Lagipula dari sinonggi dan ikan sunu masak palumara yang tersaji, masih plus nasi, sebenarnya masakan ini bisa disantap tiga atau empat orang. Jadi total sebenarnya hanya Rp 15 ribu per orang. Masih masuk akal ketimbang makanan di Desa Majapahit tadi malam.
Saya rasa ada tambahan penggunaan garam dalam pembuatan sinonggi, walaupun tidak banyak, hanya sedikit menghilangkan rasa mual yang terjadi saat kita menelan cairan kental sagu. Tambahan sambal mangganya membuat rasa asamnya makin kentara.
Di sini disajikan parende, teknik memasak yang memang berasal dari Sulawesi Tenggara, atau lebih tepatnya Pulau Buton, beda dengan palumara yang sebenarnya cara memasak ikan dari Makassar.
"Tidak mau pakai sinonggi?" Tanya mba pelayannya keheranan. "Tidak, saya sudah makan. Mau cicipi saja." Jawab saya.
Parende ikan, sebenarnya lebih mirip soto, sebab banyak kuahnya coklat keruh dengan bau bawang goreng yang tajam. Ikannya juga dimasak cukup lama sehingga dagingnya jadi agak keras berserat. Saya lihat di Google, rasa asamnya didapat dari penggunaan belimbing wuluh atau jeruk nipis.
Nah, sudah puas saya menikmati masakan khas Sulawesi Tenggara yang sebenarnya, maka saya memutuskan kembali ke Dragon Inn.Â
Dari berbagai petualangan saya hari ini, melihat beberapa rumah makan dan menu yang disajikan, bisa saya tarik kesimpulan, Kendari ini sebenarnya melting pot kekayaan kuliner bagian timur Indonesia.Â
Mulai dari masakan Ambon, Menado, Toraja, Makassar, bahkan Papua bisa kita temukan di satu kota ini saja, walaupun tentunya tidak akan sama persis dengan daerah asalnya. Lidah dan keahlian masak masyarakat Kendari tentu menambahkan ciri tersendiri.Â