Mohon tunggu...
Hariadhi
Hariadhi Mohon Tunggu... Desainer - Desainer

Ghostwriter, sudah membuat 5 buku berbagai Dirut BUMN dan Agency Multinasional, dua di antaranya best seller. Gaya penulisan berdialog, tak sekedar bernarasi. Traveler yang sudah mengunjungi 23 dari 34 provinsi se Indonesia. Business inquiry? WA 081808514599

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Jalan-jalan ke Sabang, Menikmati Qanun Aceh

8 Juli 2018   10:20 Diperbarui: 8 Juli 2018   10:38 1108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Namanya Philips, bule asal Perancis yang sudah menetap 25 tahun di Aceh. Kampungnya Mersailles. Ia menikah dengan perempuan muslim yang ditemuinya di Medan. Berdua, pasangan romantis ini menggarap Penginapan Marifi Guest House tepat di seberang Pantai Pasir Putih, Pulau We yang cantik. Mereka membangun dengan susah payah sedikit demi sedikit karena dulunya katanya Philips bukan bule kaya.

Tapi terus terang Marifi Guest House jauh lebih baik dari penginapan 200-300 ribuan milik warga lokal yang sudah saya coba di sepanjang Sumatera. Philips dan istrinya mengerti sekali nilai hospitality dan layanan prima. Rp 130 ribu sudah dapat double bed, kamar mandi dalam, dan AC. Sepreinya bersih dan harum, bahkan diberikan pula seprei cadangan kalau yang asli kotor.

Saat saya cerita bahwa saya sudah 3 hari kurang tidur sesampai di Pulau We, dia ketawa keras dan panjang, lalu mempersilakan saya menginap. Bule petualang seperti dia pasti mengerti lelahnya perjalanan panjang. "Saya juga senang nyetir. 

Seisi Aceh dan Sumut saya jelajahi tapi ga kaya kamu, pake mobil baru. Saya pakai Panther tua.." Mak.. saya intip Panthernya benar-benar sudah tua. Atapnya sudah bocor ditambal seadanya dengan dempul. Kalau benar bertualang, pasti bule ini benar-benar menikmatinya.

Philips bahkan bercerita bahwa orang-orang Perancis yang masih muda memang hobinya bertualang juga seperti saya. Bawa kompor dan makanan sendiri, numpang di kebun orang untuk bikin api unggun dan memasak. "Datanglah ke Perancis sekitar bulan Oktober," Katanya. "Bakal ketemu banyak anak-anak muda Perancis seperti kamu yang mencari petualangan."

Philips antusias saat saya beritahu saya keliling Sumatera untuk mendata kinerja Jokowi sambil membangun jaringan relawan. "Berikan saya satu kaos Jokowinya! Istri saya juga. Nanti kita foto bertiga," demikian janjinya. Dan benar, di akhir petualangan di Sabang, dia ingat untuk pakai kaos itu dan mengajak foto bertiga dengan kaos #JKWadalahkita

Saya tentu heran kenapa dia ikut-ikutan dukung Jokowi. Apa karena senang dengan citranya sebagai wong ndeso? Merakyat? No.. sebagai seorang bule, Philips sangat logis dan realistis memandang Politik. "Saya juga senang SBY, kerjanya bagus. Dilanjutkan dua periode. Saya itu pusing di Indonesia kalau ganti kepemimpinan, maka kebijakan juga dibongkar. Proyek setengah jalan lalu terbengkalai. Ganti walikota, ganti gubernur, ganti presiden, semua jadi berubah."

Jadi bagi Philips, mendukung Jokowi sebenarnya bukanlah karena dia suka karakternya. Yang paling penting adalah efek yang dirasakan ke masyarakat di bawah. Mungkin saja ada yang lebih baik dari Jokowi, namun jika 2019 dia diganti seperti teriakan banyak haters, terbayang Indonesia harus membongkar ulang semua pembangunan infrastruktur yang sudah terlanjur setengah jalan. Karena itulah sistem politik yang berlaku di Indonesia. Ganti pemimpin, ganti kebijakan. Ujungnya rakyat yang harus pusing menyesuaikan diri.

"Sebagai tata krama bertamu.." kata saya "ini saya bawakan untuk Pak Philips beberapa minuman dan penganan khas Sumatera dari provinsi yang saya lalui." Lalu saya beri bungkusan berisi Teh Kayu Aro dari Kerinci, Kopi Kerinci, Teh Prenjak dari Bengkalis, dan Dendeng vegetarian dari Solok." Philips sangat mengapresiasi hadiah tersebut. 

Saya jelaskan juga bahwa memberikan tamu memberi hadiah atau oleh-oleh adalah bagian dari adat istiadat di Indonesia. Ya, saya merasa datang ke penginapannya sebagai tamu, bukan pelanggan yang minta dilayani.

Sebagai balasannya karena dihormati sebagai tuan rumah, dia banyak memberi saran ke mana saja harus berkeliling Sabang. Bahkan tempat memancing pun diberi tahu. "Saya dapat segini," katanya sambil membayangkan ikan serentangan tangan dari dada kiri ke dada kanan. Luar biasa, memang Sabang sangat alami dan terbukti saya dalam 2 jam memancing di tempat yang dia tunjukkan langsung dapat belut laut lumayan besar untuk 3 kali makan.

Pemandangan Pantai
Pemandangan Pantai
Atas berbagai saran Philips, saya jadi bisa ngebut karena sudah tahu titik apa saja yang harus saya kunjungi. Dan barulah terbuka mata saya bahwa Sabang, dan Aceh pada umumnya, bukanlah daerah yang tidak ramah pariwisata, terutama wisatawan luar negeri. Justru Jokowi pada tahun 2017 mencanangkan Sail Sabang 2017, yang mendorong pemilik kapal pesiar dan bule-bule kaya untuk merapat dan berkeliling Sabang.

Sampai sekarang bule-bule masih asik saja berwisata di Sabang. Tidak ada kewajiban berhijab atau baju kurung seperti isu yang dihembuskan orang. Dan seperti yang saya tulis di artikel sebelumnya, tidak benar Qanun Syariat Islam itu dipaksakan kepada turis dan pendatang. 

Saya coba tanya kepada pemuda setempat, seorang supir yang lalangbuana Sabang-Sumatera, jawabnya "tidak benar.. kalaupun ada turis yang melanggar aturan susila di sini, terakhir hanya 'dideportasi' balik ke Aceh, disuruh pulang ke negaranya." 

Sabang sama saja seperti Bali, penuh turis. Bedanya di sini tidak ada bule berbikini atau toples. Boleh dibilang tidak ada transaksi layanan seksual, tidak ada penduduk lokal yang mau menukarkan jasa tersebut dengan ancaman cambuk.

Ya, hanya hukuman cambuk yang diterapkan, bukan potong tangan atau Qisas alias nyawa bayar nyawa, yang selama ini ditakutkan orang se Indonesia. Sabang hanya menerapkan aturan moral yang sebenarnya tidak beda dengan Jakarta. 

Kalau bawa pasangan ke hotel wajib bawa surat nikah. Kalau berduaan jangan mesum. Kalau ngumpul malam-malam di warung boleh saja, tapi jangan coba-coba berjudi.

Itu saja aturan moralitas di Sabang, persis Jakarta, plus ancaman hukuman cambuk.

Di luar mitos aturan qanun yang ditakuti itu, Sabang benar-benar pulau surga. Pantainya indah, tak jauh beda dengan Phuket, Thailand. Enaknya dibanding Thailand, kita bisa makan dengan harga murah, bisa menawar barang dengan bahasa setempat, bisa menyewa mobil keliling pulau karena punya SIMnya, dan yang jelas kita bisa tanya dengan Bahasa Indonesia kapan pun tersesat. Sesuatu yang tidak akan kita temukan dari pariwisata Thailand.

Tapi ya minus ladyboy, buat yang berwisata ingin hunting layanan ladyboy atau sembunyi-sembunyi sama selingkuhan mbok ya sadar diri, ngapain juga carinya ke Sabang. hahaha.

Pantai Sabang bersih sekali, walau masih ada satu atau dua penduduk yang kurang kesadaran membuang sampah dan limbah ke pantai dan sungai. Tapi dibanding Sumatera daratan, masih jauh lebih bersih dan airnya bening-biru. Mirip foto-foto Laut Banda yang bisa kita temukan di Google Image.

Pantai di Sabang bermacam-macam. Bisa nemu berbagai pantai yang sesuai keinginan kita. Ada pantai landai berpasir putih, ada pantai karang yang curam, ada pantai dengan teluk teduh yang cocok untuk mancing, ada pantau yang penuh pepohonan, bahkan juga ada tebing curam yang cocok untuk spot fotografi landscape untuk mendokumentasikan Samudera Hindia. Kalau tak suka sunset, bisa putar dalam waktu setengah jam ke pantai di timur. Ga bisa bangun pagi? Sore-sore hunting sunset di pantai baratnya.

Makanannya juga nikmat sekali. Cocok dengan lidah lokal kita. Intinya adalah masakan Aceh, mirip masakan Padang, namun tidak sepedas dan semerah gulai masakan Padang. Gulai Aceh cenderung encer, manis, dan asam. Satenya ya Sate Padang juga (untuk review sate padang, bisa baca tulisannya Thomas J Bernadus).

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi
Bedanya di Sabang, saya menemukan kuliner unik, sate gurita. Nah kalau yang ini saya recommend sekali karena memang di sini gurita berlimpah ruah. Soalnya pantainya menghadap laut dalam, Samudera Hindia. Kalau anak-anak muda di sini libur sekolah atau kerja, maka mereka sibuk kelilng pulau pakai motor, menembak gurita dengan tombak.

Untuk menikmati sate gurita terbaik, saran saya datang ke pujasera di pusat kota Sabang. Di seberang pujasera, ada warung Sate Mak Tambo. Inilah sate gurita yang asli Sabang, katanya. Bu Daud, penjualnya, memberi jaminan "Yang enak dan lembut guritanya di sinilah. Gurita kalau salah mengolahnya ya jadi seperti karet dan getas bin keras. Di sate Mak Tambo ini, dijamin lembut." Dan memang, saat mengunyah sate gurita Mak Tambo, saya seperti makan sate lidah. Lembut dan enak, nyam!

Tapi wajib tahu kalau Bu Daud hanya merekomendasikan dan menyajikan sate gurita dalam porsi kecil. Karena sekali makan sate gurita cenderung bosan, soalnya mengunyahnya agak lama. Kalau ingin porsi ekstra, maka harus bilang kepada Bu Daud, baru dia buatkan porsi 10 atau 15 tusuk seperti kita biasa makan sate di Jakarta. 

Dan habis makan 10 tusuk ya sudah pasti kolesterol naik hahaha. Kepala saya pusing dan langsung sadar kenapa Bu Daud menyajikannya dalam porsi kecil saja. Buat yang darat tinggi macam uda Pery Monjuli jangan lupa stok statin dulu sebelum menyeberang ke Sabang yo!

Bagaimana cara mencapai Sabang yang indah luar biasa? Menyeberang aja di Pelabuhan Ulee Lheu di Banda Aceh, lalu beli tiket. Usahakan datang 4 jam sebelum jadwal keberangkatan yang diinginkan, karena kapasitas kapal terbatas dan satu dari dua kapal yang tersedia sering rusak.

Menyeberang dengan kendaraan mobil di sini berebut, bahkan bisa tertunda berhari-hari. Tiketnya pun mahal, 230 ribuan. Bolak balik berarti nyaris Rp 500 ribu. Menurut tour guide lokal yang saya temui, "Saya sarankan daripada kecewa dengan layanan pelabuhan, beli saja tiket kapal ekspress, tinggalkan kendaraan parkir di Ulee Lheu. Lalu sewa saja kendaraan Rp 300 ribuan sehari di Pulau We."

Betul, saran itu memang terbukti. Saya sendiri akhirnya menghabiskan waktu sekitar 5 hari hanya untuk menanti penyeberangan ke Sabang, keliling Pulau We, lalu balik lagi ke Ulee Lheu. 5 hari dan Rp 500 ribuan tentu sebuah kerugian luar biasa dibanding sewa mobil 2 hari. Sementara tiket penumpang non mobil di VIP saja cuma Rp 58 ribu. Kalau tak mau VIP, layanannya tetap bagus pakai kursi yang nyaman, cuma Rp 38 ribu.

Atau kalau memang berduit, sekalian saja naik pesawat, transit dari Bandara di Banda Aceh, lanjut ke Sabang. Di Sabang ada kok bandara.

Jadi kesimpulan saya, di luar masalah akses transportasi, Pulau We dengan Kota Sabangnya luar biasa! Tak rugi ke sini, ketimbang buang-buang devisa bangsa kita dengan memberikan uang ke ladyboy Thailand. Jika yang dicari bukan pemandangan bule topless, pijat plus-plus, atau kebebasan berbikini ria, maka mainlah ke Sabang.

Seminggu keliling di Pulau We dan Sabang dijamin puas!

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi
ps: Jangan lupa cicipi juga teh hijau di Pelabuhan Sabang ya.. enak banget!

#1000kmJKW

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun