Bulan Ramadan ini aku benar-benar menaruh perhatian saat makan sahur dan berbuka. Seperti Ramadan sebelum-sebelumnya, biasanya akan lebih banyak makanan tersisa yang ujungnya terbuang.
Mulai tahun ini aku bertekad makan secukupnya dan tidak berlebihan apalagi sampai mubazir. Catatan Bappenas, Indonesia menempati peringkat pertama di Asia Tenggara untuk urusan makanan. Jumlah sampah makanan di Indonesia mencapai 20,94 juta ton pada tahun 2021. Risiko kehilangan nilai ekonomi dari makanan terbuang mencapai Rp 551 Triliun per tahun.
Godaan terbesar saat puasa adalah banyaknya takjil yang terus berinovasi membuat lapar mata. Dulu yang awalnya kolak pisang kini ada mochi isi buah. Dulu gorengan mayoritas bakwan sekarang ada risol mayo. Dan, semua makanan terlihat enak dan menggiurkan. Saat berbuka artinya saatnya memborong. Akan tetapi tidak semuanya akan termakan karena kekenyangan.
 "Tidaklah seorang anak Adam mengisi sebuah bejana yang lebih buruk daripada perut, cukuplah bagi anak Adam itu beberapa suap makanan untuk menegakkan tulang punggungnya, dan jika mesti dilakukan maka hendaklah dia mengambil sepertiga untuk makanannya dan sepertiga untuk minumannya serta sepertiga untuk nafasnya." (Hadits Riwayat Tirmidzi no. 2380)
Ramadan kali ini sebisa mungkin tidak berlebihan. Sesuai anjuran Nabi Muhammad SAW, bahwa saat makan hendaknya sepertiga perut, sepertiga minuman, dan sisanya untuk bernapas. Hal itu berarti juga turut berpartisipasi dalam mengurangi sampah atau diet sampah. Di antara yang aku lakukan adalah:
1.Membuat gorengan sendiri
Gorengan rasanya telah menjadi makanan pokok saat puasa. Berbuka tak lengkap rasanya tanpa gorengan.
Belum lama ini, aku bertemu pembeli gorengan yang ngotot tidak mau diberi kantong plastik dengan alasan bisa dimasukkan ke kantong belanjanya. Dia tak mau banyak sampah plastik. "Ngebala," katanya dalam bahasa Sunda atau nyampah. Penjualnya tak kalah ngotot. Â Ia tak mau dibilang pelit gara-gara tidak memberi kantong plastik. Perdebatan unik yang akhirnya penjual mengalah asal jangan dibilang pelit.
Pembeli itu laki-laki berusia sedang dengan penampilan sederhana. Tetapi, ia sadar banyak kantong plastik justru membuat sampah. Kantong plastik bekas belanjaku pun menumpuk. Karena olehku, dipakai untuk membuang sampah lagi tetapi malah overload. Berhenti membeli gorengan artinya aku berhenti menambah tumpukan sisa kantong plastik.
Insight menarik yang aku peroleh dari akun bule sampah, bahwa kantong plastik bungkus makanan siap makan ini dipakainya paling lama sejam dari tempat membeli hingga dipindahkan ke wadah di rumah namun terurainya 1.000 tahun lebih.
2.Memasak untuk sahur dan berbuka
Selain sebisa mungkin membuat gorengan sendiri, aku pun mulai memasak makanan sahur dan berbuka. Memasak sendiri bisa disesuaikan kebutuhan sehingga menghindari pemborosan.
Kegiatan ini selain menambah jam terbang memasak, menghasilkan masakan-masakan baru, menghemat anggaran, hingga dalam hal sampah mengurangi kemasan-kemasan plastik.
3.Meminimalisir membeli takjil
Bukan berarti tidak pernah membeli takjil. Namun, membeli karena kebutuhan. Sebab, kebanyakan membeli takjil hampir pasti terbuang.
Saat ini takjil dikemas dalam wadah-wadah plastik beraneka ukuran. Sebagai contoh gelas air mineral yang dipakai mungkin hanya lima menit terurainya lebih dari 450 tahun. Begitu juga kemasan air mineral yang terurainya lebih dari 1000 tahun lebih. Sebab, faktanya hanya sembilan persen sampah plastik yang didaur ulang di dunia. Sisanya menumpuk menjadi gunung sampah.
4.Mengolah kembali makanan sisa yang masih layak
Beberapa waktu lalu ada saudara berbuka di rumah. Seperti biasa, menjelang waktu berbuka kami berburu takjil dengan selera masing-masing termasuk makanan beratnya.
Bisa ditebak, tidak semua makanan itu habis. Malah ada yang tidak termakan. Di antaranya mie ayam. Mie ayam itu kemudian aku simpan di kulkas untuk saat sahur diolah kembali. Anak-anakku menyebutnya pizza mie. Mie yang dibalur telur, diaduk lalu digoreng. Bentuknya bulat seperti mie.
Cara lain yang gampang biasanya dengan menghangatkan kembali seperti sayuran. Untuk nasi sisa sahur biasanya aku jadikan nasi goreng saat berbuka.
5.Tidak membuang sembarangan makanan sisa yang tidak layak
Tentu saja tidak semua makanan sisa masih layak. Untuk kerak-kerak nasi yang menempel di panci pemanas biasanya aku kumpulkan. Kebetulan, ada tetanggaku yang masih mengumpulkan nasi bekas untuk dijemur.Â
Begitu juga untuk minyak jelantah biasanya aku masukkan ke botol-botol bekas kemasan minuman, ada yang suka mengambilnya. Kalau mau dijual minyak jelantah dihargai enam ribu rupiah per liternya. Temanku kebetulan ada yang rajin membuat kompos organik termasuk sisa makanan ini.
Aku tidak pernah menjual barang bekas atau sisa, mereka mau mengambil atau menerima saja sudah sangat membantuku bermanfaat bagi mereka. Termasuk sampah-sampah wadah plastik, biasanya aku berikan ke tukang sampah yang mengambil sampah di rumah. Oleh mereka bisa dijual lagi dan menjadi tambahan pendapatan.
Itulah di antara caraku tidak berlebihan, tidak mubazir, dan tidak menyakiti lingkungan dengan terus menghasilkan sampah. Bukan berarti pula aku berhenti sama sekali membeli makanan di luar. Karena ada saat juga kita harus menyenangkan anak-anak dengan makan di luar. Hanya saja semua harus dilakukan secara bijaksana.
Aku belum sampai pada tahap membuat kompos mandiri. Aku masih pada tahap memilah, menggunakan kembali, dan mengoper ke orang lain yang bisa memanfaatkannya. Semoga ramadan menjadikan kita lebih bijak dalam segala hal termasuk bertanggung jawab atas sampah yang kita hasilkan.
Â
Referensi:
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI