Mohon tunggu...
Hans Pt
Hans Pt Mohon Tunggu... Seniman - Swasta, Sejak Dahoeloe Kala

Biasa-biasa saja

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Revisi, Selamatkan KPK dari Radikalis

20 September 2019   15:00 Diperbarui: 20 September 2019   15:09 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Akhirnya kita semakin dapat menerima bahwa revisi UU KPK memang mutlak diperlukan saat ini. Selama ini kita hanya terbuai dengan KPK yang sukses menangkapi banyak koruptor dalam operasi tangkap tangan (OTT). Sudah banyak maling yang dipenjarakan, sudah banyak uang negara yang berhasil diselamatkan, tetapi praktik-praktik korupsi tidak pernah menyurut. Tapi kita nyaris tidak pernah menelisik ke dalam tubuh KPK.

Seiring KPK menjadi bahan pembicaraan karena "nyawanya sedang terancam", kita pun sekaligus mendapatkan banyak informasi tentang lembaga anti-rasuah yang dilahirkan di eranya Presiden Megawati Sukarnoputri ini. 

Di balik sosoknya yang "suci" itu, lembaga ini pun pernah melakukan berbagai penyimpangan. Sebut saja salah satu tentang Abraham Samad, ketua KPK Periode  2011- 2015, disebut-sebut telah menyalahgunakan wewenang penyadapan. Samad dikatakan melakukan aksi penyadapan ke berbagai pihak, yang akhirnya dia dapat mengetahui bahwasanya bukan dirinya yang lolos menjadi calon wakil presiden (cawapres) Jokowi pada Pilpres 2014.

Bangke juga. Kok wewenang yang sangat langka dan penuh risiko ini digunakan untuk kepentingan pribadi oknum petinggi KPK? Dan kita akhirnya tiba pada kesimpulan bahwa KPK pada dasarnya hanyalah lembaga biasa saja, yang tidak ada istimewanya. Syafii Maarif mengatakan, kita harus mendukung supaya KPK kuat, tetapi KPK itu bukan suci. Artinya, lembaga ini bukan tidak bisa dikritisi. UUD 1945 saja yang sudah dianggap "sakral" bisa diamandemen kok. Ini "cuma" KPK, sebuah lembaga bentukan manusia, harus bisa direvisi sesuai tuntutan zaman dan kondisi.  Yang tidak bisa dikutak-katik itu kitab suci!

KPK selama ini memang bagaikan lembaga superbody dengan segala kewenangannya. Mereka bisa melakukan aktivitasnya tanpa ada yang mengontrol. Termasuk dalam hal ini adalah menyadap. Wewenang penyadapan inilah pada dasarnya yang menjadi roh dan kekuatan KPK. 

Tetapi ketika terbongkar bahwa wewenang ini pernah disalahgunakan oleh oknum pimpinannya, pandangan kita pun lantas berubah. Penyalahgunaan penyadapan yang disebut di atas itu adalah yang ketahuan. Sementara yang tidak ketahuan, seberapa banyak dan seberapa sering? Ini yang menjadi bahan renungan.

DPR dan pejabat, paling getol ingin membubarkan KPK dengan berbagai dalih, seperti saat ini merevisi UU KPK. Wajar saja karena banyak oknum politikus dan pejabat yang terjaring OTT, karena sudah disadap lebih dulu. Maka ketika DPR kembali menggulirkan revisi UU KPK, sontak masyarakat luas protes dan mengecam Presiden Jokowi yang akhirnya menyetujui revisi UU KPK.

Penulis sendiri juga awalnya sangat anti-revisi UU KPK ini. Namun berkat informasi dan berbagai fakta yang ada, penulis pun tiba pada kesimpulan bahwa lembaga ini memang harus ditertibkan atau direvisi UU-nya. Tetapi DPR jangan pernah diberikan lubang sekecil apa pun di sini. 

Kita setuju usulan DPR bahwa KPK harus punya dewan pengawas. Tapi DPR tidak usah ikut campur dalam pembentukan dewan pengawas KPK ini. Biarlah ini menjadi wewenang penuh presiden, dan pengawas bertanggung jawab hanya kepada presiden saja. Wong DPR sendiri juga sebenarnya paling urgen untuk diawasi, lha, kok sok mengawasi KPK?

Dari sekian problematika yang ada di KPK selama ini, ada suatu hal yang mungkin luput dari perhatian masyarakat. Publik tahunya lembaga ini kerjanya menangkap maling, menyematkan uang negara. Patriotis dan suci sekali kesannya. Tapi ada data bahwa biaya operasional yang dikucurkan ke lembaga ini setiap tahun, tidak sebanding dengan uang negara yang berhasil diselamatkan. 

Biaya operasional masih jauh lebih besar dari hasil tangkapan? Atau-entah benar atau tidak--di medsos ada yang menulis: pemerintah menggelontorkan dana berbilang triliun rupiah, tetapi tahun ini uang negara yang berhasil diselamatkan "hanya" Rp 800 miliaran(?)

Namun yang lebih miris adalah bahwa diam-diam ternyata lembaga ini sepertinya sudah sejak lama dinaungi kaum radikalis? Ketika sikap pro dan kontra soal revisi UU KPK memanas, Tengku Zulkarnaen dalam cuitannya mengatakan dirinya "sudah 15 tahun mengajar di KPK". Artinya, ulama yang belum lama ini memaparkan hasil telaah strategisnya di medsos, bahwa ibu kota RI yang baru di Kalimantan Timur itu sasaran empuk rudal China,  sudah belasan tahun mengisi ceramah keagamaan di lingkungan KPK? Sungguh disesalkan, sebab ustadz yang satu ini lebih menampakkan diri sebagai pro-khilafah, paham yang sudah dilarang oleh negara. 

Bisa jadi hal ini karena peran penyidik senior KPK Novel Baswedan? Dari penampilan sehari-harinya, perwira polisi yang "betah" di KPK ini pun lebih mengesankan bahwa dia condong ke radikalis yang intoleran. 

Bahkan sejak  lama beredar istilah "polisi taliban" di KPK, yang sepertinya tertuju pada sepupu Gubernur Anies Baswedan ini? Di saat pemerintah dan rakyat sedang giat membersihkan anasir-anasir yang berpotensi merongrong NKRI yang bhinneka dalam naungan Pancasila dan UUD 1945,  tentu sangat riskan jika di KPK bercokol oknum-oknum yang dicurigai membawa misi tertentu. Maka dalam satu sisi, revisi UU KPK perlu guna menertibkan oknum-oknum semacam ini, dan menyelamatkannya dari cengkeraman kaum radikalis. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun