Mohon tunggu...
Hardius Usman
Hardius Usman Mohon Tunggu... Dosen - Humanitarian Values Seeker in Traveling

Doktor Manajemen Pemasaran dari FEUI. Dosen di Politeknik Statistika STIS. Menulis 17 buku referensi dan 3 novel, serta ratusan tulisan ilmiah populer di koran. Menulis hasil penelitian di jurnal nasional maupun internasional bereputasi. Mempunyai hobby travelling ke berbagai tempat di dunia untuk mencari nilai-nilai kemanusiaan.

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Menyambangi Bern, Kota Tua yang Awet Muda

5 Juni 2020   13:39 Diperbarui: 9 Juni 2020   04:56 453
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Koleksi Pribadi

Ibukota Swiss ini sangat mungil. Luasnya hanya sekitar 50 km2, dengan jumlah penduduk sekitar 140 ribu orang. Bandingkan dengan Jakarta, yang luasnya lebih dari 7.500 km2 dengan penduduk sebanyak 10,5 juta jiwa. Saking mungilnya, tempat wisata di sana dapat kita kunjungi dalam sehari, bahkan dengan berjalan kaki.

Bern adalah salah satu kota tua, yang didirikan oleh Duke Berchtold V pada tahun 1191. Sejarah yang pernah dilewati kota ini membuatnya masuk dalam daftar UNESCO World Heritage Site.

Sekalipun demikian, sejarah mengenai kota ini tidak banyak diketahui orang, seperti kita mengenal Roma atau Istanbul. Kota ini juga tidak mempunyai landmark seheboh Eiffel di Paris atau Liberty di New York. Mungkin inilah yang menyebabkan kota ini bukan pilihan utama wisatawan, yang lebih memilih Zurich, Jenewa atau Lucern.

Sekalipun demikian, bagi wisatawan yang ingin melihat dan menikmati suasana ibukota yang berbeda, di sini lah tempatnya. Kita tidak akan menemukan apa yang diberikan Bern di berbagai ibukota dunia, seperti Tokyo, Washington, atau London. Bagaimana mungkin kota yang telah menjadi ibukota sejak tahun 1848, begitu tenang, teduh dan senyapnya?

Di belahan dunia manapun, biasanya ibukota tumbuh menjadi kota metropolitan, dengan gedung-gedung pencakar langit, jalan-jalan lebar yang bertingkat-tingkat, dan lampu-lampu jalan yang terang berderang. Kita tidak akan menemui semua itu di Bern.

Bern lebih memilih menjaga pohon-pohonnya dibanding menumbuhkan beton-beton. Lebih memilih menjaga ruang hijau tempat bunga bermekaran, daripada memekarkan pabrik dengan kepulan asapnya. Lebih memilih mempertahankan jalanannya yang sempit daripada memanjakan penduduknya menggunakan kendaraan pribadi.

Tampaknya di sini, bukan lingkungan yang beradaptasi terhadap kebutuhan manusia, melainkan manusia yang harus beradaptasi dengan lingkungan. Penduduknya tidak boleh cengeng untuk berjalan 1 -- 2 kilo dari rumahnya ke tempat pemberhentian trem.

Penduduknya tidak bisa protes karena tidak mudah untuk memiliki kendaraan pribadi. Kira-kira Bern mengatakan begini, 'nikmatilah apa yang aku sediakan, atau silahkan mencari tempat lain jika tidak berkenan'

Akan tetapi bukan berarti tidak ada keramaian di Bern. Sebagai ibukota dan pusat pemerintahan keramaian tetap terjadi di jam sibuk. Tapi jangan membayangkan keramaiannya seperti pagi atau sore hari di Jakarta. Trem memang padat dan orang banyak berlalu-lalang.

Di jalan yang relatif sempit, mobil juga cukup banyak, tetapi tanpa kemacetan. Pagi itu, keramaian sangat terasa di Bern Bahnhof, stasiun kereta sentral di Bern yang melayani perjalanan antar kota. Tampaknya banyak orang, termasuk wisatawan yang hendak melakukan perjalanan ke kota lain, baik di dalam Swiss maupun antar negara.

Di depan stasiun juga ramai orang-orang menunggu trem. Harus dimaklumi karena tempat ini merupakan pusat transit trem-trem dari berbagai sudut kota. Tapi sekali lagi, ramainya jangan dibayangkan seperti stasiun-stasiun di Jakarta.

Bern Bahnhof sendiri sesungguhnya merupakan mall, dan di sekitarnya merupakan pusat perbelanjaan. Sungguh nikmat berjalan di sepanjang pertokoan, tetapi banyak wisatawan yang hanya tersenyum-senyum melihat harga produk yang dipajang di etalase.

Dari Bern Bahnhof kami melangkahkan kaki perlahan menuju Gedung Parlemen. Bukan untuk urusan politik tentunya, tetapi dari belakang Gedung Parlemen itu kita dapat menikmati panorama yang sangat indah.

Di kejauhan tampak bukit membayang karena sinar matahari yang baru muncul, yang di bawahnya berjejer rumah-rumah khas Swiss mengikuti liukan Sungai Aar yang jernih, serta pohon-pohon yang sedang menggugurkan daunnya.

Sebuah lukisan Sang Maestro yang sengaja dipamerkan untuk memanjakan mata kita. Betapa nikmatnya para anggota parlemen ini bekerja. Jauh dari kebisingan atau hingar-bingar kota. Kepeningan memikirkan negara tentu akan hilang hanya dengan menatap ke luar jendela. Apakah ini yang menyebabkan perpolitikan negeri ini terasa adem ayem?

Selesai menikmati lukisan alam ini, kita beranjak ke kota tua. Di sini kita akan menemukan Zytglogge sebuah clock tower yang sudah berumur 800 tahun, yang sekaligus menjadi landmark kota Bern. Menatap jam tersebut, sebuah kesan tiba-tiba muncul di hati, betapa Bern sangat menghargai apa yang dimilikinya.

Kesan tersebut makin menguat ketika melihat bagaimana kota ini menjaga ikatan sejarah dengan Albert Einstein, yang pernah tinggal di sana. Hal tersebut ditandai dengan hadirnya rumah, museum, bahkan patung Einsten. Selanjutnya kita menyeberangi sebuah jembatan yang bernama Pont de Nydegg.

Persis di ujung jembatan ini ada Baren (Bear) Park. Sayang saat itu, sang beruang tidak menampakan diri, mungkin sedang latihan menjelang istirahat panjang di musim dingin. Menjaga eksistensi binatang yang menjadi lambang kota Bern di dalam kota, merupakan salah satu bentuk ekspresi betapa mereka menghargai apa yang mereka miliki.

Zytglogge. Sumber: Koleksi Pribadi
Zytglogge. Sumber: Koleksi Pribadi
Menikmati kerupawan Bern terasa lengkap saat mengakhiri perjalanan di Rosengarten. Tempat ini terletak di puncak bukit, sehingga kita dapat menikmati keindahan kota tua Bern dengan keindahan alam yang melatarbelakanginya secara paripurna.

Ditemani segelas cappuccino, sambil menatap jauh ke mentari yang perlahan bersembunyi di balik gunung, merupakan cara sempurna untuk menyelesaikan perjalanan di kota Bern.

Sunset di Bern. Sumber: Koleksi Pribadi
Sunset di Bern. Sumber: Koleksi Pribadi
Bern sebuah kota tua yang awet muda. Dia tidak perlu menjelma menjadi kota metropolitan untuk menunjukkan kekuatannya. Modernisasi tentu menyentuhnya, tetapi tidak harus merubah dirinya. 

Bern memberi pelajaran penting bagi manusia bahwa untuk meningkatkan kesejahteraan, tidak harus melalui kepulan asap, deru mesin, dan dentingan baja. Bern hanya butuh menjadi dirinya sendiri, dan manusia-manusia bijak secara terus-menerus beradaptasi dengan kemauannya.

Bern bisa menjadi dirinya sendiri, karena manusianya menghargai dan mencintai apa yang mereka miliki. Oleh karena itu, tak mudah bagi mereka untuk merubah atau mengganti apa yang dimilikinya. Padahal di ujung sana, tidak jarang manusia yang lupa menghargai dan mencintai miliknya.

Ketika miliknya hilang atau diambil orang, barulah mereka merasakan betapa berharganya apa yang dimiliki. Indonesia merupakan negara yang sangat kaya warisan berharga. Tetapi apakah kita menghargainya? Atau kita lebih sibuk mengganti 'milik kita' dengan 'milik orang lain'? Kita baru marah ketika batik atau reog 'diambil' atau 'dipungut' orang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun