Mohon tunggu...
Hanvitra
Hanvitra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Alumnus Departemen Ilmu Politik FISIP-UI (2003). Suka menulis, berdiskusi, dan berpikir.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sri Koentari

8 Maret 2019   07:30 Diperbarui: 8 Maret 2019   07:43 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Syafruddin masih terpaku di tempat parkir. Hari ini begitu panas. Hujan tak turun hari ini. Lapangan parkir di mana Syafaruddin bekerja tampak ramai dengan berbagai jenis motor. Syafaruddin lalu membantu orang-orang memarkirkan kendaraannya.

Bertahun-tahun Syafaruddin bekerja sebagai tukang parkir. Sekolahnya tidak ia selesaikan. Ia lebih suka kebebasan. Tubuhnya menghitam di bawah sinar matahari. Ia tak terlalu memikirkan tubuhnya. Ia suka berjemur di tengah terik matahari.

Di tengah terik matahari,  Syafaruddin mencoba menyandarkan tubuhnya di sebuah pohon besar di hari itu. Ia tahu penduduk kampung mengeramatkan pohon itu. Tapi ia tidak peduli. Ia tetap bersandar pada pohon itu.

Syafaruddin tertidur. Seorang gadis cantik menyambutnya siang itu. Pakaiannya mengingatkan pada pakaian putri-putri cantik di zaman raja-raja. Gadis cantik itu mengajaknya menari. Mereka asyik menari di bawah sinar rembulan. Padahal itu siang hari. Syafaruddin terus menari bersama putri cantik itu. Mereka menyanyikan tembang-tembang asmara. Syafaruddin tak sempat berkenalan dengan gadis itu.

Tiba-tiba Syafaruddin terbangun. Hari sudah gelap. Ia pasti sudah tertidur lama. Ia benar-benar merasa sedang menari dengan gadis itu. Siapa dia? Pikir Syafaruddin. Ia berpikir keras. Mungkinkan ia jin penunggu pohon itu? Kenapa ia cantik sekali?

Syafaruddin mencoba melupakan mimpi itu. Ia menganggapnya sebagai bunga tidur semata. Tapi ia tak bisa melupakan wajah gadis itu. Putih bagaikan rembulan. Pakaiannya sungguh indah. Syafaruddin menganggap itu hanya alam bawah sadarnya saja.

Keesokan harinya Syafaruddin kembali bertugas menjadi juru parkir di tempat itu. Siang hari ia merasakan kelelahan yang amat sangat. Pohon besar itu kembali menjadi pilihannya untuk beristirahat. Dia tertidur di bawah rindangnya. Ia seperti melihat gadis itu di dalam mimpinya. Mereka menari bersama. Syafaruddin bertanya siapa gadis itu. Gadis itu hanya tersenyum dan tak menjawab. Ia lalu hilang dan terjagalah  Syafaruddin.

Syafaruddin merasa ada yang tidak beres dengan pohon itu. Malam harinya ia pergi ke rumah Wak Saing untuk bertanya.

Selepas Isya, Wak Saing sedang duduk santai di ruang tamu rumahnya. Kedatangan Syafaruddin mengagetkannya.

"Ada apa, nak Syafaruddin?" tanya Wak Saing.

"Ada yang perlu saya tanyakan, Wak?"

"Duduklah. Ceritakan apa maksud kedatanganmu," lanjut Wak Saing.

Syafaruddin kemudian menjelaskan maksud kedatangannya. Ia bertanya tentang gadis dalam mimpi siangnya itu.

Wak Saing mendengarkan dengan baik. Lalu ia berujar, "Akhirnya kau bertemu pula dengan dia. Dia adalah seorang putri dari kerajaan Mataram yang dibunuh oleh Kumpeni. Gara-gara ia tidak mau menikah dengan pangeran bawahan kompeni.  Ia dibunuh karena tidak mau menuruti keinginan kaum kumpeni. Dia adalah Sri Koentari. Ia digantung di pohon itu. Kemudian jenazahnya dipindahkan ke pemakaman para bangsawan. Tapi menurut cerita para orang tua zaman dahulu. Arwahnya masih menempel di pohon itu. Dia menunggu untuk dibebaskan. Entah oleh siapa."

Syafaruddin merasa bulu kuduknya berdiri. Ia tahu siapa gadis dalam mimpinya itu. Seorang gadis keraton yang teguh memegang prinsip. Ia tak mau menikah dengan sembarang pria. Hanya pria terbaik yang menjadi pilihannya. Tapi mengapa Sri Koentari memilihnya? Itu yang menyebabkan Syafaruddin tidak bisa tidur malam ini.

Keesokan harinya, Syafaruddin tetap menjalankan tugasnya sebagai tukang parkir. Ia ingin menghindari pohon itu. Namun ketertarikannya begitu besar terhadap Sri Koentari. Akhirnya ia mendatangi pohon itu dan langsung tertidur.

Benar saja. Sri Koentari mendatanginya dalam mimpi dan mengajaknya menari.

"Aku tahu kau Sri Koentari," ujar Syafaruddin.

"Apa engkau masih jadi arwah gentayangan," lanjut Syafaruddin.

"Kau sudah tahu namaku. Dan kau sudah tahu siapa diriku," tukas Sri Koentari.

"Mengapa kau mendatangiku dalam mimpi?"

"Aku ingin kau mengadakan tahlilan untukku. Walau aku sudah lama meninggal.  Keluargaku tak sempat mendoakanku hingga menyebabkanku seperti ini. Syafaruddin itu namamu bukan? Adakan tahlilah untukku agar aku bisa kembali kepada Tuhan dan lepas dari pohon ini. Maukah kau melakukannya?"

"Akan kuusahakan," jawab Syafaruddin.

Tiba-tiba Syafaruddin terbangun dan mimpinya menghilang sudah. Tapi ia masih ingat permintaan Sri Koentari.

Keesokan harinya Syafaruddin menemui Wak Saing dan menceritakan mimpi terakhirnya. Arwah Sri Koentari meminta diadakan tahlilan agar ia bisa bebas dari pohon itu.

Wak Saing terdiam sejenak. Ia lalu berpikir keras. Mungkin tahlilan dilakukan untuk arwah yang sudah lama meninggal.  Wak Saing butuh satu hari untuk berpikir.

Keesokan harinya, Wak Saing menelepon Syafaruddin dan mengatakan sebaiknya tahlilan itu diadakan. Wak Saing merasa mendapat wangsit yang membolehkan tahlilan itu dilaksanakan.

Tak lama kemudian tahlilan diadakan di lapangan parkir itu. Wak Saing berhasil meyakinkan masyarakat bahwa tahlilan harus dilakukan untuk menolak bala. Syafaruddin ikut mengorganisir tahlilan itu. Masyarakat berbondong-bondong mendatangi lapangan parkir itu. Nama Sri Koentaari disebutkan agar ia menjadi tenang di alam baka.

Dua hari setelah tahlilan, ada sebuah kejadian. Kilat menyambar pohon tua itu dan menumbangkannya. Pohon itu tercerabut hingga ke akarnya. Syafaruddin terkejut. Malam harinya ketika ia tertidur di rumahnya, Syafaruddin bertemu Sri Koentari. Kali ini Sri tidak memakai pakaian keraton. 

Ia berpakaian putih-putih. Sri Koentari mengucap terima kasih karena ia sudah dibebaskan dari pohon itu. Kini ia akan kembali ke alam baka, tempat seharusnya para arwah berada. Sri kemudian menghilang. Syafaruddin terbangun dan mengucap hamdalah. Syafaruddin kemudiaan tidak pernah bermimpi lagi bertemu Sri Koentari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun