Mohon tunggu...
Hanter Siregar
Hanter Siregar Mohon Tunggu... Penulis - Masih sebuah tanda tanya?

Mencintai kebijaksanaan, tetapi tidak mengetahui bagaimana caranya!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Maaf: Adilkah? JPU Begitu Pongahnya Dipersidangan

19 April 2023   08:45 Diperbarui: 19 April 2023   08:52 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setiap orang pernah lalai dan melakukan kesalahan, namun seharusnya setiap orang tersebut memperoleh sanksi yang sama, bukan berat ringannya sanksi diukur dari status sosial dan kedudukannya. Dalam hal ini, saya ingin menyoroti dimana Jaksa Penuntut Umum tidak cerdas, Teliti dan juga bijak  dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Untuk itu berharap setiap orang jadi tahu, bagaimana kebenaran itu digali dan diungkap kepada publik oleh JPU dalam sebuah persidangan di Pengadilan. 

Ada pepatah  yang mengatakan, "Fitnah  lebih kejam dari pembunuhan".

Fitnah dalam Wikipedia disebut juga sebagai defamasi, artinya adalah komunikasi kepada satu orang atau lebih yang bertujuan untuk memberikan stigma negatif atas suatu peristiwa yang dilakukan oleh pihak lain berdasarkan atas fakta palsu yang dapat mempengaruhi penghormatan, wibawa, atau reputasi seseorang.

Fitnah juga dapat diartikan sebagai pencemaran nama baik. Sementara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), fitnah merupakan perkataan bohong atau tanpa berdasarkan kebenaran yang disebarkan dengan maksud menjelekkan orang---seperti menodai nama baik, merugikan kehormatan orang lain, dan lain sebagainya.

Lalu bagaimana jika fitnah tersebut disampaikan dalam persidangan yang mulia di Pengadilan? dan seorang Jaksa Penuntut Umum yang merupakan salah satu penegak hukum namun justru memberi tuduhan palsu tanpa dasar hukum yang jelas dan bukti yang kuat, lantas bagaimana hukum itu benar-benar adil untuk ditegakkan? Apakah ada sanksinya terhadap Jaksa?.

Pada tanggal 27 Maret 2023 dalam perkara pidana terkait adanya dugaan Tindak Pidana melanggar Pasal 363 ayat (1) ke-4 yakni pencurian dalam keadaan memberatkan. Di mana Terdakwa dihadirkan ke hadapan persidangan guna diuji kebenaran akan fakta terkait peristiwa Tindak Pidana yang diduga dilakukan dan diperbuat Terdakwa, sebagaimana dalam Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum guna penuntutan.


Dalam persidangan, kebenaran tentang peristiwa tindak pidana tersebut dipertanyakan kebenarannya guna menjatuhkan putusan yang seadil-adilnya. Seiring berjalannya persidangan, setelah Terdakwa menyampaikan pembelaan melalui Penasehat Hukumnya.Dimana dalam Nota Pembelaan menuntut supaya Majelis Hakim Yang Mulia membebaskan Terdakwa dari segala tuntutan dengan alasan dan pertimbangan yakni bahwa keterangan saksi-saksi yang dihadirkan oleh JPU, terdapat perbedaan keterangan waktu kejadian tentang peristiwa terjadinya Tindak Pidana Pencurian tersebut.

Terdakwa juga dipersamakan statusnya dengan pelaku yang sebenarnya, dimana Terdakwa yang juga dalam keterangan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) jelas dinyatakan bahwa Terdakwa pada saat itu sehabis pulang dari kerjaan, kemudian di tengah jalan mendapati pelaku yang sebenarnya sedang melakuan pencurian. Akan tetapi, dikarenakan Terdakwa mengenal para pelaku, maka Terdakwa pun menyapanya.

Dalam keterangan salah seorang saksi juga mengatakan bahwa Terdakwa telah melakukan pencurian dari jam 23:45 WIB pada tanggal 2 Juli 2022 sampai dengan tanggal 3 Juli 2022 pukul 3.45 WIB. Artinya Terdakwa telah melakukan pencurian selama satu hari dua malam atau  kurang lebih selama 40 Jam untuk keuntungan sebesar Rp15.000. (lima belas ribu rupiah).

Saksi mengakui melihat pada saat hendak membeli obat nyamuk sekitar pukul 03: 45 WIB dini hari. Dalam keterangannya juga bahwa lokasi tempat terjadinya pencurian tersebut merupakan wilayah yang sunyi dan sepi. Oleh karena itu, keterangan tersebut layak diragukan? mengingat kebiasaan orang pada umumnya tidak mungkin keluar rumah pada jam 3:45 pagi untuk membeli sesuatu.  

Selain itu, saksi juga mengatakan bahwa Terdakwa telah melakukan pencurian di tempat yang sama pada tanggal 5 Juli 2022. Tetapi pada faktanya, yang menjadi rujukan dan dasar dijadikannya dalil untuk  melaporkan di kepolisian dan menyidangkan Terdakwa di Pengadilan, bukan waktu kejadian pada tanggal 5 Juli 2022 tersebut.  Artinya ada kecurigaan, yang oleh nalar dan logika sulit diterima.

Pertama bahwa keterangan antara saksi saling bertentangan di mana dalam keterangan saksi yang pertama menyatakan bahwa kejadian tersebut terjadi pada tanggal 3 Juli 2022 sekitar pukul 23:43 Wib dan dua orang saksi lainnya mengatakan sekitar pukul 00: 45 WIB serta saksi yang dijadikan sebagai saksi kunci mengatakan bahwa waktu kejadian pada pukul 03:45 WIB.

Kedua bahwa saksi kunci tersebut menyatakan bahwa ia melihat Terdakwa melakukan pencurian pada saat hendak membeli obat nyamuk ke warung tetangga yakni sekitar pukul 03:45 WIB dini hari dan tentunya akan melewati jalan sunyi dan sepi sebagaimana tempat peristiwa pidana terjadinya pencurian tersebut. Melirik hal tersebut, tentu kebenarannya layak dipertanyakan?

Ketiga bahwa Terdakwa melakukan pencurian selama kurang lebih 40 jam untuk keuntungan sebesar Rp15.000.- adalah sesuatu yang tidak masuk akal dan sulit diterima oleh nalar setiap orang. Tindakan demikian tentu mustahil dilakukan oleh orang waras.

Berdasarkan hal tersebut, Penasehat Hukum menuntut Majelis Hakim untuk membebaskan Terdakwa dari segala tuntutannya. Atas dasar permohonan Penasehat Hukum tersebut, JPU pun mengajukan Replik yakni Jawaban atas Nota Pembelaan Penasehat Hukum.

Dalam surat Replik yang diajukan oleh JPU terpangpang jelas kata-kata "Demi keadilan dan kebenaran berdasarkan ke Tuhanan Yang Maha Esa" dengan kalimat ditulis di atas surat. Kemudian JPU dengan Bahasa yang tegas dan bermaknakan mengancam menyatakan bahwa "akan lebih mempertajam terkait Analisa dan pemaparan unsur-unsur pidana sebagai alasan atau dasar pertimbangan hukum" dalam memutus perkara a quo.

Pernyatan tersebut berulang kali dinyatakan dalam Replik yang diajukan oleh JPU ke Persidangan, bahkan pernyataan tersebut mencapai tiga kali ditegaskan dalam suratnya seakan ingin mengancam  Terdakwa dengan hukuman yang jauh lebih berat. Tiga kali pengulangan, tentu merupakan bentuk dari nafsu yang menggebu-gebu untuk menghukum Terdakwa serta guna menyelesaikan tugas agar dengan cepat selesai ataupun siap.

Kemudian dalam pemaparan JPU pada Repliknya terkait unsur-unsur sebagaimana maksud dari JPU yakni ingin mempertajam lagi analisisnya. JPU pun menerangkan salah satu unsur-unsurnya dalam Pasal 363 ayat (1) ke-4 yakni   Terdakwa  telah terbukti secara sah dan menyakinkan bahwa  "dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan yang mengakibatkan meninggal dunia" telah terpenuhi dan terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum.


Bahwa unsur tersebut terkesan dipaksakan dan kemungkinan juga sengaja diperbuat, di mana dalam pernyataan sebelumnya ada keinginan untuk mempertajam unsur-unsurnya. Meninjau unsur-unsur yang  terdapat dalam Pasal 363 ayat (1) tersebut tidak terdapat unsur "dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan yang mengakibatkan meninggal dunia". 

dokpri
dokpri
Artinya unsur-unsur yang dipaparkan oleh JPU tersebut adalah tuduhan palsu atau suatu kebohongan.Jika  demikian beraninya JPU menyebarkan kebohongan ataupun tuduhan palsu dalam persidangan yang mulia di Pengadilan, hanya lantaran keinginan untuk membuktikan dugaan yang melibatkan Terdakwa melakukan suatu perbuatan pidana. JPU menutup mata dan menghiraukan kebenaran, guna untuk tujuan menyelesaikan tugas agar cepat selesai. Maka dipastikan, hukum tidak benar-benar ditegakkan, dan kebenaran hanya menjadi simbol  belaka untuk menutupi kebobrokan sistem peradilan tersebut.

Terlebih lagi dalam hal ini, JPU tidak cerdas, bijak dan teliti serta tidak profesional dalam menjalankan tugasnya sebagaimana amanat dari Undang-Undang. Tentu JPU dalam hal ini, layak dipertanyakan integritasnya sebagai salah satu penegak hukum, yang diberikan kepercayaan untuk melakukan penuntutan.

Kita juga sudah pasti setuju agar setiap orang yang melakukan perbuatan pidana di hukum sesuai dengan perbuatannya. Untuk itu, setiap perkara yang diperhadapkan di persidangan, sudah kewajiban untuk ditinjau secara objektif dan komprehensif, agar Ius Constituendum  (hukum yang dicita-citakan) tercapai.

Tulisan ini sebelumnya telah diterbitkan  disitus web Qureta.com dengan judul: Tuduhan Palsu Dipersidangan; Lantas Bagaimana Keadilan ditegakkan

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun