Mohon tunggu...
Hariadhi
Hariadhi Mohon Tunggu... Desainer - Desainer

Ghostwriter, sudah membuat 5 buku berbagai Dirut BUMN dan Agency Multinasional, dua di antaranya best seller. Gaya penulisan berdialog, tak sekedar bernarasi. Traveler yang sudah mengunjungi 23 dari 34 provinsi se Indonesia. Business inquiry? WA 081808514599

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Budiman Vs Dandhy, #DebatKeren yang Harusnya Dijaga Tetap Keren

22 September 2019   22:19 Diperbarui: 24 September 2019   22:46 6053
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
#DebatKeren Budiman Sudjatmiko vs Dandhy Laksono | Ilustrasi: Tangkapan layar channel Youtube Alinea TV

Saat diundang ikut oleh Budiman Sudjatmiko, sebagai upaya memasyarakatkan debat yang rasional di antara para aktivis di media sosial, saya sedang dalam perjalanan ke Jogja.

Poster debat antara dia dan Dandhy Laksono menyatakan debat ini akan berlangsung seru, antara dua orang yang sedari dulu terkenal dengan haluan kirinya. 

Seperti kata moderator saat pembukaan, ibarat sepakbola, satu kiri luar, diwakili filmaker Dandhy Laksono, satunya kiri dalam, tokoh aktivis 90an yang terkenal dengan UU Desanya, Budiman Sudjatmiko.

Temanya apa lagi kalau bukan kisruh Papua.

Bukan karena memang berteman dengan Mas Bud, demikian panggilannya, kalau saya lebih mendukung pandangan-pandangannya mengenai Papua.

Tapi, memang kebiasaan Dandhy yang memblokir siapapun yang tidak sependapat. Saya tidak mendukungnya karena tidak mengerti sama sekali satu pun idenya, karena sudah sejak setahun lalu akun saya diblokir.

Debat Budiman Sudjatmiko vs Dandhy Laksono, sumber: GenPI.co
Debat Budiman Sudjatmiko vs Dandhy Laksono, sumber: GenPI.co
Maka walaupun perdebatan di media sosial yang sudah terjadi berminggu-minggu ini katanya seru, dari sudut pandang saya sendiri, seolah Budiman Sudjatmiko lah yang sibuk bermonolog, walaupun kenyataannya mereka berbalas-balasan.

Ya bagaimana lagi, tiap kali saya buka thread reply-reply-an antar kedua tokoh ini, saya cuma bisa baca komentar mas Bud, balasan dari Dandhy hanyalah tulisan "This tweet is unavailable." Mas Bud lah, yang kalau saya mau jujur, jadi seolah sedang berpidato.

"Saat dunia politik dipenuhi oleh pidato-pidato monolog, maka debatlah yang akan membersihkannya," Demikian prinsip yang selalu ia tekankan sejak Pemilu 2019 lalu. 

Beberapa tahun kenal dan sering berkolaborasi, kami berdua kalau ngobrol selalu sama-sama fair, Mas Bud tidak pernah menganggap peraturan hanya berlaku untuk orang lain, apalagi menganggap orang lain sebagai junior yang harus mengikuti titahnya.

Maka saya tahu pasti, prinsip ini pasti diterapkan ke diri sendiri. Ia tentu tak rela bila followernya hanya mengikuti pendapat-pendapatnya soal Papua. Ia juga ingin yang lain, yang banyak seperti saya, terblokir oleh Dandhy, bisa juga dengan adil mendengarkan argumen tokoh yang sering dijuluki Social Justice Warrior ini.

Maka tanggal 20 kemarin, saya bela-belain segera pulang ke Jakarta walaupun saya masih menikmati perjalanan keliling Jawa naik bus. Sekitar pukul 10:00 sampai di rumah, mandi, beres-beres, saya langsung bergegas ke markas Visinema di Cilandak Timur.

Dan hampir saja saya jadi fans Dandhy Laksono, karena memang pendapat-pendapatnya banyak bernas. Sebagai jurnalis dan filmaker yang hobi berkeliling Indonesia seperti saya yang juga penulis, ia mengoleksi data, mulai dari data sejarah, budaya, hingga politik terkini dari Papua.

Dandhy memiliki banyak angka yang akan membuat kita kagum dan mulai terpengaruh untuk ikut bersimpati kepada warga Papua yang menurutnya sudah terlalu banyak ditindas.

Hebatnya lagi, data itu ia kumpulkan dari pengalaman lapangan, dari perjalanannya keliling nusantara. Dari sekian banyak pelaku debat, biasanya orang-orang yang menguasai data lapangan dengan mudah unggul.

Tapi lagi-lagi, tingkah Dandhy nyaris sama menyebalkannya saat di media sosial. Sejak awal dia sudah memulai diskusi dengan ad hominem.

Ia mempersoalkan lawan debatnya yang menurutnya melakukan aksi teatrikal dengan membuat pembukaan sambil berdiri, dan menyatakan ia tidak akan melakukan hal seperti itu dan lebih memilih duduk, karena menjaga kualitas suara dan peralatan audio yang terpasang.

Berdiri saat bicara dalam sebuah debat bukanlah sebuah kejahatan. Apalagi moderator sudah terang-terangan mempersilakan. Tidak pula ia mengurangi kebenaran dalih dan dalil, yang dimajukan Budiman Sudjatmiko sebagai sebuah pola yang baik dalam berargumentasi dalam debat. Pun tidak pula relevan dengan temanya sendiri.

Apa hubungannya debat sambil berdiri dengan sebuah kebenaran argumen?

Jika kemudian Dandhy mengungkapkan bahwa ia lebih nyaman bicara sambil duduk, tentu itu haknya sendiri. Tidak ada juga yang mempersoalkan hal seperti itu. Tidak akan mempengaruhi kesimpulan debat, sama sekali.

Saat memulai argumennya, Dandhy Laksono, harus diakui, adalah seorang pengumpul data yang baik. Ia bisa menceritakan secara lengkap kronologi bergabungnya Papua sejak awal persiapan kemerdekaan hingga saat ini.

Ia tahu bahwa Muhammad Hatta sejak awal kurang setuju Papua dimasukkan wilayah Indonesia, dengan alasan itu hanya akan mendorong terjadinya imperialisme baru ala Indonesia, dengan peringatan Indonesia bisa saja terpancing untuk terus menguasai Kepulauan Pasifik hingga Solomon.

Sumber: Tirto
Sumber: Tirto
Dandhy mengungkit kembali bahwa tidak ada perwakilan Indonesia saat penyusunan naskah kemerdekaan, bahkan menganggap Belanda tidak dilibatkan dalam New York Agreement 1962, dan menciptakan lelucon yang sama sekali fantasi dengan pendekatan sebuah cerita film Transformer.

"Saat ditanya Orang Papua oleh grass root, 'Bapa, apa itu New York Agreement kah?, dijawab Elite Papua, 'Oh begini.. New York Agreement itu iblis ketemu jin, disaksikan oleh setan tanpa melibatkan kita!'"

Seperti juga Dandhy sulit membayangkan persoalan keterwakilan Papua dalam kemerdekaan Indonesia, saya juga sulit mencari sejak kapan ada diskusi seperti ini dalam sejarah Bangsa Indonesia.

Dandhy kemudian kembali ke track argumen yang bisa dipahami, saat ia menyebutkan kembali konstitusi Indonesia yang menyatakan bahwa "...kemerdekaan adalah hak segala bangsa."

Dan ia mempertanyakan bahwa konsep bangsa sebenarnya sangat fleksibel, tergantung imajinasi apa yang mempersatukan bangsa tersebut. Maka orang Papua pun bisa membangun imajinasi mereka sendiri sebagai sebuah bangsa.

Dandhy kemudian menyambungkan argumennya dengan pemekaran daerah, seperti Gorontalo, yang juga memakai argumen, yang menurut kesimpulannya sendiri, adalah sama.

Sumber: IDN Times
Sumber: IDN Times
Budiman Sudjatmiko pun tidak membantah bahwa definisi bangsa bisa sangat dinamis. Namun ia mengembalikan bahwa yang paling mudah didefinisikan adalah tribe atau kabilah, yang kemudian mengorganisasi diri menjadi persekutuan kabilah dan selanjutnya imperium, seperti yang terjadi di Romawi zaman dulu.

Imperium Romawi bisa saja terdiri dari berbagai bangsa, mulai dari Bangsa Roma, Yahudi, Galia, dan sebaginya, tidak bisa didefinisikan sebuah bangsa atas persamaan ras.

Menurut Budiman, memang organisasi kekuasaan akan terus berubah. Konsep bangsa muncul saat kapitalisme butuh membuka pasar, sehingga butuh cap-cap baru atas bangsa yang sama nasibnya, lalu terbentuklah negara.

Fenomena ini mulai muncul pada abad 19, seiring hancurnya feodalisme dan kolonialisme, sehingga selanjutnya muncullah nasionalisme.

Saat perang dunia terjadi, dan perlahan kolonialisme hancur, maka muncullah wilayah-wilayah baru tanpa pemerintahan yang ingin dan diberikan hak untuk menentukan nasib mereka sendiri.

Papua, kemudian masuk dalam kesepakatan Indonesia membangun bangsanya berdasarkan kesepakatan perasaan senasib sebagai bekas jajahan Belanda, yang kemudian didukung oleh dunia internasional.

Budiman Sudjatmiko mengakui memang dalam penentuan pendapat dulu, dikritik bahwa belum digunakan sistem one man one vote. Ia berargumen bahwa sampai saat ini pun, dalam Pemilu Papua belum bisa membuktikan secara keseluruhan sanggup mempraktikkan one man one vote.

Saya merasa, tampaknya ini merujuk kepada kenyataan masih digunakannya sistem noken dalam Pemilu di beberapa tempat di Papua.

Pernyataan cukup kontroversial dari Budiman Sudjatmiko adalah ia tidak bisa menyetujui pernyataan "NKRI Harga Mati!" Yang langsung disambar oleh Dandhy, "Lalu tadi maksudnya tidak menyetujui referendum apa?"

Pertanyaan ini langsung dijawab bahwa Budiman lebih menyetujui kalau NKRI dianggap sebagai sebuah "Modal awal yang mutlak dan perlu". Ia kemudian menjelaskan bahwa dengan pengertian ini, maka akan sulit untuk kembali lagi ke titik nol, menegosiasikan kembali bagaimana membangun bangsa dari awal, padahal ini sudah disepakati 70an tahun yang lalu. Ini akan membuang-buang energi yang sangat besar.

Dengan konsep NKRI sebagai modal awal yang mutlak dan perlu, maka bangsa kesatuan menjadi titik awal perjuangan, bukan tujuan akhir yang sama sekali tidak boleh diubah. Ini memungkinkan bahwa di masa depan mungkin saja definisi dan konsep negara bangsa bisa dikembangkan sesuai tuntutan zaman.

Jadi mungkin saja nantinya ada persekutuan lain di laur negara-bangsa, walaupun saat ini belum dimungkinkan dan belum bisa dibayangkan manusia pada masa kini.

Berbeda dengan Dandhy Laksono, Budiman Sudjatmiko lebih luas menarik persoalaan kebangsaan ini kepada persoalan dunia internasional, tidak hanya fokus kepada sejarah Papua. Untuk bisa memperjuangkan suatu perubahan hingga saat ini, manusia membutuhkan perkakas, mulai dari mesin, kereta api, komputer, hingga handphone.

Maka dengan memaksakan referendum, konsep one man one vote, dan selanjutnya kemerdekaan, sementara belum ada kesiapan instrumen, dan pranata untuk menyambutnya, maka yang dihasilkan malah fenomena mati muda.

Dalam arti konsep Negara-Bangsa Papua malah menghasilkan kehancuran bagi orang Papua itu sendiri, atau setidaknya stunting, tumbuh dengan kerdil. Dan dalam kondisi terburuk, yang dihasilkan adalah kehancuran.

Dandhy Laksono kemudian menyerang kembali secara personal bahwa ia membiarkan Budiman Sudjatmiko melantur secara tidak relevan. Ia juga menggunakan kembali imajinasi fiksi, bahwa Soekarno menganggap nusantara sebagai tanah kosong. Soekarno dianggap Paman Gepetto mengendalikan Pinokio. Bahkan lebih jauh menuduh adanya pengaruh Messiah Complex.

Saya kembali tidak bisa memahami jika Presiden Pertama kita mengalami messiah complex, karena definisi messiah complex yang saya temukan bukan hanya perasaan menjadi superior dan orang lain harus tunduk. Messiah complex terjadi atas problem religiusitas, yang setahu saya Soekarno bukanlah tipe manusia yang sefanatik itu dalam beragama.

Misalnya jika orang dengan gangguan jiwa mengunjungi tanah suci Yerussalem, maka ia bisa terpengaruh pemikiran messiah complex dengan pengaruh agama Kristen atau Yahudi yang dikenal sebagai Jerussalem syndrome. Lebih jauh, seorang penderita messiah complex akan merasa dialah juru selamat dunia yang penuh dosa.

Sejujurnya, sampai saat menulis artikel ini, saya masih mengingat-ingat apakah Soekarno pernah membuat pernyataan atau keputusan-keputusan yang mengarah kepada gejala messiah complex.

Tidak hanya kepada Soekarno, tudingan messiah complex ini kemudian diarahkan kepada bangsa Indonesia secara keseluruhan, yang membuat kening saya langsung berkerut. Messiah complex disederhanakan kepada keinginan memberadabkan orang lain yang tidak kita kenali dengan baik.

sumber: Redaksi Indonesia
sumber: Redaksi Indonesia
Dandhy menuntut orang-orang untuk menguji kembali dinamika yang terjadi di bekas jajahan Belanda, atau yang menurut istilahnya sendiri, Hindia Belakang atau Hindia Timur.

Ia mengingatkan bahwa orang Papua mengharapkan sebuah kemerdekaan untuk dirinya sendiri, atau setidaknya sebuah referendum dengan sistem one man one vote untuk bisa mengetahui apakah orang Papua sepakat untuk merdeka atau tetap bergabung ke Indonesia.

Ia juga memperingatkan bahwa dari segi keragaman Bahasa saja, Papua bisa disetarakan dengan kekayaan bahasa di Indonesia, walaupun jumlah penduduknya lebih sedikit.

Dengan argumentasi yang hampir terbangun baik dan nyaris meyakinkan saya, kembali Dandhy membuat serangan personal, dengan menyetarakan lawan diskusinya, Budiman, sebagai musuh orang Papua. Sayang sekali, karena saya yakin klaim seperti ini tidak bisa dibuktikan, lebih kepada usaha merendahkan lawan diskusi, alias ad hominem.

Bagi Dandhy, mempertanyakan kesiapan Papua untuk merdeka adalah sebuah sikap rasis. Ia membandingkan, bahwa saat Indonesia merdeka pun kebanyakan rakyatnya buta huruf, sehingga harusnya juga tak pantas merdeka. Namun kenyataannya, Indonesia bisa menjalankan amanat mencerdaskan kehidupan bangsa yang tersurat dalam Pembukaan UUD.

Bagi saya sendiri, perbandingan seperti ini kurang nyambung, karena yang diajukan sebelumnya adalah kesiapan dalam hal infrastruktur, tools, dan kesepakatan sebagai sebuah negara, seperti halnya Indonesia memulai dengan Sumpah Pemuda, penyusunan naskah kemerdekaan, hingga akhirnya proklamasi dan pembangunan untuk mengisinya. Bukan masalah apakah problem inteligensia orang Papua.

Dandhy kemudian kembali berputar kepada sejarah awal terpecah-pecahnya di awal sejarah Indonesia dan dipaksakan menyatu kepada suku-suku lain yang mereka tidak merasa punya kaitan, seperti orang Sumatera dan Sulawesi yang dipaksakan bergabung dalam satu provinsi.

Dandhy melanjutkan inisiasinya bahwa tidak ada perubahan apapun sejak Papua dipaksa menyatu ke Indonesia. Ia mengklaim bahwa berbagai eksperimen terhadap Papua, termasuk otonomi khusus, tidak menghasilkan apapun.

Lebih lanjut, ia lagi-lagi menyerang secara personal bahwa Budiman Sudjatmiko, lawan bicaranya sebagai juru bicara kekuasaan yang telah berkompromi dengan kepentingan para jendral, penguasa, dan kepentingan bisnis.

Menjawab hal ini, Budiman Sudjatmiko menjawab bahwa tidak seharusnya seluruh hal dalam bangsa ini diserahkan kepada Soekarno saja. Walaupun pernah terlibat dalam konflik horisontal dalam sejarah bangsa, Budiman menyatakan tidak seberani itu untuk mengasilkan pertumpahan darah begitu besar untuk pendapat dan kepentingan pribadinya saja. Akan lebih banyak biaya dan waktu yang lama untuk hal seperti itu.

"Saya tidak mewakili partai atau pemerintah. Saya bicara mewakili diri saya sendiri, Budiman Sudjatmiko," ungkapnya. "Tidak satu rupiah pun saya menerima atas sikap saya. Saya tidak tahu berapa yang diperoleh Dandhy, untuk sikapnya." Sindirnya.

"Berapa rupiah Anda pakai untuk kampanye ini, dan berapa dollar yang diterima, saya tidak tahu," Budiman Sudjatmiko balik menyerang.

Sumber: GenPI.co
Sumber: GenPI.co
Dandhy kemudian mengeluhkan bahwa debat ini dimulai dengan sebuah ad hominem, dan diakhiri juga dengan ad hominem, yang langsung disambar oleh Budiman, 

"Seperti mengatakan Budiman Sudjatmiko sebagai juru bicara oligarki, apa kurang ad hominem-nya?" Jawab Budiman.

Tapi bagaimanapun, saya mungkin perlu memberi catatan, bahwa memang ada serangan personal mengenai fisik Dandhy yang berlebihan berat badan sebagai seorang aktivis sebelum debat ini terwujud. Saya tidak akan menutupi itu meskipun atas alasan pertemanan dengan Budiman Sudjatmiko.

Buat saya, saling serang dalam debat memang hal yang biasa terjadi, sebagai tanda bahwa diskusi semakin dalam dan memanas. Namun tentu kita tidak bisa mengeluh diserang secara pribadi, kalau kenyataannya diri sendiri dalam debat juga menyerang pribadi orang lain tanpa henti.

Jadi dalam hal ini, keduanya posisinya bisa dianggap sama, sama-sama melibatkan serangan personal.

Dandhy kemudian membela dirinya dengan menyatakan pendapat Budiman Sudjatmiko sebagai sebuah fear mongering. Ia kemudian mengungkit lagi Timor Leste dan Ambon. Ia menyatakan bahwa saling bunuh di beberapa kasus tersebut bukan sebuah kejadian yang begitu saja, namun ada otaknya yang mengendalikan, lagi-lagi menghadirkan imajinasi Paman Gepetto dan Pinokio.

Ia menuntut otak fenomena ini diseret ke hadapan hukum untuk bisa menyelesaikannya. Ia lebih lanjut, menuding walau Budiman mengaku hanya mewakili dirinya sendiri, tapi tetap mewakili partai.

Ia berkelit tak mau menjawab berapa dollar yang diterima dan dihabiskan untuk kampanye ini.

"Mau satu dollar, seribu dollar, satu juta dollar, saya tidak akan menjawabnya, karena Anda juga tidak akan percaya jawaban saya," demikian kilah Dandhy.

"Ya sudah, Anda bisa percaya atau tidak. Saya keliling Indonesia pakai tabungan. Saya tidak minta teman saya menjadi komisaris BUMN," Balas Dandhy balik menyindir, yang lalu disambut tawa.

Dandhy balik bertanya, bagaimana akhir dari nasib Papua, mengingat segala eksperimen, termasuk menjadikannya sebuah otonomi khusus, sudah dilakukan. Yang belum dicoba adalah mencoba bertanya kepada Orang Papua apa yang mereka inginkan. Dan belum tentu referendum berakhir kemerdekaan Papua, dengan merujuk berbagai referendum di negara lain.

Budiman Sudjatmiko, yang sebelumnya dikenal sebagai aktiis 90an ini menjawab bahwa ia menginginkan pendekatan dialog dan pengembalian sistem tribe di Papua menjadi sebuah sistem dan hierarki bertingkat sebagai sebuah konfederasi Papua. Ini juga termasuk di dalamnya masalah keterwakilan dalam parlemen yang harus diperbaiki agar orang Papua asli bisa terakomodasi lebih proporsional.

Ia juga menyatakan bahwa dalam memecahkan masalah Papua, mungkin saja ada pihak ketiga yang diterima sebagai pengawas, namun harus dibatasi agar tidak mencampuri keputusan atas nasib bangsa kita.

Namun syaratnya, solusi ini harus tetap dalam lingkup keIndonesiaan. Ia menyatakan bahwa, secara prinsip, ia tidak terlalu banyak perbedaan dengan Dandhy yang harus dipermasalahkan.

Dari sesi pertanyaan dari penonton, lebih banyak mengulangi dan menguatkan argumen kedua pendebat. Namun satu hal yang paling penting, baik Dandhy Laksono maupun Budiman Sudjatmiko sepakat bahwa demiliterisasi harus dilakukan di Papua. Lebih jauh, pendekatan polisi sebagai kekuatan sipil yang persuasif harus ditingkatkan sementara kehadiran tentara harus dikurangi.

Menurut pendapat saya, memang inilah pendekatan yang saat ini digunakan pemerintah di Papua. Terbukti saat terjadi kerusuhan rasial, yang didatangkan bukanlah tentara, namun ribuan brimob, yang merupakan kekuatan polisi khusus untuk menghadapi huru-hara, alias riot control unit.

Hasilnya korban jiwa yang berjatuhan relatif sedikit jika dibandingkan penanganan oleh militer pada masa lalu.

Sebagai kesimpulan, #debatkeren yang dihadirkan oleh Visinema dan AlineaTV ini cukup berkualitas, di luar berbagai lanturan yang tidak relevan dan serangan personal yang terjadi.

Saat di dunia nyata, kita bisa melihat dan mendengar argumentasi kedua pihak dengan lebih jernih, tanpa harus ada manipulasi pendapat orang lain, tak harus ada saling bully, keroyokan, bahkan penciptaan opini secara tidak wajar melalui pengerahan cyber army atau buzzer.

Namun saat diskusi ini berakhir dan kembali diperbincangkan di media sosial, saya merasa bahwa ujungnya ya kembali lagi ke titik nol.

Potong-memotong, tambah-menambahi pendapat orang lain yang tidak pernah dia utarakan, kembali terjadi. Lalu menang kalah ditentukan rasa suka tidak suka, bukannya memeriksa apakah benar argumentasi yang disampaikan, ataukah hanya dinilai dengan subjektivitas.

Bahkan yang agak menyebalkan saat penutup diskusi ini pun dimanipulasi seolah kejadiannya adalah Dandhy Laksono menskak mat Budiman Sudjatmiko dengan pernyataannya sewaktu masih di PRD, yang mendukung solusi referendum bagi Timor Leste.

Agaknya Dandhy dan para fansnya ingin menggiring bahwa Budiman tidak konsisten, dan seolah bisa dipaksa untuk setuju bahwa seharusnya Papua juga diberi opsi referendum.

Saya sendiri berkerut kening, karena setahu saya memang bukan seperti itu yang disampaikan Budiman Sudjatmiko saat diadili di Pengadilan Negeri Jakarta pusat tahun 1998 yang saya tonton dulu saat masih SMP.

Debat antara dua orang yang kekiri-kirian harusnya sangat rasional, mempertimbangkan fakta yang ada, bukan malah jatuh kepada saling serang semua lawan semuam yang akhirnya jatuh kepada sikap khas orang kanan, bukannya sebuah progres kemajuan. 

Gambar: Journeyman Pictures
Gambar: Journeyman Pictures
Saya tahu pasti bahwa di debat itu, Budiman Sudjatmiko tidak hanya nyengar-nyengir menanggapi manifesto yang ia buat bersama teman-teman PRD kini dibacakan secara terkoyak-koyak di depan matanya sendiri. Ia justru memperbaiki kekeliruan anggapan Dandhy.

PRD sejak awal tetap menganggap Aceh dan Papua sebagai bagian Indonesia. Ia tidak seperti Timor Leste yang kemudian harus diberikan pilihan referendum. Manifesto itu menyebutkan bahwa pendekatan untuk Aceh dan Papua haruslah dialog, dan menganggap mereka sebagai bagian dari Indonesia.

Ia juga seolah membantah bahwa telah lari dari awal perjuangannya saat masih muda. Justru, banyak poin dari cita-cita Partai Rakyat Demokratik banyak yang telah terwujud, antara lain Timur Leste telah dimerdekakan, pemilu multi partai yang diselenggarakan KPU yang independen bukannya oleh Kemendagri, Undang-Undang Desa, hingga pemeriksaan ulang kekayaan negara.

Sebagian dari mimpi-mimpi itu telah terjadi dan berjalan. Ia menyatakan semua itu adalah hasil dari kepercayaan atas sains, belajar dari perjalanan sejarah, dan mewariskan Indonesia yang bisa dikelola oleh masyarakat desa dan para tribes.

Semua dengan kekuasaan yang telah disusun ulang menjadi lebih demokratis dan bisa diwariskan kepada anak cucu kita semua.

"Itu mimpi kami saat usia kami belum tiga puluh tahun!" demikian tutup Budiman Sudjatmiko.

Sumber: JourneyMan Pictures
Sumber: JourneyMan Pictures
Update:

Banyak yang bertanya-tanya, apakah saya menganggap debat dan argumen Dandhy Lakson sebegitu buruknya dan Budiman Sudjatmiko sebegitu terpujinya? 

Tentu saja tidak, jika teliti membaca, secara tersirat saya juga menunjukkan beberapa kelemahan dalam argumen Mas Bud. Ia mengambil sudut pandang luas dari konsep dan sejarah bangsa. Jika dibandingkan dengan Dandhy yang sangat fokus menyorot sejarah dan budaya Papua, maka bagi orang kebanyakan, argumennya akan lebih mudah dicerna, dan dengan demikian bisa dipahami jika di media sosial Dandhy adalah pemenangnya. 

Budiman terasa mengawang-awang karena ia bicara di tataran konsep dan implikasinya kepada masa depan. Tidak semua orang bisa menarik logikanya kepada masa depan, sesuatu yang sama sekali belum terjadi. Sementara sejarah yang dibumbui cerita fiksi, ditambahi beberapa ad hominem, seperti yang dilakukan Dandhy Laksono memang lebih dirasakan "nyata" dan gampang untuk ditelusuri kebenarannya di internet.

Siapa pemenang debat ini? Itu tergantung seberapa dalam kita bisa memahami masalah. Beda pemahaman, maka beda pula penilaiannya atas kebenaran argumen masing-masing pendebat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun