Mohon tunggu...
Hariadhi
Hariadhi Mohon Tunggu... Desainer - Desainer

Ghostwriter, sudah membuat 5 buku berbagai Dirut BUMN dan Agency Multinasional, dua di antaranya best seller. Gaya penulisan berdialog, tak sekedar bernarasi. Traveler yang sudah mengunjungi 23 dari 34 provinsi se Indonesia. Business inquiry? WA 081808514599

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menghalalkan Toba

6 September 2019   00:31 Diperbarui: 6 September 2019   00:42 373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Jangan coba-coba mengubah adat Batak! Kalau kau tidak mau ikuti budaya kami ya ga usah datang!" Saya tersenyum panjang menghadapi protes bernada denial seperti ini, saat saya berusaha menceritakan pengalaman saya saat terakhir kali di Danau Toba.

Tahun lalu, sambil bersenang-senang dan mengkampanyekan Jokowi, saya berkeliling menyetiri mobil sepanjang Sumatera. Hampir semua jalur saya coba, mulai dari lintas barat, tengah, hingga timur. Saya sengaja berputar-putar, ingin berkenalan dengan penduduk lokal masing-masing provinsi, terutama yang daerahnya belum terlalu memiliki akses ke dunia luar. Di setiap provinsi, rata-rata saya menghabiskan waktu empat hingga tujuh hari.

Di tengah perjalanan, saya dan Tommy Bernadus menyempatkan diri masuk ke Sumatera Utara melalui jalur barat, dari Tiku di Sumatera Barat, terus ke arah Utara, masuk Mandailing Natal, tersesat sebentar di sekitaran Padang Sidempuan, keluar di Siborong Borong, dan meneruskan menyusuri jalan ke Danau Toba hingga ke Parapat.

Saya mengakrabi masyarakat Sumatera Utara sedari dulu, karena besar di Riau. Di Provinsi ini, Suku Minang, Batak, Melayu, hingga Jawa bercampur aduk dan saling berinteraksi. Teman-teman saya yang dari Sumatera Utara ada banyak sekali, dan mereka selalu marah kalau diidentifikasi sebagai Suku Batak saja. "Karo bukan Batak!" begitu kadang mereka protes kepada kami. Tapi ya untuk mudahnya, dari dulu kami menganggap mereka Orang Batak, supaya tidak pusing.

Memang sedari dulu, ketegangan antara keturunan Sumatera Barat dan Sumatera Utara di tempat kami selalu ada. Betul bahwa karena urusan halal haram makanan, kami dibentuk untuk selalu parno untuk makan di rumah makan teman kami Suku Batak yang non muslim. Ada juga yang muslim tentunya, biasanya yang marganya Nasution atau Lubis.

"Itu tu memasaknya harus pakai panci yang bebas najis. Cobalah dibayangkan harus disamak dulu tujuh kali! Kalau indak ya mau masak sapi sekalipun, akan tercemar lemak babi!" Begitu kira-kira yang diajarkan. Tentunya sebagai bagian dari masa lalu kita semua yang tak perlu kita bantah, dan tak perlu diungkit-ungkit.

Cukup saya saja yang keheran-heranan dengan aturan seperti itu, dan mulai belajar hal sebaliknya saat sudah dewasa dan hidup di Jakarta, yang tidak lagi memungkinkan lagi menjalani aturan sekolot itu. Jujur saja, di berbagai penjual makanan di Jakarta, ada saja yang menyajikan makanan tak halal, bercampur dengan masakan halal. Adalah hal memusingkan bila kita harus ngotot penjualnya harus menyamak, istilah untuk mencuci dengan pasir, tujuh kali sebelum memasak makanan yang disajikan.

Kembali ke cerita perjalanan, saya sudah tertarik dengan ikan arsik sejak awal perjalanan, lebih tepatnya lagi bumbu andaliman yang menjadi ciri khas masakan Batak. Saya mengenalnya dari tweet Rahung Nasution, dan berniat suatu saat akan mencobanya mentah saat sampai di Sumatera Utara, dan kini harapan itu telah terkabul.

"Gue mau coba arsik tom, kita bungkus aja, nanti makan di hotel," Cerita saya saat masuk wilayah sekitaran Balige, dari arah Siborong Borong. Tommy non muslim, sehingga dia tidak bermasalah dengan babi panggang. Awalnya saya berpikir babi panggang karo itu seperti yang digemari Obelix, seekor utuh dengan warna kecoklatan mengkilat, lalu disantap dengan mulut penuh, dan berbunyi "Kreot! Kreot! Kreot!".

Atau setidaknya sepotong besar paha babi, begitulah.

Ternyata saya kecewa. Setelah saya lihat Tommy membuka bungkus nasinya, ternyata yang namanya babi panggang itu potongan-potongan kecil, layaknya kita makan kikil di Warung Tegal. Sungguh tidak asik.. Dan ikan arsik yang saya makan sudah tidak segar, mirip ikan yang terpapar udara bebas agak lama, sedikit bau tidak enak.

Saya justru lebih menikmati Ikan Sema panggang yang kami beli di Mandailing Natal. Ikan Sema atau Ikan Larangan adalah ikan khas Sumatera yang hanya ada di air deras dan biasanya hanya dipanen di bulan tertentu, biasanya saat akhir bulan puasa.

Tapi setidaknya saya sekarang sudah tahu rasa andaliman. Mirip jeruk, getir, asam, dan kalau dicampur dengan cabe, akan menghasilkan pedas panas luar biasa, dengan rasa kebas di bibir dan langit-langit. Masakan saksang, sambal rias andaliman, hingga arsik memanfaatkan rasa ini untuk menciptakan rasa nikmat.

Sayangnya rasa nikmat itu tidak terpancar dari ikan arsik yang saya konsumsi. Maka saya berniat untuk kembali mencari ikan arsik kalau nanti melewati Danau Toba lagi.

Kisah berikutnya adalah Tommy harus masuk kantor, jadi dia meminta diantarkan ke Bandara Kuala Namu dan saya kemudian meneruskan ke Binjai, terus ke Langsa, Pereulak, Lhokseumawe, Bireun, berputar-putar sebentar mencari Masjid Jokowi, lalu ke Sigli, memanjat Gunung Seulawah yang melegenda, baru masuk ke Banda Aceh. Dari Banda Aceh, setelah seminggu di Sabang, saya mengarah pulang melewati Meulaboh, singgah dua hari di Takengon, menyusuri jalur tengah, keluar di Kotacane, dan berhenti di Sidikalang, menikmati kopinya yang nikmat luar biasa.

Di sana saya dijamu seorang relawan, sebut saja namanya Anto. Ia banyak bercerita mengenai kualitas kopi Sidikalang dan permasalahannya. Seperti juga daerah lain di Sumatera, pengelolaan kopi di sini masih belum seserius Kopi Gayo, misalnya. "Padahal kopinya sudah pernah kita serahkan langsung kepada Pak Presiden dan janji akan diseriusi pemerintah,"

Namun ya memang tidak bisa begitu saja menghasilkan kopi sekualitas Gayo yang memang diakui dunia internasional, Kata Bang Anto. Padahal kalau dari segi rasa, justru body dari Kopi Sidikalang tidak kalah, begitu pun wanginya lebih tajam.

Nah kembali lagi perkara ikan arsik, haha. Saya juga menanyakan, "Di mana sebenarnya mencari ikan arsik yang enak?" Tanya saya.

"Ya karena ikan arsik itu banyaknya di Babi Panggang Karo, ya carilah arah sekitaran Karo," Jawabnya. "Terus kalau mau dapat sunrise yang bagus dari mana?" Buru saya lagi.

"Kalau dari Sidikalang, coba main ke Silalahi. Itu bagus tempatnya, masih asri. Letaknya ada di sisi barat, jadi bisa melihat sunrise mengarah Danau Toba," Demikian info Bang Anto sebelum saya pamit. Lalu saya pun melanjutkan perjalanan ke Toba. Agak berputar-putar karena saya sama sekali buta berbagai persimpangan di daerah Selatan Karo, dekat Gunung Sibuatan, agak ke arah utara dan barat dari Danau Toba. Namun saya perhatikan budaya mengkonsumsi babi memang melekat di sekitaran tempat ini. Saya perhatikan dari perjalanan arah ke utara menuju barat Danau Toba memang berselang-seling los penjual babi, lapo, dan BPK. Beberapa saya foto untuk dijadikan kenang-kenangan. Ada pula beberapa kebun sayuran dan jagung milik warga.

Nah, setelah berputar-putar, saya kemudian memasuki wilayah barat Toba, di mana sepintas sudah mulai kelihatan kumpulan air dari kejauhan, dengan keadaan lapar dan kantuk merasuki kepala saya. Saya mulai kehabisan energi dan blank. Google Map tak terperhatikan lagi. Saya mulai mencari-cari tempat makan. Bagaimanapun saya tetap muslim, jadi lebih prefer makanan halal. Daerah tersebut memang sudah bukan Karo lagi, namun BPK masih bertebaran di mana-mana.

Namun setelah beberapa tempat makan terlewat, tak juga ada rumah makan muslim yang terlihat, seperti halnya kalau kita melewati jalanan timur Toba. Di Parapat misalnya,  memang sudah menjadi tujuan wisata yang ramai sehingga tidak sulit mencari tempat makanan halal di sana.

Ada satu atau dua yang saya temukan, namun dari kejauhan sudah terlihat tidak ada satupun orang. Terakhir kali saya kemudian menemukan rumah makan minang pun tutup. Saya coba tanya kepada warga yang ada di pinggir jalan sambil duduk-duduk. "Di mana ya bu, kalau saya cari ikan arsik yang enak?"

Si Ibu tertawa, "Ya di BPK lah!"  Ia terkekeh.

Ya sudah, saya kembali ke misi awal menemukan ikan arsik. Maka masuklah saya ke sebuah Rumah Makan Babi Panggang Karo, sambil merekam live. Tentu saja protes berdatangan dari keluarga saya. Namun saya memperhatikan bahwa beberapa petani muslim di sini pun, ditandai oleh kupiah putih di kepalanya, ada yang dengan santai ikut memesan makanan halal, dalam bentuk ikan arsik. Mereka makan bersama anak-anaknya.

"Saya ga makan babi, Bu. Ikan saja," tunjuk saya kepada panci-panci yang tersedia. Dengan cepat semua terhidang, dan tampaknya memang diharuskan ada pelengkap sup. "Jangan dimakan ya supnya, itu pakai lemak babi," katanya memperingatkan. Tampaknya memang mereka berusaha menghormati dan melindungi saat ada pelanggan yang mengakui dirinya muslim dan berpantang daging babi.

dokpri
dokpri
Maka saya pun makan dengan lahap di sebelah bapak-bapak berkupiah putih. Memang ikan arsik yang dijual di sekitaran daerah ini terasa lebih enak. Kuahnya pun hangat dan segar, terlihat baru dimasak. Dengan suasa hembusan angin dingin dari Gunung Sibuatan.

Di lain waktu, teman saya menjelaskan, begitulah adat Orang Karo yang komposisi muslim dan kristennya cukup berimbang.  Mereka saling menghormati iman masing-masing dan menghargai saudaranya yang berpantang babi. "Itu kalau mereka masak di rumah, mengundang makan, maka panci dan kuali tempat masak masakan bagi saudaranya yang muslim dipisah, dan disajikannya pun tidak bertempelan, untuk menghormati,"

dokpri
dokpri
Ya, terbayang kalau fanatisme tidak mau makan di tempat saudaranya yang makan babi juga diterapkan oleh Orang Karo yang berbaur, terbayang sulitnya kehidupan mereka saat harus berinteraksi.

Kembali lagi soal makan ikan arsik, setelah keributan yang membuat saya dicaci-maki di media sosial, seolah melarang ada babi di Toba, barulah saya tahu bahwa ikan arsik juga tersedia di beberapa Rumah Makan Minang. Padahal sejak di Sidikalang saya terus-terusan bertanya kepada warga setempat, selalu saja diberikan clue ikan arsik hanya ada di BPK.

Ini semakin meyakinkan saya bahwa ada kendala informasi yang besar mengenai makanan lokal halal di sekitar Toba.

Balik cerita soal perjalanan. Saya akhirnya sampai di Silalahi larut malam. Sambil menunggu pagi, saya tidur di mobil, di tanjakan dan belokan berliku-liku menjelang Silalahi. Mirip kelok 44 kalau di Sumatera Barat. Dan memang seperti cerita Bang Anto, di kanan kiri masih pepohonan rimbun yang asri. Jika tidak memaksakan diri turun, mungkin saya tidak akan tahu matahari terbit di Silalahu begitu indahnya.

Setelah menghabiskan pemandangan fajar di Silalahi, dan membakar sampah lima karung di tepian Danau Toba, saya merasa lapar dan sudah waktunya makan. Saya longok etalasenya, lagi-lagi saya mesti berpuas diri di banyak warung yang tersedia adalah masakan babi.

Mungkin kasihan melihat saya yang celingak-celinguk tak bisa makan babi, pemilik warung menawarkan, "Makan Mie Gomak saja." Saya terheran-heran. "Apa itu mie gomak?"

dokpri
dokpri
"Itu, kaya spagetti, ala orang sini. Abang pasti suka! Kuah kacang, jadi halal," Ia berusaha meyakinkan.

"Serius, halal?" Tanya saya tak begitu yakin. Terakhir kali saya mencoba masakan spring roll di Vietnam, penjualnya menyatakan itu makanan vegetarian, namun kemudian bos saya menertawakan karena memang spring rollnya vegetarian, tapi kuahnya pakai lemak babi. Saya langsung tersedak, rasa minyak babinya lengket di langit-langit sampai seminggu kemudian.

Saya search di internet, bertemu berbagai resep Mie Gomak. Ada memang yang pakai bumbu kacang. Namun tak sedikit juga yang memuat berbagai resep Mie Gomak dengan potongan daging babi. Tentu saya agak ragu...

dokpri
dokpri
Tapi si Abang penjual cukup gigih meyakinkan bahwa tak ada satupun bagian dari Mie Gomak buatannya yang mengandung unsur hewani. 'Coba saja dulu, nanti kalau ada lemak babinya pasti akan ketahuan, lengket dan enaknya beda dengan rasa kacang." Saya coba sedikit, memang tidak ada rasa lengket dan bergelinyir seperti waktu dulu saya tak sengaja termakan kuah minyak babi di Vietnam.

Saya foto lagi Mie Gomak dalam keadaan warung sedang ribut-ribut tentang Ratna Sarumpaet yang sibuk mencampuri upaya pencarian kapal yang tenggelam di Danau Toba. "Bikin repot kalinya perempuan itu," Teriak pemilik warung yang disambut tawa berderai pengunjung lainnya. "Iya, malu kita nganggap dia orang kita juga," kata yang lain menimpali.  "Udah ga jelas itu dia." Saya tersenyum mendengarkan pembicaraan mereka, sambil mengupload fotonya di Facebook berbarengan dengan minuman soda sarsaparilla khas Sumatera Utara, Cap Badak. Tampaknya minuman ini benar-benar dianggap representasi kuliner di Provinsi ini, sehingga menimbulkan komentar riuh.

Tapi lagi-lagi beberapa kerabat dan keluarga saya mengingatkan dengan penuh khawatir, kalau Mie Gomak pun perlu dihindari karena dikhawatirkan mengandung babi.

Tentu saja saya yang sudah mendengarkan penjelasan dari penjualnya, dan juga sudah mencoba sendiri, tak ada jejak minyak babi di masakan ini. Tapi tetap saja ketidaktahuan, ditambah kurangnya akses informasi menyebabkan berbagai kesalahpahaman mengenai kuliner Toba, Mie Gomak dan Ikan Arsik salah satunya.

Maka itulah yang kemudian saya ajukan, "Kalau teman-teman di Toba memang keberatan  Toba dijadikan kawasan wisata halal, kenapa tidak dibuatkan pusat informasi makanan halal?" Sambil memberikan informasi, memang saat melintasi bagian barat Danau Toba, mencari informasi makanan halal sulit. Itu sebuah kenyataan yang memang saya hadapi saat mengunjungi Danau Toba tahun 2018.

Tentu bukan berarti saya menyatakan bahwa sedikit atau tidak ada sama sekali makanan halal. Ini jauh berbefa dengan pernyataan saya, bahwa "Mencari makanan halal di Toba itu sulit!" Yang jadi masalah adalah ketersediaan dan akses informasi, bukan masalah makanan halalnya ada atau tidak.

Dan sebagai turis yang mengunjungi Toba, bukan hanya soal benar-salah, ada atau tidaknya rumah makan halal, namun soal persepsi yang terbentuk saat kita memasuki Toba. Sebagai contoh saya yang diperingatkan berbagai macam orang saat mengupload foto-foto makan-makan saya ke media sosial, tentu menciptakan pengalaman annoying alias menyebalkan.

dokpri
dokpri
Sayangnya usul ini langsung dijawab dengan meledak-ledak, meledek-ledek, bahkan terkesan anti kritik. Dari berbagai caci maki yang masuk ke mention saya, rata-rata terlihat menjatuhkan secara personal, bahwa saya bukan orang Toba, tak usah berkomentar, bahwa saya tidak tahu apa-apa tentang Toba.

dokpri
dokpri
Bahkan yang paling lucu, sudah saya lihatkan dua bukti foto saya sudah berkeliling Toba, masih juga ngotot kalau saya ini tidak pernah benar-benar ke Toba. Sampai Silalahi tempat saya berhenti pun diributkan, katanya ada Tao Silalahi dan Huta Silalahi, ada pula marga Silalahi. Dibuatlah kesan kalau tidak mengerti ketiganya, maka saya tidak pantas bicara soal kuliner Toba.

Duh Toba bikin Tobaaat...

Berkali-kali saya tegaskan, bahwa saya bukannya mendukung pembangunan Toba sebagai Kawasan Wisata Halal. Tidak pula saya meminta supaya lapo babi dan BPK dimusnahkan dari Toba. Tentu saja itu ide konyol dan tidak menghargai kearifan lokal. "Coba buktikan mana dari tweet saya yang menyatakan babi harus dihapuskan dari Toba," Demikian tantangan saya berkali-kali. Setiap kali disebutkan begitu, lalu penyerang saya terdiam lama, lalu menghilang, dan besoknya datang lagi dengan caci maki dan tuduhan yang sama.

Sungguh disuksi yang tidak berisi, tidak asik!

dokpri
dokpri
Yang saya maksudkan dan bayangkan hanyalah pusat informasi, yang bisa menerangkan, misalnya, kalau saya mau makan mie gomak yang sepenuhnya vegetarian tanpa tambahan bahan hewani sedikitpun, di warung yang mana? Adakah warung yang sama menjual makanan tidak halal? Ini penting karena seperti saya sebutkan tadi, bahwa yang cukup fanatik dengan aturan halal-haram akan meributkan peralatan yang digunakan saat memasak apakah tercampur dengan masakan daging babi?

dokpri
dokpri
dokpri
dokpri
dokpri
dokpri
"Itu baru ikan arsik dan mie gomak, bagaimana jika misalnya ada turis yang mencari saksang namun versi halal, seperti yang dibuat Lapo Bonga-Bonga milik Rahung di Cipete?" Tentu pertanyaan ini perlu dijawab dan dipecahkan.

Ada yang bertanya, kalau cuma cari makanan halal, kan rumah makan minang banyak? Atau bawa aja popmie, siram pakai air, sudah makan makanan halal juga kan?

"Lah ya masak jauh-jauh ke Toba makannya nasi padang?" Terus terang saya agak kesal menjawab pertanyaan seperti ini. Membangun sebuah kompleks wisata (tidak harus dengan tema halal ya), tentu harus memikirkan kesatuan. Apa indahnya jika saya mencatat pengalaman saya menikmati sunset di Danau Toba dengan makanan mie instant? Akan lebih indah jika pemandangannya Toba, orang-orangnya berbudaya Toba, oleh-olehnya Toba, makanannya yang dicicipi pun dari Toba...

Maka, turis muslim pun rasanya berhak untuk mendapatkan experience lengkap seperti ini dari kunjungan mereka ke Danau Toba. Walaupun mereka tidak bisa menikmati sepenuhnya hingga ke masakan babi, anjing, dan darah karena masalah iman,  namun banyak cara untuk memperkenalkan kekayaan kuliner Batak dan Karo, untuk mereka bawa pulang dan ceritakan kepada keluarganya di rumah nanti.

Itulah mengapa yang saya usulkan adalah Pusat dan Jaringan Informasi Makanan Halal, sama sekali berbeda dengan ide Kawasan Wisata Halal. Tak perlu pelabelan, tidak perlu standarisasi ini itu. Cukup keterangan lengkap cara mencari makanan apa ada di mana dan bahan-bahannya apa.

dokpri
dokpri
Omong-omong lagi karena saya sendiri penggemar masakan Sumatera Utara, setelah munculnya keributan di media sosial yang berhari-hari menghasilkan kecamanan ke akun saya itu, akhirnya saya iseng mencoba makan di Jembatan 2 Mal Ambassador. Berbeda dengan dulu, suasana lantai 4 mal ini sudah sangat ramai dengan berbagai koleksi makanan senusantara. Salah satunya masakan batak. Di Lapo Ni Tadongta, kembali saya temukan masakan ikan arsik, sayur ubi tumbuk, sambal rias andaliman, dan bahkan minuman soda Cap Badak yang langka di Jakarta.

Maka sambil usil menikmati halalnya makanan ini, saya umumkan saja giveaway makanan Sumatera Utara yang halal ini. Kuisnya sederhana saja, menebak santap siang yang saya foto. "Giveaway time, hadiahnya Rp 250, Rp 100, dan Rp 50 ribu," Saya mengumumkan di timeline. Saya juga mewajibkan peserta mencantumkan hashtag #IloveToba.

dokpri
dokpri
Pesertanya langsung ramai. Kebanyakan menyatakan bangga sekali sebagai Warga Toba, makanan mereka dinikmati oleh orang Non Sumatera Utara di Ibukota. Banyak juga yang membicarakan ide saran perbaikan untuk kondisi Danau Toba supaya semakin ramai dikunjungi

Maka tumbuhlah keyakinan di diri saya, rasanya tidak setertutup itu Orang-Orang Toba dalam memajukan daerahnya sebagai wilayah pariwisata. Banyak juga yang mampu berpikir profresif, menyediakan kenyamanan seperti yang dibutuhkan oleh konsumen, dalam hal ini turis.

Terngiang-ngiang kembali pesan orangtua saya untuk selalu berhati-hati dengan makanan haram. Karena yang haram itu selalu bikin candu, enak tapi dosa! Kalau tidak enak, maka Tuhan tidak akan cape-cape mengharamkan, bukan?

Demikian pesan beliau akan selalu berikan saat saya mulai merantau, hehehe.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun