"Akan kuusahakan," jawab Syafaruddin.
Tiba-tiba Syafaruddin terbangun dan mimpinya menghilang sudah. Tapi ia masih ingat permintaan Sri Koentari.
Keesokan harinya Syafaruddin menemui Wak Saing dan menceritakan mimpi terakhirnya. Arwah Sri Koentari meminta diadakan tahlilan agar ia bisa bebas dari pohon itu.
Wak Saing terdiam sejenak. Ia lalu berpikir keras. Mungkin tahlilan dilakukan untuk arwah yang sudah lama meninggal. Â Wak Saing butuh satu hari untuk berpikir.
Keesokan harinya, Wak Saing menelepon Syafaruddin dan mengatakan sebaiknya tahlilan itu diadakan. Wak Saing merasa mendapat wangsit yang membolehkan tahlilan itu dilaksanakan.
Tak lama kemudian tahlilan diadakan di lapangan parkir itu. Wak Saing berhasil meyakinkan masyarakat bahwa tahlilan harus dilakukan untuk menolak bala. Syafaruddin ikut mengorganisir tahlilan itu. Masyarakat berbondong-bondong mendatangi lapangan parkir itu. Nama Sri Koentaari disebutkan agar ia menjadi tenang di alam baka.
Dua hari setelah tahlilan, ada sebuah kejadian. Kilat menyambar pohon tua itu dan menumbangkannya. Pohon itu tercerabut hingga ke akarnya. Syafaruddin terkejut. Malam harinya ketika ia tertidur di rumahnya, Syafaruddin bertemu Sri Koentari. Kali ini Sri tidak memakai pakaian keraton.Â
Ia berpakaian putih-putih. Sri Koentari mengucap terima kasih karena ia sudah dibebaskan dari pohon itu. Kini ia akan kembali ke alam baka, tempat seharusnya para arwah berada. Sri kemudian menghilang. Syafaruddin terbangun dan mengucap hamdalah. Syafaruddin kemudiaan tidak pernah bermimpi lagi bertemu Sri Koentari.