Mohon tunggu...
Hans Pt
Hans Pt Mohon Tunggu... Seniman - Swasta, Sejak Dahoeloe Kala

Biasa-biasa saja

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tragedi Sang Pemuka Agama

14 April 2019   09:59 Diperbarui: 14 April 2019   10:19 1472
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seorang pemimpin harus tegas dalam bersikap. Mau ke A atau ke B, itu urusan sendiri, namun sangat bagus kalau sejak awal tegas dan konsisten, sebab sikap seorang pemimpin itu menjadi rujukan banyak orang. Atau bila tidak, sejak dini menyatakan diri berada di tengah-tengah alias netral, supaya masyarakat luas terutama pengikutnya pun memiliki kepastian. 

Memberikan kebebasan kepada pengikut atau umatnya untuk menentukan pilihan, sebagaimana sikap berberapa ormas, sangat membanggakan, dan mestinya menjadi panutan. Sikap tegas menyatakan netral, itu akan membuat pengikutnya cerdas. Sikap ambigu pemimpin akan membuat pengikut bodoh dan tidak percaya diri.

Namun menjelang hari "H", dan si tokoh agama ini pun terang-terangan menyatakan dukungan kepada salah satu capres dengan cara menyambangi di kediamannya, publik pun terkejut sejenak. Salah satu kubu bersorak kegirangan, dan kubu yang lain menyesalkannya. 

Lebih memprihatinkan karena alasan si tokoh agama melabuhkan dirinya pada capres itu, karena aspirasi pengikut yang jumlahnya ratusan ribu itu (?) "Ke mana-mana saya pergi dan bertanya, mereka mengingikan si B yang jadi presiden..." kilahnya. 

Sikap seperti ini politis sekali. Seorang politikus memang harus mengikuti suara konstituen. Sementara tokoh agama harus meluruskan sikap umat yang keliru. Kalaupun misalnya jutaan pengikutnya lebih suka si Anu jadi presiden, pimpinan umat harus melihat juga sosok si Anu ini. 

Latar belakangnya, dan keberimanannya. Kalau ternyata tidak sesuai, ya kenapa harus diikuti kemauan pengikut untuk mendukungnya?

Lihat saja sepak terjangnya yang terkesan menghalalkan segala cara, menyebar hoaks, fitnah, demi jabatan. Hal-hal seperti ini mestinya menjadi salah satu pertimbangan seorang tokoh agama yang benar dan lurus. Kita tidak menutup mata dengan popularitasnya seseorang. 

Namun kalau itu didapat karena telah mengotori rivalnya dengan  hoaks dan fitnah, itu sangat tidak sesuai dengan ajaran agama. 

Dan seorang tokoh agama mestinya paham tentang hal-hal semacam ini. Masifnya dan militansinya suatu kelompok atau kubu dalam memengaruhi masyarakat dengan menyebar fitnah dan kebohongan, pasti dapat membuat banyak orang terpengaruh dan tertipu. Kasihan mereka.

Adalah menjadi sangat sulit dinalar ketika seorang capres yang sejak lama dikenal taat beragama, sopan santun jujur tulus bekerja--bahkan menggandeng seorang ulama besar kharismatik menjadi cawapresnya--namun oleh semburan hoaks dan fitnah yang tiada henti, banyak orang yang percaya bahwa dia itu PKI, anti-agama, anti-ulama, pembohong, dsb. 

Sebaliknya seorang capres yang tidak diketahui kadar keberimanannya, tidak pernah jadi imam, tidak dapat membaca ayat-ayat suci, namun banyak orang percaya kalau dia itu pembela agama. Itu semua kerjaan oknum penyebar hoaks, fitnah, berkedok agama pula. Mengerikan sekali kehidupan seperti ini. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun