Mohon tunggu...
Hariadhi
Hariadhi Mohon Tunggu... Desainer - Desainer

Ghostwriter, sudah membuat 5 buku berbagai Dirut BUMN dan Agency Multinasional, dua di antaranya best seller. Gaya penulisan berdialog, tak sekedar bernarasi. Traveler yang sudah mengunjungi 23 dari 34 provinsi se Indonesia. Business inquiry? WA 081808514599

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Cegah Stunting, Pak Jokowi Hadiahkan 20 Sepeda untuk Suku Anak Dalam di Hari Anak Nasional

27 Juli 2018   14:58 Diperbarui: 27 Juli 2018   15:15 829
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Banyak yang tidak mengerti ditawari kontrak, lalu tanda tangan, lepaslah tanah tempat mereka berpindah-pindah," kata Jenang.

Ya memang dengan kondisi gaya hidup sudah berubah, butuh uang, kelaparan, tak mengerti cara menanam, lalu datanglah oknum-oknum yang tawarkan mereka uang dengan keharusan menandatangani kontrak-kontrak tertentu yang mereka sulit baca.

Maka tergadailah sepetak demi sepetak lahan mereka, yang mereka sendiri tak mengerti. Hutan mulai terkonversi jadi kebun sawit. Mereka ingin menuntut balik, tak mengerti hukum. Cuma bisa gigit jari saat hutan mereka menghasilkan uang dari sawit.

Jadilah sekarang hutan mereka yang harusnya memberikan sumber makanan berganti jadi prahara.  Awalnya mereka tinggal di hutan, sekarang perlahan tergeser menjadi di tepi-tepi kebun sawit dan karet, tanpa boleh memungut apa-apa. Tanahnya yang awalnya subur, ikan dan buah di mana-mana, sekarang cuma ada sawit dan karet yang mereka juga dilarang disentuh. Bahkan dicuri pun keduanya tak bisa dimakan. Bagaimana mau berdagang? Membaca dan berhitung saja sulit.

Bahkan pemda pun ogah ngurusin jalan masuk akses mereka sudah belasan tahun terakhir. Saya udah coba offroad di sana pake Toyota Calya. Alhamdulillah beberapa kali kakinya nyangkut dan selip. Tapi beruntung mobil ini cukup tangguh.

Luar biasa bikin ingin nangis, berasa bukan Indonesia!

Tapi mereka beruntung memiliki Jenang dalam struktur adatnya. Jenang adalah semacam kepala suku tertinggi yang dihormati semua temenggung (kepala suku lebih kecil) yang anehnya justru diangkat dari warga non Suku Anak Dalam. "Saya ini lulusan SMEA, dan memang punya passion tinggi mengajar anak-anak itu," Betul! Karena jenangnya dipilih dari warga luar, maka mereka lebih maju pemikirannya dan bisa mengajari Suku Anak Dalam untuk berbenah diri, memperbaiki nasib.

Dulu jenang sering dianggap remeh, sekedar penghubung Suku Anak Dalam dengan dunia luar. Padahal posisinya vital dan sangat disegani. 

Setiap ada masalah di SAD seperti konflik lahan, kemalangan, sakit, dan lain-lain, pasti baik aparat maupun warga SAD akan mengadu kepada Jenang. "Sayangnya saya tidak memiliki pengakuan sebagai Jenang, sehingga sulit bagi saya mengupayakan bantuan dari perusahaan-perusahaan. Saya hanya butuh itu saja! Selembar surat yang menyatakan saya adalah Jenang Suku Anak Dalam. Karena toh yang sebenarnya sibuk mengurusi mereka ini saya. Kalau kesulitan dan kemalangan mengadunya pun ke saya."

Di kesempatan kedua saya mendatangi Suku Anak Dalam bersama Tommy, Jenang bercerita bahwa banyak pihak yang menjanjikan ini dan itu namun kenyataannya tidak diwujudkan, hanya jadi janji belaka, termasuk janji membuatkan gedung untuk belajar. Nyatanya bertahun-tahun janji itu dinanti, nihil. 

Sekedar bantuan rutin beras, sarden, dan lainnya yang akan dipakai nantinya untuk memberikan penghiburan bagi warga SAD yang kemalangan pun sekarang sudah jarang diterima. "Dulu bantuan seperti itu banyak, sekarang sudah menghilang."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun