Belum genap 24 jam dilantik, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa sudah melontarkan pernyataan yang bikin kening berkerut. Ia menyebut tuntutan 17+8 hanyalah "suara sebagian kecil rakyat" yang akan hilang kalau ekonomi bisa tumbuh 6--7 persen. Komentar yang keluar begitu enteng, padahal tuntutan itu lahir dari kegelisahan kolektif bangsa, bukan kelakar warung kopi.
Yang bersuara dalam 17+8 bukan "orang kecil" yang bisa diremehkan. Justru mereka adalah para influencer, akademisi, aktivis, dan tokoh publik yang punya kapasitas berpikir sekaligus jejaring luas. Mereka adalah wajah-wajah yang setiap hari menyuarakan keresahan masyarakat: dari dapur rumah tangga yang makin mahal, dunia kerja yang makin sempit, politik yang makin transaksional, hingga hukum yang makin jauh dari rasa keadilan. Suara mereka adalah gema dari rakyat yang muak, bukan sekadar desahan minoritas yang bisa dikecilkan dengan statistik.
Pernyataan Purbaya sangat tendensius. Ia menganggap semua keresahan bangsa akan hilang dengan satu resep tunggal bernama "pertumbuhan ekonomi". Padahal rakyat tidak hanya butuh angka pertumbuhan. Rakyat butuh keadilan yang ditegakkan tanpa pandang bulu, pejabat yang rendah hati, politik yang tidak memecah belah, dan kebijakan yang berpihak pada mereka yang terpinggirkan. Pertumbuhan 6--7 persen tidak akan menutupi luka ketika korupsi masih merajalela dan suara rakyat terus diremehkan.
Maka wajar kalau pasar pun tidak percaya. IHSG pada 8 September 2025 langsung anjlok 1,28 persen, atau minus seratus poin, ke level 7.766,8. Penurunan ini bukan sekadar angka di papan bursa, melainkan sinyal keras: dunia usaha dan investor gelisah melihat arah kebijakan fiskal baru yang diiringi pernyataan meremehkan keresahan rakyat. Pasar merespons dengan jujur, tidak bisa dipoles dengan kalimat manis.
Kenyataan pahitnya, ucapan seorang menteri bukanlah sekadar retorika. Ia bisa menggerakkan atau menghancurkan kepercayaan. Ketika seorang Menkeu yang baru saja dilantik langsung bicara dengan nada meremehkan, itu mempertegas jurang antara elit dan rakyat. Bukan rakyat yang harus belajar paham ekonomi, tapi menteri yang wajib peka terhadap denyut nadi bangsa.
Tuntutan 17+8 adalah cermin keresahan kolektif. Mengabaikannya sama saja menutup mata terhadap kenyataan bahwa bangsa ini sedang berada di persimpangan serius: ekonomi ringkih, politik rapuh, sosial bergejolak. Dan ketika menteri keuangan menanggapinya dengan santai, tidak heran kalau pasar ikut ambruk dan rakyat makin kehilangan harapan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI