Terasa beda sekali beda tahu yang digunakan dibanding kupat tahu yang saya makan di Pangandaran. Di sini ketupatnya jauh lebih lembut dan manis, sementara tahunya tidak garing dan renyah seperti di Pangandaran.

Dan karena ingin santai berolahraga menikmati suasana Cianjur, saya memilih jalan kaki saja. Toh jalannya turunan, jadi tidak perlu banyak berkeringat. Udara Cianjur juga cukup sejuk.
Sesampai di pasar dekat terminal, saya celingukan mencari tempat makan siang. Alhamdulillah bertemu kafe yang menyediakan bakakak ayam di bawah jembatan penyeberangan.Â
Ayam bakakak sebenarnya ayam panggang yang biasa kita temui di banyak rumah makan, namun bumbunya agak pedas dan wangi. Tampaknya ditambah kencur. Begitu pun sambelnya, pedas karena cabe yang digunakan mentah dan juga ada selayang bau kencur.

Tersajilah seekor utuh bakakak ayam, dengan harga Rp 50.000. Sebenarnya ini tidak mahal-mahal amat karena bisa dinikmati 6-7 orang.

Dalam setengah jam, angkot sampai di Jembatan Cisokan dengan ongkosRp 7.000. Haus, saya mendatangi warung setempat dan sekaligus bertanya angkot berikutnya ke Waduk Cirata.Â
"Naik saja yang hijau putih. Kalau ojek agak jarang di sini." Kata salah seorang penjual cireng. Maka saya melanjutkan perjalanan lebih jauh lagi ke dalam, tepatnya Desa Jangari dengan ongkos sama, Rp 7.000.
Dan akhirnya setelah 45 menit perjalanan, saya sampai juga di Waduk Cirata. Alhamdulillah...pikir saya. Pukul 3:00 sore saya masih punya kesempatan berkeliling mencari spot terbaik untuk mengambil foto sunset.