Mohon tunggu...
Hans Pt
Hans Pt Mohon Tunggu... Swasta, Sejak Dahoeloe Kala

Biasa-biasa saja

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pesta Adat Batak yang Mulai Dikritik

29 Juli 2019   15:34 Diperbarui: 29 Juli 2019   15:41 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pesta adat Batak yang meriah (Foto: Panjath H)

Dari ratusan suku/etnis yang ada di Nusantara kita yang indah ini, keberadaan suku Batak cukup menonjol. Meskipun secara kuantitas jumlah masyarakat yang berasal dari Tapanuli, Sumatera Utara ini kalah jauh dibanding suku Jawa atau Sunda, namun eksistensinya selalu diperhitungkan. Sama seperti etnik lain yang memiliki bahasa, budaya khas sendiri, kaum Batak pun demikian. Batak bahkan memiliki abjad/tulisan yang--sayang sekali--sudah mulai terabaikan. 

Ya iyalah, jangankan mempelajari atau melestarikan abjad Batak, menggunakan bahasa Batak pun generasi muda sudah banyak yang ogah. Fenomena ini tidak hanya di tanah rantau atau kota-kota yang jauh dari Bona Pasogit (tanah leluhur), namun juga sudah terjadi di kampung halaman sendiri. Bahkan di pelosok perkampungan, anak-anak kecil sudah biasa menggunakan bahasa Indonesia. Orang-orang Batak, tanpa sadar telah memulai proses pemusnahan bahasa ibunya sendiri. Kalau hal ini tidak diantisipasi sejak dini, maka 50 tahun lagi bahasa ini akan punah!

Pada dasarnya generasi muda Batak terutama yang lahir dan bertumbuh di kota, mau-mau saja belajar berbahasa leluhur, tetapi orang tua di rumah tidak mau mengajari. Lebih parah lagi ketika papi-mami yang sebenarnya fasih berbahasa Batak, karena sama-sama "tembak langsung" dari Tanah Batak ke Jakarta, sudah lebih banyak berkomunikasi dalam bahasa Indonesia. Beberapa generasi muda di perantauan ada yang menyesalkan orang tuanya karena tidak mengajari mereka berbahasa daerah sendiri.  Padahal kalau di rumah menggunakan bahasa ini dengan suara "keras" maka anak-anak akan menangkapnya, dan minimal pasif. Tetapi pasif saja tidak cukup, harus aktif 100%.

Di samping ada rasa enggan menguasai bahasa Batak, generasi muda pun banyak yang "malas" hadir ke acara-acara adat, semisal pernikahan. Alasannya, pesta adat itu lama dan bertele-tele. Memang betul, pesta adat pernikahan itu biasanya berlangsung dari pukul 12.00 hingga selesai. Di Jakarta dan sekitarnya, di mana acara-acara pernikahan adat dilaksanakan di gedung-gedung, sudah termasuk cepat kalau acara adat selesai pukul 18.00. Bahkan ada yang sampai pukul 20.00 baru bubar.

Banyaknya tamu/undangan, dan acara yang kesannya bertele-tele menjadi salah satu penyebab lamanya sebuah acara adat. Bagi generasi yang berasal dari kampung, ini mungkin bukan terlalu masalah, sebab bisa berkumpul dengan teman atau kerabat yang jarang ketemu. Di sini juga ada waktu-waktu girang, di mana orang-orang berjoged ria mengikuti irama musik live yang nadanya gembira. 

Acara joged-joged massal ini biasanya berbarengan dengan acara penyampaian ulos kepada mempelai. Ibu-ibu, bapak-bapak tua muda, banyak  yang tidak tahan untuk tidak berjoged, ketika musik berirama girang mulai dimainkan seiring dengan adanya rombongan tamu/undangan atau sanak keluarga yang berbaris ke pengantin untuk menyampaikan ulos.

Tapi bagi generasi muda yang sudah mulai "asing" dengan adat leluhur ini, hadir di pesta adat sudah sangat menjemukan. Maka ketika kita mengajak keponakan yang sudah berumah tangga, dia sering mengemukakan alasan supaya tidak hadir. Lagi masuk kerja-lah, dsb. Bahkan ada yang mengatakan "tidak hobby" ke acara-acara adat. 

Ironis, padahal sewaktu dia menikah beberapa tahun lalu, orang tuanya menyelenggarakan adat full, dan banyak undangan yang rela menunggu hingga pukul 19.00 atau 20.00 sampai selesai. Dan menurut tradisi Batak, itu merupakan "hutang adat" yang harus dibayar pengantin kelak, dalam arti rajin memenuhi undangan, dan betah di tempat acara sampai tuntas. Lama-tidaknya seseorang berada di acara tergantung dari posisinya di acara itu. Kalau dia datang sebagai tulang atau hulahula, harus menyampaikan ulos, sehingga lama. Tapi kalau hanya sebagai kawan, tidak perlu berlama-lama.

Dari berbagai bincang-bincang, generasi muda itu mengeluh acara yang panjang dan bertele-tele sehingga enggan datang ke pesta adat, apabila posisinya mengharuskan dia lama berada di sana. Belum lagi kebingungannya karena tidak mengerti apa saja yang dibicarakan para protokol saat berbicara bersahut-sahutan di tengah-tengah acara tersebut. 

Acara adat Batak memang penuh dengan dialog antara pihak pengantin perempuan dengan pihak pengantin laki-laki. Tanya-jawab dan berbalas pantun (umpasa) biasanya sangat menarik bagi hadirin yang mengerti bahasa Batak, tetapi menjemukan dan membingungkan bagi yang tidak paham. Maka wajar saja mereka ogah hadir. Dan kalaupun hadir hanya sebentar, makan, menyalami mempelai sambil menyalamkan amplop berisi uang sumbangan (tumpak).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun