata-rata global pada tahun 2022 di prediksi naik 1,09 C. Jika prediksi tersebut benar, tahun ini akan menjadi salah satu tahun terpanas mendekati kenaikan suhu pada tahun 2015 sebagai tahun pertama kenaikan suhu bumi melebihi 1 C. 

Hal ini berdampak pada perubahan cuaca ekstrim yang dapat memicu terjadinya berbagai jenis bencana alam. Krisis iklim sendiri dipicu oleh penggunaan energi tak terbarukan dan industri yang menghasilkan emisi karbon. 

Krisis iklim terjadi ketika produksi emisi karbon di bumi tidak mampu diserap oleh ekosistem alamiah secara utuh karena deforestasi. Menurut para ilmuan iklim, suhu global akan terus meningkat bila tidak ada kebijakan dan usaha untuk menekan laju produksi emisi karbon. Mengetahui hal tersebut, lantas bagaimana kebijakan pemerintah dalam mendukung Net Zero Emission di tahun 2060?

Mencapai Net Zero Emission di tahun 2060 bukanlah hal yang mudah. Namun tidak menutup keniscayaan target ini akan terwujud. Berbagai kebijakan pemerintah telah dilakukan, salah satunya yaitu Reforestasi Hutan. Namun sayangnya, usaha menanam banyak pohon tidak cukup atasi krisis iklim. 

Hal ini dikarenakan pohon memiliki batasan kemampuan dalam menyerap karbon atau CO2, sedangkan produksi emisi karbon terus meningkat setiap saat sehingga terjadi ketidak-seimbangan di dalamnya.

Jika dipikir, masalahnya bukanlah terkait bagaimana mereduksi emisi karbon yang ada, namun produksi emisi karbonlah yang harus dinetralkan. Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) merupakan penyumbang emisi karbon terbesar dan sangat berbahaya jika dibiarkan berlangsung dalam jangka panjang. Oleh karena itu, transisi energi konvensional menuju energi baru terbarukan merupakan Langkah strategis pemerintah untuk mencapai target Net Zero Emission di 2060.

Hal ini sejalan dengan presidensi G20 indonesia tahun ini. Transisi energi telah menjadi kesepakatan global dan mendorong Indonesia untuk mengoptimalkan potensi Energi Baru Terbarukan (EBT) yang dimiliki. EBT adalah jenis energi yang diperoleh dari sumber daya alam bumi yang bersifat tidak terbatas dan tidak ada habisnya, seperti angin dan sinar matahari. 

Melihat Indonesia merupakan salah satu negara yang beriklim tropis, maka kebijakan Pemerintah dalam memprioritaskan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) sangat tepat untuk diaplikasikan. Hal ini menjadikan Indonesia memiliki potensi besar dalam pengembangan EBT sektor PLTS.

sumber: ebtke.esdm.go.id
sumber: ebtke.esdm.go.id

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Bersama PT. Perusahaan Listrik Negara (PLN) tengah Menyusun Rencana Umum Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, dimana porsi pembangkit listrik EBT diproyeksikan dapat mencapai 51,6% atau lebih tinggi dibandingkan pembangkit fosil. Selain tenaga .hidro dan panas bumi, PLTS akan menjadi salah satu alternatif utama dalam mencapai target bauran EBT 23% pada 2025 mendatang.

Direktur Jendral Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM yakni Bapak Dadan Kusdiana mengungkapkan telah melakukan komunikasi dengan Kementerian Perindustrian dan asosiasi mengenai kesiapan industri penunjang PLTS saat ini.

Tidak hanya itu, langkah strategis lain yang telah dilakukan meliputi penyelesaian Perpres Tarif EBT, Penerapan Permen ESDM PLTS Atap, Mandatori Biodiesel atau Bahan Bakar Nabati, Adanya Hibah Intensif PLTS Atap, Kemudahan Perizinan Usaha, dan Menghentikan Pembangunan PLTU Baru. Langkah strategis tersebut berpotensi besar dalam memperluas jaringan PLTS serta mendukung tercapainya Net Zero Emission di tahun 2060.

Selain itu, pengembangan teknologi seperti kompor listrik dan kendaraan listrik juga sangat mendorong penurunan emisi karbon di bumi. Selama proses transisi energi, (tantangan) di negara-negara berkembang seperti Indonesia akan jauh lebih kompleks dari sisi pengembangan teknologi dan pendanaan. Untuk itu, harus ada penetapan standar yang lebih tinggi mengenai lingkungan, sosial serta tata kelola. 

Sinergi dan kolaborasi setiap pihak sangat dibutuhkan, dengan harapan bahwa keterlibatan semua pihak seperti pemerintah, sektor swasta, akademisi, dan komunitas publik dapat menjawab semua tantangan yang ada serta mempermudah laju percepatan transisi energi.

Semua ini juga tidak lepas dari peran generasi muda sebagai Agen of Change yang dapat menjadi aktivis energi bersih melalui aksi nyata. Hal tersebut dapat dimulai dari Mengkampanyekan adanya peristiwa transisi energi menuju EBT ke masyarakat luas serta dapat berperan langsung di dalamnya. 

Selain itu, meningkatkan minat penggunaan fasilitas transportasi publik juga dapat menjadi langkah kecil sebagai upaya pembiasaan diri dalam meminimalisir penggunaan kendaraan berbahan bakar minyak. 

Transisi energi telah menjadi langkah krusial dan ambisi nasional, segala upaya telah dilakukan. Apakah Net Zero Emission di 2060 akan terwujud? Semua tergantung dari kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun