Mohon tunggu...
Hans Christian IH
Hans Christian IH Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Prodi Hubungan Internasional/ Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik/Universitas Jember

Seorang mahasiswa yang senang belajar dan menjelajahi hal-hal baru mengenai dunia. Seseorang yang senantiasa mengembangkan dan menggali potensi diri. Tertarik dengan fenomena-fenomena sosial khususnya mengenai Budaya, Bahasa, dan Ekonomi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Nilai Merkantilisme di Abad ke-21: Monopoli dalam Medsos Virtual dan K-Pop serta Pengaruhnya dalam Bidang Ekonomi Politik

13 Maret 2023   06:54 Diperbarui: 13 Maret 2023   11:17 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber gambar: Goodstats)

Merkantilisme adalah salah satu teori "lama" dalam ekonomi. Namun, apakah pemikiran merkantilisme benar-benar mati seiring berkembangnya jaman? jawaban untuk pertanyaan tersebut adalah tidak. Di abad kedua puluh satu ini, masih ada nilai-nilai dari merkantilisme yang nyata dalam perekonomian. Selain itu "merkantilisme masa kini" nyata dalam kebijakan ekonomi politik yang biasa disebut kebijakan proteksionisme.

Sebelum membahas mengenai merkantilisme di abad kedua puluh satu,kita akan sedikit membahas mengenai sejarah singkat merkantilisme. Istilah merkantilisme sendiri pertama kali digunakan oleh Adam Smith. Dalam 200 lembar lebih buku Wealth of Nations ke-5, Adam Smith menggunakan istilah tersebut dalam kritik mengenai sistem komersial atau merkantilis.

Kritik Adam Smith menunjukan keterkaitan antara taktik pedagang dan produsen dengan kebijakan merkantilisme. Ia mengemukakan bahwa hubungan diantara ketiga hal tersebut bertujuan untuk memonopoli pasar. Kritik Adam Smith terletak pada kenyataan bahwa meskipun kebijakan merkantilisme cenderung efektif terutama dalam hal promosi, kebijakan ini memiliki kelemahan yang tidak dapat diabaikan. Dampak negatif yang paling mudah diidentifikasi adalah alokasi sumber daya alam secara besar-besaran yang bertentangan dengan prinsip kebebasan alami.

Isu Monopoli dalam Media Sosial Virtual

Kehidupan manusia di abad kedua puluh satu bisa dibilang tidak dapat lagi dipisahkan dari teknologi. Teknologi yang kian berkembang dan didukung dengan arus globalisasi menjadikan teknologi terutama media sosial sebagai salah satu hal yang paling mudah untuk diakses masyarakat. Sebagai forum komunikasi dan rekreasi media sosial bukan hanya memudahkan kehidupan manusia, melainkan menjadi bagian kebutuhan manusia.


Kita generasi muda mungkin sudah terlalu sering mendengarkan teguran dari orang tua kita "main hp terus", "kerjanya scroll medsos doang", dan lain-lain. Pernahkah kamu berpikir apakah hal tersebut hanya saya alami sendiri? Tanpa sadar saya sendiri juga sering tenggelam dalam pesona media socal. Bahkan banyak teman-teman saya yang mendapatkan teguran yang sama. Artinya, media social mampu menyita perhatian masyarakat secara masif, lantas apa hubungannya dengan merkantilisme?

Media social memiliki potensi untuk menjadikan suatu hal trending, yang artinya hal tersebut mendominasi pembicaraan dan mendapatkan perhatian dari masyarakat. Hal ini mengingatkan saya pada salah satu ideologi merkantilis yang berbicara mengenai monopoli. Menjadikan sebuah perusahaan sebagai satu-satunya pihak yang mendominasi pasar menurut saya dapat disandingkan dengan kemampuan untuk merekayasa informasi kepada satu arah yang dominan.

Mungkin ada argumen bahwa media social terlalu beragam untuk menjadi instrument monopoli. Mengutip data dari studi Hootsuite tahun 2022, Whatsapp, FaceBook, dan Instagram menjadi media sosial yang paling banyak digunakan. Di dalam negeri pada tahun 2021 netizen lebih dari 85% Indonesia memakai tiga platform ini. Secara spesifik, netizen Indonesia pengguna Whatsapp mencapai angka 87,7%, sebesar 86,6% menggunakan Instagram, dan Facebook digunakan oleh 85,5% dari keseluruhan angka netizen Indonesia. Bahkan ketiga platform ini menjadi platform yang menguasai dunia, dengan angka pengguna ketiganya masing-masing melebihi 14% jumlah netizen dunia. Dan bukan rahasia lagi bahwa ternyata ketiga platform media sosial ini tergabung dalam Meta Group.

(sumber gambar: PYMNTS.com)
(sumber gambar: PYMNTS.com)

Dengan dominasi Meta Group dalam penyedia layanan media sosial bisa dibayangkan seberapa kuat pengaruh yang dimiliki Meta Group. Ketiga platform yang berbeda namun dapat saling dihubungkan ini, Meta Group mampu mengontrol arus informasi dan membuktikan telah terjadi monopoli dalam pasar media sosial. Kita semua pasti sering menemukan berbagai jenis iklan dan konten promosi di media social, bukan suatu ketidaksengajaan jika kita pernah melihat iklan yang sama berulang kali di platform yang berbeda. Potensi ini cukup berbahaya jika ternyata platform milik Meta Group ini digunakan dengan sengaja membentuk pola pikir atau budaya yang hanya akan mendukung kaum komersial dan memunculkan monopoli-monopoli di bidang-bidang kehidupan lainnya.

Pernahkah pembaca sebagai netizen memikirkan hal yang sama? Apa pendapat pembaca mengenai monopoli media sosial oleh Meta Group ini?

 

Isu Monopoli dalam K-Pop (Korean Pop)

K-Pop atau Korean Pop merupakan genre music dari Korea Selatan yang sekarang sangat populer, terutama dikalangan kaum muda. Selain menjadi wadah untuk mengekspresikan jiwa seni artis, industry music, termasuk K-Pop juga bertujuan untuk mengumpulkan profit. Bidang-bidang seperti politik dan ekonomi juga mulai dipengaruhi keberadaan dna pengaruh yang dimiliki K-Pop. Dengan kondisi sekarang dimana K-Pop sangat influential dan profitable perusahaan-perusahaan music di Korea Selatan mengalami persaingan ketat dengan satu sama lain.

Empat perusahaan terbesar dalam industri musik K-Pop (Sumber gambar: Suara.com)
Empat perusahaan terbesar dalam industri musik K-Pop (Sumber gambar: Suara.com)

Salah satu persaingan yang paling disoroti adalah persaingan antara empat perusahaan terbesar dalam industri musik Korea Selatan. Empat perusahaan ini adalah SM Entertainment, JYP Entertainment, YG Entertainment, dan HYBE Labels . Namun isu yang dimaksud dalam tulisan ini terjadi di antara SM Entertainment dan HYBE Labels.

Ketegangan di antara keduanya diakibatkan usaha dari HYBE Group untuk "mengambil alih" SM Entertainment. Hal tersebut ternyata disebabkan oleh HYBE yang berhasil menjadi pemilik saham terbesar di SM Entertainment. Sebesar 14.8% Saham SM Entertainment sudah dimiliki oleh HYBE Labels .

Sebagai salah satu penikmat music, penulis awalnya tidak tau menau tentang isu ini. Namun, sepertinya situasi yang semakin memanas di antara dua perusahaan music Korea Selatan ini menyita perhatian internasional. Hal ini menunjukan bahwa K-Pop kini menjadi salah satu pusat perhatian dunia, dan potensi digunakannya K-Pop untuk mendukung bidang-bidang kehidupan lain sudah dipertimbangkan berbagai pihak.

Hal ini dibuktikan dengan beberapa peristiwa seperti BTS (Group Musik) yang menjadi utusan khusus Korea Selatan dalam sidang ke-76 PBB. Selain itu group seperti BLACKPINK ditunjuk langsung oleh PBB sebagai duta SDGs di 2021. Kemudian ada juga group AESPA yang diundang khusus oleh PBB untuk berbicara tentang SDGs dan metaverse di tahun 2022.

Bukan hanya dibidang politik, K-Pop kini mengembangkan sayapnya ke bidang ekonomi terutama tahap promosi. Pengaruh dan ketenaran yang dimiliki seorang artis K-Pop dimanfaatkan oleh perusahaan-perusahaan untuk mempromosikan produknya. Promosi sebuah produk memang selalu mengandalkan pengaruh yang dimiliki promotornya, namun dalam kasus ini, pengaruh K-Pop sangat mendominasi. Tidak hanya perusahaan dari Korea Selatan saja yang menggunakan Idol K-Pop sebagai strategi promosi produknya. Perusahaan dalam negeri seperti dari Indonesia sudah sangat sering melibatkan Idol K-Pop dalam promosinya. Mulai dari produk kecantikan, aplikasi belanja online, aplikasi penyedia jasa transportasi, produk makanan, dan bahkan penyedia jasa keuangan.

Bagi peminat music K-Pop mungkin sudah tidak asing lagi jika seorang idol K-Pop mempromosikan suatu produk, produk tersebut segera terjual habis dan sulit ditemukan di pasar. Bahkan ada kejadian dimana produk yang hanya digunakan oleh artis K-Pop atau Idol terjual habis tanpa promosi secara resmi atau kerjasama resmi diantara kedua pihak. Beberapa contoh peristiwa terjual habisnya suatu produk karena pengaruh seorang idol adalah yang terjadi pada idol asal dua perusahaan yang sedang dibahas yaitu SM dan HYBE. Dengan pengaruh yang demikian kuat, penulis menjadi tertarik untuk mencari tahu mengenai isu diantara dua perusahaan besar ini.

Setelah pencairan info lebih lanjut, penulis menemukan bahwa hal tersebut terjadi diawali dengan konflik internal dalam perusahaan. Eksekutif SM Entertainment melakukan pelengseran penemu dan CEO SM Entertainment Lee Soo Man. Kemudian, HYBE dan Lee Soo Man mencapai kesepakatan dan menjual saham milikinya kepada HYBE Labels. Demikianlah perpindahan tangan 40% saham SM Entertainment kepada salah satu pesaingnya sendiri yaitu HYBE Group.

Ex-CEO SM Ent., Lee Soo Man dan ketua dewan direksi HYBE Labels, Bang Si Hyuk (Sumber gambar: Kompas.com) 
Ex-CEO SM Ent., Lee Soo Man dan ketua dewan direksi HYBE Labels, Bang Si Hyuk (Sumber gambar: Kompas.com) 

Hal yang menarik adalah kenyataan jika HYBE benar-benar melakukan pengambilan alih perusahaan pesaingnya HYBE mampu memonopoli pasar K-Pop. Sekitar 66% pasar K-Pop akan dikuasai oleh satu pihak yang tergabung dalam HYBE dan SM. Belum lagi, ada isu baru bahwa HYBE berencana membeli saham SM sampai pada angka 25,2% atau sebesar 900 Juta Dolar AS atas tawaran pemilik saham minor di SM Entertainment.  

Isu monopoli dalam K-Pop ini pun diungkap oleh CEO SM Entertainment yang baru Chris Lee. SM Entertainment sendiri sangat menolak pengambilalihan yang dilakukan oleh HYBE atas perusahaan mereka. Memang belum dapat dipastikan, namun dengan bergabungnya kedua kekuatan besar dalam industry music ini, timbul potensi terlahirnya kekuatan yang dapat mempengaruhi bidang-bidang lain di luar industri musik seperti politik dan ekonomi.

Sebelumnya, penulis sudah menyebutkan group music yang pernah menjadi tamu di sidang PBB. Dua diantara 3 group itu ternyata berasal dari HYBE Group dan SM Entertainment. Bisa kita bayangkan bagaimana potensi pengaruh yang tercipta jika HYBE dan SM Bersatu. Secara singkat K-Pop akan dimonopoli oleh perusahaan tersebut dan K-Pop akan berpotensi untuk memegang kekuatan besar dalam bidang politik dan ekonomi. Dengan pengaruh dan potensi demikian timbul pula peluang penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan satu pihak, mungkin saja kepentingan perusahaan atau bahkan pemerintah Korea Selatan.

Bagaimana menurut pembaca? Apakah isu ini cukup menarik untuk didalami meski pembaca bukan peminat music K-Pop? Apakah bagi anda peminat music K-Pop menjadi tertarik mendalami aspek pengaruh, kekuasaan, politik dan ekonomi dalam kasus ini?

Dua hal yang kini menjadi trend di dalam kehidupan masyarakt dihadapkan dengan isu monopoli. Penulis sendiri menghadapi kekhawatiran atas masa depan ekonomi politik baik itu domestik dan internasional. Peluang bagi pihak-pihak tertentu untuk menguasai pasar semakin terbuka. Keberlangsungan hidup perusahaan-perusahaan kecil yang tidak mampu memanfaatkan kekuatan ini akan terancam atau setidaknya mengalami penurunan profit. Disaat bersamaan perusahaan yang mampu memanfaatkan kekuatan melalui media sosial dan K-Pop akan terus bertumbuh dan memperlebar jurang ketidaksetaraan. Potensi media sosial dan K-Pop sebagai senjata politik juga cukup menarik perhatian, apalagi ada negara yang menjadi rumah untuk kedua industri ini (Amerika Serikat dan Korea Selatan).

 

Referensi

Falah, A. I. 2022. Prevalensi Penggunaan Media Sosial dan Monopolinya oleh segelintir Platform. https://digitalbisa.id/artikel/prevalensi-penggunaan-media-sosial-dan-monopolinya-oleh-segelintir-platform-Owpuw.

Stassen, M. 2023. As Hybe Eyes A$900M Stake in K-Pop Rival SM Entertainment Slams BTS Company's 'Hostile takeover Attempt. https://www.musicbusinessworldwide.com/as-hybe-eyes-a-900m-stake-in-k-pop-rival-sm-entertainment-slams-bts-companys-hostile-takeover-attempt/.

Gomes, L. 1987. Foreign trade and The National Economy (Mercantilism and Classical Perspectives). 1st ed. Basingstoke and London: The MacMillan Press LTD. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun