Mohon tunggu...
Hans Pt
Hans Pt Mohon Tunggu... Seniman - Swasta, Sejak Dahoeloe Kala

Biasa-biasa saja

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dari Alun-alun Yogya: Kemesraan Ini Janganlah Pernah Berlalu

29 Desember 2019   09:12 Diperbarui: 20 Januari 2020   11:07 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Alun-alun Kidul, Panembahan, Keraton, Yogyakarta pada Minggu pagi ini, 29 Desember 2019--seperti biasa--sangat semarak. Masih pukul 06.00, tapi lokasi seluas lapangan sepak bola itu sudah ramai oleh warga. 

Hampir dapat dipastikan sebagian besar masyarakat yang tumplek-blek di tempat itu bukan warga Yogyakarta. Ini musim liburan akhir tahun. Tiga hari lagi kita akan masuk tahun yang baru, 2020. Banyak orang luar datang ke Kota wisata ini.

Selamat jalan Tahun 2019 yang penuh gejolak politik. Jangan pernah hadirkan lagi kondisi sosial-politik yang panas dan menyeramkan seperti di eramu. Kami bosan, kami lelah, kami letih, kami muak! Kami ingin hidup damai dengan sesama manusia, selamanya.

Dan kembali, sekali lagi saya ucapkan Selamat Hari Natal bagi teman, saudara, handai tolan yang merayakannya-- serta kepada kawan-kawan yang tidak mengharamkannya. Rukun dan damai itu lebih utama ketimbang mengharam-haramkan sesuatu secara serampangan. 

Menyongsong tahun baru 2020, banyak penduduk dari daerah lain yang memilih Kota Sultan ini sebagai destinasi wisata akhir tahun bersama keluarga. Di jalan-jalan utama, banyak kendaraan bernomor polisi non-AB. 

Bukan hal yang luar biasa sebenarnya jika Kota Pelajar ini selalu ramai dengan wisatawan, sebab dia memang dikenal juga sebagai kota wisata yang terkemuka di negeri ini. Hampir semua sudut kota ini bisa dijadikan tempat wisata.

Banyak tempat menginap, non-hotel, di segala sudut kota, termasuk di sekitaran Alun-alun Kidul. Penginapan sederhana yang murah-meriah, tetapi bersih, nyaman, aman, berkelas. Cocok untuk keluarga berakhir pekan. Ini bukan iklan, tetapi pesan dan kesan.

Kembali ke alun-alun yang luasnya setara lapangan sepak bola, dan di tengah-tengahnya tumbuh dua pohon beringin besar. Konon usianya sudah ratusan tahun(?) Pagi itu ratusan warga bersenam pagi ria diselingi musik riang. Semua bersenam dipandu oleh seorang wanita dengan lagu yang sedang poluler: "... entah apa yang merasukimu..."

Semua orang bersukaria, bersenam pagi dengan rasa persatuan, sekalipun mungkin tidak saling kenal. Sementara di sekeliling lapangan itu penuh pedagang makanan, minuman, cendera mata, dan sebagainya.

Pengunjung yang tidak ikut bersenam pagi, banyak yang menikmati makanan yang dijual di sana. Bisa jadi banyak tamu penginapan di sekitar situ memilih untuk sarapan pagi di sana, sambil menikmati keramaian yang tersaji pada pagi yang sejuk itu. 

Di malam harinya pun tempat itu tak kalah ramai dan semarak dengan masyarakat yang bermalam minggu, sambil menikmati aneka jajanan. Jadi tidak salah jika menyebut alun-alun itu sebagai sebuah tempat wisata kuliner. Asal tahu, bukan cuma itu alun-alun yang jadi tempat wisata di Yogya, masih ada yang lain.

Suasana rukun, damai, aman dan nyaman di sekitaran alun-alun itu membuat hati senang dan bahagia. Terharu. Namun dalam kedamaian itu, tersirat kekhawatiran tentang apakah situasi dan suasana yang kondusif itu akan terus berlanjut abadi selamanya? Dengan kalimat lain, apakah kemesraan itu tidak akan pernah berlalu, atau justru suatu waktu nanti hanya tinggal kenangan?

Ini penting kita renungi, mengingat akhir-akhir ini mulai banyak orang yang terpengaruh ajaran atau ceramah agama yang radikal, yang mengharamkan segala sesuatu. 

Sekarang ini banyak muncul penceramah yang membonceng agama, dan bebas melontarkan cacian, makian, tudingan, mengafirkan orang lain seenak mulutnya bicara. Apa-apa diharamkan. Hanya dia dan kelompoknya yang benar. 

Film, sinetron Korea diharamkan (tapi film Hollywood kok tidak?) Catur haram, alat musik itu sumber maksiat, dll. Tapi, kok kemajuan teknologi informasi berbasis jaringan internet tidak dituding sumber maksiat? Bukankah smartphone yang digunakan untuk berkomunikasi tanpa batas itu, leluasa pula dijadikan untuk mengirim gambar atau menonton video yang tidak senonoh, atau maksiat? 

Kenapa penceramah agama sejenis itu tidak pernah mengharamkannya, dan sekaligus menganjurkan semua pengikutnya mencampakkan benda-benda yang juga hasil pemikiran dan karya kaum kafir itu?

Sebab bukankah ada tertulis "bahwa telah kafirlah orang yang meniru-niru atau mengikuti kebiasaan kafir"? Kok cuma pakai topi sinterklas yang diharamkan? Helloooow.... Alun-alun Yogya membuktikan betapa indahnya hidup bersama di dalam keberagaman. Semua warga yang berbeda latar belakang suku-agama berinteraksi dalam harmoni. Dan ini sudah berlangsung lama, sejak puluhan atau bahkan mungkin ratusan tahun silam.

Namun ini bisa berlalu dalam sekejap apabila oknum penceramah agama intoleran dan gemar menyebar permusuhan mulai datang. Dia akan mengatakan bahwa bersenam pagi cara ramai-ramai, pria wanita berkumpul itu haram, terlebih diiringi musik yang berbau maksiat, dan sebagainya, hukumannya neraka, dsb.

Warga yang kadar imannya tipis pun akan mudah terpengaruh, dan mulai menjauhi aktivitas bersama semacam ini. Dan jika ini mulai terjadi, kemesraan antarsesama warga masyarakat pun terancam. 

Maka, untuk menghindari mimpi buruk ini, jangan pernah memberi ruang bagi penceramah intoleran. Mereka itu bukan membawa misi damai agama, hanya ingin merusak harmoni. Karena di mana ada kekacauan, di sanalah kesempatan bagi mereka masuk untuk mengubah tatanan negara sesuai keinginan mereka. Dan ini musibah, jadi tolak mereka di mana pun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun