Mohon tunggu...
HL Sugiarto
HL Sugiarto Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Menulis untuk dibaca dan membaca untuk menulis

Hanya orang biasa yang ingin menulis dan menulis lagi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Insiden Natuna dan Nasionalisme di Mata Seorang Tionghoa

12 Januari 2020   01:24 Diperbarui: 13 Januari 2020   01:27 4203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menurut pendapat teman saya ini, Prabowo selaku Menhan seharusnya bertindak tegas dan lantang seperti yang dia lakukan selama kampanye Pilpres 2019 yaitu akan menjaga keutuhan wilayah dan kedaulatan NKRI tanpa embel-embel.  

Akan tetapi  tiba-tiba dia mengemukakan sebuah opini pribadi bahwa Prabowo sekarang melempem menghadapi sikap pemerintah China,  karena menganggap Prabowo adalah seorang keturunan Tionghoa (entah benar atau tidak) sehingga melunak terhadap masalah insiden Natuna. 

Dengan adanya pendapat kedua teman saya ini membuat kenangan lama kembali teringat. Sebuah kenangan akan  akan nasionalisme seorang Tionghoa (dalam hal ini saya pribadi). 

Yang mana  kebetulan celakanya saya memiliki darah keturunan Tionghoa, walaupun nenek saya (dari garis keturunan ayah) adalah seorang keturunan Jawa tulen. 

Malahan sampai saat ini di dalam keluarga saya masih menggunakan adat istiadat peninggalan nenek saya ini, dan telah terjadi percampuran budaya asli kakek saya yang berasal dari Cina daratan dengan budaya asli Jawa (Kejawen) dari asal nenek saya.

Mengapa saya menuliskan 'celakanya', karena sejak kecil saya sudah mendapatkan perilaku tidak menyenangkan karena fisik saya yang memang memiliki ciri-ciri fisik seorang Tionghoa pada umumnya. Padahal ayah saya memiliki ciri-ciri fisik seorang Jawa yang nota bene berkulit coklat sawo matang, tapi mungkin karena gen ibu saya yang keturunan tulen dari Tionghoa ternyata mendominasi fisik saya. 

Pengalaman Pahit Masa Kecil

Sejak kecil saya seringkali diolok-olok dengan kata-kata singkek (orang keturunan cina tulen) oleh orang-orang yang tidak saya kenal atau yang tinggal di luar wilayah kampung saya tinggal. Kalau tetangga dan orang-orang di kampung , sudah tahu siapa orang tua saya,  tidak akan memanggil saya singkek. 

Apalagi nenek saya seorang Jawa tulen yang dihormati karena kejawaannya, karena beliau sangat taat pada adat istiadat tradisi orang Jawa kuno. Bahkan setiap malam Jumat Legi (penanggalan Jawa), nenek saya seringkali mengadakan selamatan kecil-kecilan (upacara syukuran terhadap leluluhur dan alam) dengan mengundang alim ulama setempat untuk berkumpul dan berdoa bersama. 

 Tradisi selamatan ini masih dilakukan oleh salah satu kerabat kami, cuma bentuknya sedikit berbeda dengan hanya mengundang orang-orang terdekat saja. Akan tetapi makna dan maksudnya masih sama. 

Pernah ada suatu kejadian yang kurang mengenakkan yang saya alami waktu usia kanak-kanak. Ada seseorang anak dari kampung sebelah tiba-tiba tanpa alasan memukul saya dan mengolok saya dengan kata singkek. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun