Mohon tunggu...
Hanzizar
Hanzizar Mohon Tunggu... Pengamatiran

Pengamat sosial, penulis, pembelajar yang ikut mengajar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Nikmati Sirkus? Mungkin Kamu Bayar Tiket Penyiksaan Manusia

17 April 2025   12:43 Diperbarui: 17 April 2025   12:43 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Audiensi antara terduga korban penganiayaan sirkus dengan kementerian HAM (Sumber Merdeka.com)

Di bawah sorotan lampu yang semu-semu surgawi, di tengah gelak tawa yang dipoles ketidaktahuan massal, sesungguhnya sedang berlangsung pertunjukan kematian yang ditata dengan presisi mengagumkan.

Ada derit tulang yang ditelan dentuman musik memekakkan, ada luka menganga yang tertutup glitter dan riasan mempesona, ada penderitaan mendalam yang dikemas dalam gemerlap ilusi menyilaukan. Ini bukan sekadar teater hiburan---ini adalah panggung penyiksaan sistematik yang dibungkus oleh riuh tepuk tangan penonton.

Dalam dunia sirkus, yang katanya penuh keajaiban dan mimpi fantastis, justru tersembunyi luka yang tak terobati, rahim yang meratap pilu, dan jiwa-jiwa yang dipaksa bertahan dalam tubuh yang telah lama merindukan kematian sebagai pembebasan.

Tak terbayangkan, bagaimana seorang manusia---ciptaan yang katanya segambar dengan Tuhan Yang Maha Kuasa---dipaksa menjadi boneka mekanis yang digerakkan cambuk kejam dan sengatan listrik menyakitkan.

Mereka hamil dengan janin berkembang di rahim, tapi tetap harus melompat di udara dengan tulang yang semakin rapuh. Mereka berdarah dari luka menganga, tapi tetap diminta tersenyum memukau.

Yang kecil tidak pernah merasakan kenikmatan masa kecil, yang dewasa dipaksa melupakan martabatnya sebagai insan bermartabat. They're not performing artists---they're literally victims of modern slavery yang disulap dengan lihai menjadi tontonan keluarga bahagia penuh tawa.

Sejak tahun 1997, atau mungkin jauh sebelum era itu dimulai, suara penderitaan mereka terkubur dalam-dalam di bawah tanah panggung megah. Dipisahkan dari keluarga tercinta seperti daging yang dipotong paksa dari tulangnya.

Mereka dibesarkan dengan kekerasan brutal, dilatih dengan derita tak terperi. Anak-anak yang seharusnya duduk di bangku sekolah malah dipaksa menari gemulai di atas kawat baja tanpa alas kaki pelindung, tanpa asupan makanan memadai, tanpa upah sepeserpun.

Beberapa bahkan kehilangan kemampuan berbicara---bukan karena bisu sejak lahir, tapi karena trauma mendalam yang menghancurkan jiwa.

Mereka yang berusia lebih tua nasibnya tak kalah tragis---dipasung layaknya hewan, dipukuli tanpa ampun, ditelanjangi martabatnya sebagai manusia. Ketika tubuh tak lagi mampu dipaksa bekerja ekstrem, mereka dibuang tanpa belas kasihan seperti kaleng kosong tak bernilai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun