Mohon tunggu...
Hanvitra
Hanvitra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas

Alumnus Departemen Ilmu Politik FISIP-UI (2003). Suka menulis, berdiskusi, dan berpikir.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Globalisasi dan Akhir Era Barat

19 April 2018   23:22 Diperbarui: 19 April 2018   23:42 1958
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(financialtribune.com)

Dunia Barat di masa depan tidak akan lagi menjadi pemimpin dunia. Kekuatan global mulai bergeser ke Timur. Masa depan dunia ada di Asia. Peranan Eropa  dan Amerika sedikit demi sedikit akan menyusut dalam politik internasional. Dunia akan berubah. Hal yang disampaikan Kishore Mahbubani, seorang mantan diplomat Singapura, dalam bukunya Asia Hemisfer Baru Dunia (2011).

Buku ini mungkin sudah hampir enam tahun lalu terbit, namun gaungnya masih terasa hingga sekarang. Sebelumnya Kishore Mahbubani menulis Can Asians Think? (2005) yang kontroversial namun menjadi best-seller. Benarkah apa yang ditulis oleh Mahbubani? Apa yang disampaikan Kishore merupakan fenomena terkini dari proses globalisasi di dunia.

Globalisasi kini tidak lagi ditunggangi oleh negara-negara Uni Eropa dan Amerika Serikat (AS), justru negara-negara Asia sukses memanfaatkan globalisasi untuk kepentingan dirinya. Negara-negara Asia telah bangkit dengan Tiongkok dan India sebagai pelopornya. Negara-negara Asia telah berderap menuju modernitas dengan memanfaatkan sains dan teknologi Barat untuk akhirnya memenangkan pertarungan.

Banyak artikel dan buku yang sudah ditulis untuk memprediksi kebangkitan Asia secara ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Di era 1990-an, John Naissbit dan Patricia Aburdene menulis buku best-seller Megatrends Asia yang dengan antusias meramalkan kebangkitan Asia. Tidak hanya Tiongkok dan India yang dibahas, kaum Muslim pun diramalkan akan menguasai perekonomian.  Naissbit mengemukakan bagaimana kaum wanita muslim menguasai perekonomian di negara-negara Asia.  

Sebagian orang mungkin skeptis dengan pendapat Naissbit atau Mahbubani, tapi tanda-tanda kemunduran Barat sebagai sebuah peradaban sudah mulai terlihat. Amerika kini, misalnya, terlibat dalam masalah domestik dan internasional yang terus mendera dengan terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika ke-45. Trumph seperti menempuh langkah mundur dengan keluar dari Trans Pacific Partnership (TPP) dan melakukan deglobalisasi.

Gagasan dan kebijakan kontroversial Trump terus menerus mendapat kritik dari rakyatnya sendiri maupun masyarakat dunia. Barat menghadapi krisis demografi yang parah dengan sedikitnya generasi muda mereka yang mau menikah dan membentuk keluarga. Angka kelahiran terus merosot terutama di negara-negara Skandinavia.

Pada tahun 1990, rasio penduduk Eropa terhadap Afrika adalah 498 juta banding 642 juta. Menurut perkiran PBB, menjelang 2050 didasarkan pada medium fertility extension (peningkatan angka kesuburan menengah) rasio itu akan menjadi 486 juta banding 2,265 miliar-itulah rasio yang erat berkaitan dengan rasio kulit hitam dan putih di Afrika Selatan saat ini. Penduduk Mesir bertambah satu juta setiap delapan bulan. Sedangkan penduduk asli Italia terus merosot.

Banyak faktor yang menyebabkan Asia bangkit. Pertama, faktor kepemimpinan nasional merupakan salah-satu hal penting dalam mentransformasi sebuah negara. Tiongkok tak akan maju tanpa kepemimpinan Deng Xiaoping, Jiang Zemin, dan Xi Jinping. India tak akan maju tanpa Mammohan Singh. Malaysia tanpa Mahathir Mohammad.

Kedua, kesadaran akan pendidikan. Negara-negara Asia mulai berinvestasi jangka panjang pada sektor pendidikan. Mereka mengirimkan otak-otak terbaik mereka ke universitas-universitas terbaik di Eropa dan Amerika.

Ketiga, investasi pada teknologi maju. Negara-negara Asia mulai menanamkan modal pada industri pada teknologi.

Keempat, liberalisasi perdagangan turut menambah pendapatan mereka dan menciptakan jaringan bisnis yang sangat luas. Pembangunan yang dilakukan di negara-negara Asia berhasil menciptkan kelas menengah. Hal ini memicu konsumsi dalam negeri. Pembangunan berhasil mentransformasi masyarakat tradisional menjadi lebih modern.

Ketika krisis finansial Asia 1997, banyak orang menduga ramalan kebangkitan Asia tersebut meleset. Namun keadaan justru mengatakan lain. Bangsa-bangsa Asia keluar dari krisis dan membangun perekonomian yang sempat porak-poranda kembali. Krisis yang disinyalir direkayasa spekulan mata uang George Soros ternyata tidak mampu menghancurkan fundamental ekonomi negeri-negeri Asia.

Indonesia, misalnya. Negara yang pernah diramalkan akan hancur seperti hal Yugoslavia ternyata sukses melewati krisis ekonomi dan secara politik tetap solid dan mengadopsi demokrasi sebagai sistem politiknya. Indonesia bahkan dianggap sebagai negeri demokrasi Muslim terbesar di dunia dan negara demokrasi ketiga terbesar di dunia setelah Amerika dan India.

Anggapan bahwa Islam tidak kompatibel dengan demokrasi ternyata tidak terbukti. Walaupun Indonesia memasuki era politik yang kadang tidak stabil, namun secara umum demokratisasi sukses diterapkan di Indonesia.

Selama beberapa dekade kebijakan Barat terhadap negara-negara dunia ketiga telah menimbulkan dampak yang besar. Kebijakan Barat dalam beberapa hal merugikan negara-negara Dunia Ketiga. Barat memaksakan demokrasi, HAM, dan utang luar negeri. Barat bahkan tidak tanggung-tanggung jawab mencoba mengintervensi proses demokratisasi di negara-negara Dunia Ketiga.

Ketika Front Islamique du Salut (FIS) menang dalam pemilu di Aljazair tahun 1991, negara-negara Barat mendesak elit-elit poskolonial di negara itu untuk membatalkan pemilu.

Dampak kebijakan Barat yang paling merugikan negara-negara Dunia Ketiga adalah invasi AS dan sekutunya ke Irak dan Afghanistan atas nama Perang melawan Terorisme. Padahal tidak ada bukti yang jelas bahwa rezim Saddam Husein dan Taliban terlibat terorisme. Bahkan PBB sendiri tidak setuju dengan invasi tersebut karena melanggar hukum internasional.

PBB mengeluarkan pernyataan bahwa pengadilan atas Saddam Husein merupakan pengadilan yang tidak adil (unfair trial). Upaya AS mewujudkan demokrasi di Timur Tengah menemui jalan buntu. Kebijakan Perang melawan Terorisme telah merugikan masyarakat dunia, khusunya umat Islam. Keangkuhan Barat ternyata telah merugikan Barat sendiri. Barack Obama, presiden AS ke-44, mencoba merestorasi peranan AS dengan kebijakan Pivot to Asia.

Tiongkok dan India berhasil memanfaatkan globalisasi untuk kepentingan dirinya sendiri. Hal senada juga dinyatakan Menteri Keuangan RI Sri Mulyani, hanya bangsa yang bisa memanfaatkan globalisasi yang akan bisa survive di tengah persaingan global. Indonesia pun menempuh kebijakan yang sama. Negara-negara Asia dengan cerdik memanfaatkan globalisasi yang pada mulanya dicetuskan oleh negara-negara Barat.

Negara-negara Asia berusaha meniru keberhasilan Tiongkok dalam industrialiasiasi dan perdagangan internasional. Vietnam, misalnya, berusaha meniru sistem ekonomi pasar sosialis yang menjadi ideologi ekonomi Tiongkok. Vietnam berusaha membuka perekonomiannya lebar-lebar kepada para investor asing. Tiongkok berusaha membentu front baru di politik internasional untuk mengimbangi Barat. Kiblat dunia kini beralih dari Barat ke Tiongkok. Semua mata di dunia tertuju ke Tiongkok.

Korea Selatan ini muncul sebagai kekautan baru dalam industri pertahanan di dunia. Hal ini seharusnya ditiru oleh Indonesia. Industri pertahanan Korsel berhasil memproduksi pesawat, tank, kapal selam, dan rudal. Industri pertahanan Indonesia pun dalam beberapa aspek berhasil memproduksi alat utama sistem persenjatan seperti kapal perang, panser, kendaraan taktis (rantis), pesawat, helikopter, dan tank bekerjasama dengan Turki.

Globalisasi ini tidak lagi didominasi oleh negara-negara Barat. Negara-negara Asia dan Amerika Latin berhasil menjadi pemain-pemain utama dalam globalisasi. Perubahan peta dunia saat ini  suatu saat akan menjadi titik balik bagi negara-negara Barat dan Amerika. Barat memang kini masih menguasai lembaga-lembaga internasional. Namun hal itu akan segera berubah.

Kemunculan organisasi-organisasi kerjasama ekonomi regional seperti ASEAN, MERCOSUR, GCC semakin menguatkan peran negara-negara non Barat di dunia. Beragam teori tentang globalisasi mungkin akan segera runtuh. Negara-negara Asia akan membalikkan arah globalisasi.

Hal ini membuktikan --dalam bahasa Kishore Mahbubani- bahwa bangsa-bangsa Asia mampu berpikir. Mereka bukan sekedar pemamah biak teknologi dan ilmu pengetahuan dari Barat. Mereka mengembangkan dan menerjemahkan IPTEK Barat dalam konteks negara dan masyarakat mereka.

Fareed Zakaria, seorang kolumnis Newsweek, menulis dalam bukunya The Post-American World, saat ini Amerika masih menjadi negara terkuat di dunia, tetapi keperkasaannya sudah jauh berkurang. Perekonomiannya bermasalah, nilai tukarnya merosot dan AS pun menghadapi persoalan jangka panjang terkait pemborosan dan rendahnya tabungan. Sentimen anti-Amerika berkoba di mana-mana mulai dari Inggris sampai Malaysia.

Namun, yang mengalami perubahan paling mencolok antara era 1990-an, dengan sekarang bukanlah Amerika Serikat, melainkan dunia secara umum. Pada 1990-an, Rusia bergantung sepenuhnya pada bantuan dan pinjaman dari Amerika. Kini, Rusia memiliki dana sendiri sebesar miliar dollar, berkat pemasukan dari minyak, untuk menggairahkan perekonomian sewaktu sedang lesu. Pada masa itu, bangsa-bangsa Asia Timur teramat membutuhkan IMF untuk menolong mereka keluar dari krisis.

Sekarang, negara-negara tersebut memiliki cadangan valuta asing yang melimpah, yang mereka gunakan untuk mengutangi Amerika. Pada 1990-an, pertumbuhan ekonomi Tiongkok didorong hampir sepenuhnya oleh permintaan dari Amerika. Pada 2007, kontribusi Tiongkok bagi pertumbuhan global melampaui kontribusi AS --kali pertama kontribusi AS dilampaui sejak setidak-tidaknya 1930-an- dan bahkan mengungguli sebagai pasar terbesar dunia dalam sejumlah katagori kunci.

Di bidang politik dan militer, AS masih mendominasi dunia, tetapi dalam bidang-bidang penting lainnya --ekonomi, keuangan, dan budaya- Amerika tidak lagi dijadikan satu-satunya acuan. Untuk saat ini, Amerika Serikat masih menjadi pemain utama, tetapi negara-negara lain semakin menguat dalam percaturan internasional. Pergeseran titik acuan di panggung internasional justru akan terjadi perlahan.

AS dan Barat kini tengah menghadapi apa yang dihadapi Kesultanan Ustmaniyyah dan Kemaharajaan Qing pada akhir abad ke-19. Kemunduran perlahan. AS dan Barat kini adalah the sick men of the world. Akhir era Barat akan segera terjadi. Dan semoga perubahan ini tidak menyakitkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun