Diharapkan dengan adanya waduk ini, air hujan dari Bogor akan tertahan sebelum membanjiri Jakarta, sehingga banjir di Jakarta berkurang hingga 30 persen. Setelah saya lihat posisinya di Google Map ternyata nantinya akan memotong jalur puncak dari Bogor ke Bandung.

Padahal jalur puncak ini dulu menjadi kenangan saya saat masih sekolah di SMA 3 Bandung, sebelum akhirnya kereta Parahyangan dan jalur bus Cikampek menjadi lebih populer karena relatif lebih bebas macet.Â
Meskipun kini di kiri kanannya telah sepi karena tidak ada lagi kafe dan restoran, namun warung-warung kecil warga yang tersisa membangkitkan kenangan tersendiri.
Begitulah, setelah bermalam di salah satu kafe di Bogor, akhirnya saya memutuskan berkeliling dulu sebentar di Ciawi mencari-cari makanan unik yang bisa dijadikan bahan tulisan. Cukup Rp 4.000 dari Terminal Baranangsiang, Bogor, naik angkot hijau bertuliskan kode 03.Â
Dan tepat di persilangan Jalan Raya Ciawi-Sukabumi dan jalur puncak, saya menemukan sebuah rumah makan kecil. Sebenarnya hanya rumah makan biasa, namun di pojoknya ada tulisan Bubur Rendang.

"Sama es jeruk ya!" Si Teteh di dalam langsung menyanggupi dan terhidanglah hidangan itu di meja. Ternyata bubur rendang itu semacam bubur ayam yang potongan daging ayamnya diganti rendang.

Harganya sendiri relatif tidak mahal. Dengan berbagai tambahan pesanan minum, kerupuk, kacang, dan pisang, saya hanya ditagih harga yang sangat ringan.
"Dua puluh enam ribu Rupiah", jawab Mamangnya setelah saya menyebutkan apa saja yang tadi saya habiskan. Lebih lanjut saya tanyakan bagaimana mencapai Cianjur melalui jalur puncak.Â