Mohon tunggu...
Hans Pt
Hans Pt Mohon Tunggu... Seniman - Swasta, Sejak Dahoeloe Kala

Biasa-biasa saja

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Pilihan

Kemunduran Sistem Transportasi

18 Mei 2018   13:45 Diperbarui: 18 Mei 2018   15:36 576
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Yang namanya kota besar, apalagi sudah berstatus metropolitan, dari waktu ke waktu pasti bergulat dengan masalah transportasi. Penduduk yang jumlahnya jutaan jiwa dan terus bertambah, bermobilitas tinggi, pasti membutuhkan sarana transportasi untuk menunjang aktivitas keseharian mereka.

Di Jakarta dan sekitarnya, saat hari libur pun, jalanan tidak pernah sepi, sebab tetap saja banyak kendaraan berseliweran di jalan-jalan utama. Hari libur banyak digunakan untuk pergi kondangan, mencari hiburan, dsb. Jalanan yang macet sudah merupakan pemandangan rutin bagi warga kota besar ini.

Maka setiap musim kampanye, calon gubernur DKI pasti menyelipkan janji akan membereskan masalah transportasi ini, menghilangkan kemacetan dari jalan-jalan. 

Pada kampanye Pilgub DKI 2012, salah satu pasangan bahkan berani mengusung tema: "tiga tahun bisa". Artinya, kalau dia terpilih menjadi gubernur DKI, dalam tiga tahun, pasti bisa melenyapkan kemacetan lalu-lintas dan banjir dari DKI. Alhasil semua orang hanya tertawa terpingkal-pingkal mendengar "bualan" itu. Warga DKI tidak bodoh ketika itu, sebab paslon itu gugur pada putaran pertama. 

Moda transportasi pun akan berubah dinamis sesuai tuntutan zaman dan kebutuhan. Transportasi di DKI pun dari waktu ke waktu bermetamorfosis. Selama beberapa dekade, warga sudah akrab dengan yang namanya: Metromini, Kopaja, PPD, Mayasari Bhakti, dsb.

Zaman now, nama-nama tersebut mulai memudar, diganti oleh transjakarta, yang oleh masyarakat dinamakan busway. Padahal busway itu jalannya/jalurnya, sedangkan nama moda transportasinya adalah transjakarta--bukan Transjakarta!

Bus transjakarta sendiri mulai bergulir di Ibu Kota di masa pemerintahan Gubenur Sutiyoso. Bang Yos-- nama akrab beliau--melakukan studi banding ke luar negeri dan mengadopsi sistem transjakarta ini. Ada misi mengurangi kemacetan lalu-lintas dengan cara mengurangi penggunaan mobil-mobil pribadi.

Dengan transjakarta yang punya jalur khusus, nyaman, manusiawi, bersih, ber-AC, diharapkan banyak warga meninggalkan mobil pribadinya dan berbondong-bondong naik transjakarta. Apalagi dengan jalur khususnya (busway), transjakarta bisa melaju tanpa macet, sebab jalur busway-nya akan disterilkan dari kendaraan lain. Yang berani masuk jalur busway, ditilang! Itu mindset awalnya. 

Namun apa yang terjadi, dengan ongkos transjakarta yang murah-meriah--Rp 3.500 dari dulu dan kini--bus ini pun menjadi idola masyarakat. Alhasil, rute-rute sibuk selalu full, terutama pada jam-jam sibuk. Sterilisasi jalur yang tidak selalu diterapkan dengan baik dan konsisten, membuat bus ini pun kerap senasib dengan kendaraan lainnya pada jam-jam sibuk: terjebak macet!

Maka tujuan awal mengurangi kendaraan pribadi pun tidak menjadi nyata. Jalan-jalan tetap didominasi mobil-mobil pribadi. Transjakarta terus melebarkan sayap. Dengan menggandeng perusahaan-perusahaan bus yang lain, kota-kota penyanggah Ibu Kota seperti Tangerang, Bekasi, Depok, dimasuki. Dengan tarif yang murah-meriah, moda ini menjadi idola masyarakat. 

Pengelola transjakarta pun terus berusaha meningkatkan pelayanan dengan menambah jumlah bus. Tapi penambahan bus tidak dibarengi dengan pemanjangan halte-halte. Akibatnya, kebanyakan halte hanya bisa menampung satu bus untuk bongkar muat. Kalau bus banyak yang antri, prosesnya jadi lama.

Saya pernah menunggu seperempat jam lebih untuk bisa turun di halte, padahal bus sudah di areal halte, hanya beberapa meter lagi. Pintu bus hanya boleh dibuka pas di halte. Proses bongkar muat menjadi tersendat pula ketika traffic light di ujung halte berwarna merah.

Ibarat penyakit, ini namanya komplikasi. Sangat tersiksa karena sedang kebelet buang air. Makin tersiksa karena tidak ada toilet di halte. Eh, sebenarnya toilet ada, tetapi tidak berfungsi, karena diduga sejak awal tidak pernah digunakan, akhirnya terbengkalai, dan jadi markas tikus.

Di beberapa halte ada toilet yang bisa digunakan, seperti Harmoni, Slipi, Grogol, Dukuh Atas, dll. Tetapi di beberapa halte, sering dalam keadaan terkunci, dan petugasnya berdalih: air tidak ada!

Transjakarta belum lama ini menggulirkan produk baru: bus-bus yang berlabel: "bisnis", dan "premium". Tarifnya bukan Rp 3.500 tetapi Rp 10.000. Konon awalnya Rp 20.000, tetapi karena sepi peminat, ongkos jadi turun 50%. Bus-bus bertarif mahal ini sudah mulai banyak muncul di ruas Tangerang - Jakarta! 

Menurut saya ini kemunduran. Kalau niat pemerintah ingin membantu/menyubsidi masyarakat, mestinya tetaplah konsisten dengan pengadaan satu jenis bus saja, bertarif Rp 3.500,- Sudah jelas, bus "premium" sepi penumpang, sementara bus "ekonomi" selalu membeludak.

Saya takut, kalau nanti bus-bus mahal itu makin banyak penumpangnya, bus-bus tarif murah dikorbankan alias dikurangi. Lagi-lagi warga yang ekonomi pas-pasan jadi korban. Bus murah makin langka.

Maka, demi keadilan, konsistenlah menyubsidi masyarakat dengan bus tarif Rp 3.500 itu. Perbanyak bus transjakarta-nya, panjangkan haltenya, lengkapi dengan toilet yang setiap saat layak pakai, dan yang lebih penting lagi: tetap sterilkan jalurnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun