Minggu, 11 Mei 2025, tepat pada pukul 16.00 WIT, saya dan 20 orang lainnya yang tergabung dalam sebuah UKM pecinta alam memulai perjalanan kami dari basecamp di desa Waai, Maluku Tengah untuk menuju puncak Gunung Salahutu, satu dari tiga gunung tertinggi yang berada di pulau Ambon, Maluku. Kala itu, perasaan saya tentu campur aduk, antara kagum dan senang yang berkelindan dengan takut dan khawatir. Di satu sisi, saya kagum dan senang melihat megahnya Salahutu yang kala itu puncaknya tertutup kabut, namun di sisi lain juga takut dan khawatir, terutama ketakutan akan kekuatan fisik saya di usia 30an ini.
Lebih dari itu, saya menyimpan satu kekhawatiran dalam sebuah tanda tanya besar, “apakah gunung megah tersebut masih asri? Atau malah semakin kotor akibat kurangnya kesadaran pendaki dan acuhnya pengelola wisata trekking tersebut?” Tanda tanya itu terpikul beban di pundak saya, menjadi beban tambahan di samping ransel yang saya bawa sepanjang perjalanan. Ketakutan saya tersebut agaknya beralasan, sebab beberapa kali terdengar berita, baik lisan maupun tulisan yang menceritakan mirisnya nasib Salahutu kini. Meski dianggap sebagai gunung yang sakral bagi beberapa desa di wilayah kaki gunung, kesakralan itu agaknya ternodai dengan banyaknya sampah yang dihasilkan oleh para pendaki.
Dan benar saja, baru menginjakkan kaki di pos 1 jalur pendakian, saya sudah menjumpai tumpukan sampah plastik yang dibuang sembarangan, entah oleh para pendaki, wisatawan, maupun warga lokal yang beraktivitas di sekitaran kaki gunung Salahutu. Gelas plastik, kemasan makanan instan, puntung rokok, bahkan sepatu maupun sandal yang rusak dibuang begitu saja di tepi jalur pendakian. Miris, mengingat fakta bahwa Gunung Salahutu dan kedua gunung lainnya (Simalopu dan Salamoni) telah menjadi ikon pariwisata pulau Ambon saat ini.
Semakin mendekati puncak, bukan hanya kaki dan punggung saya yang kelelahan, namun juga pikiran dan perasaan yang semakin menyimpan amarah dan kekesalan atas banyaknya sampah. Dalam kegetiran sepanjang perjalanan, saya dikagetkan dengan statement teman mendaki saya yang berkata “percuma sampah ini dibersihkan. Membersihkan sampah di sini (Salahutu) sama saja dengan menadah air dari atap yang bocor”. Maksudnya adalah, percuma mengatasi masalah sampah dengan aksi bakti lingkungan sebab hal tersebut tidak bisa menjadi solusi jangka panjang. Hal ini berarti, bukan sampah yang menjadi masalah, namun para pembawa sampah-lah yang menjadi masalah.
Ya, benar. Sampah bukanlah sebuah masalah jika para pendaki, wisatawan serta warga lokal memahami dampak dari sampah tersebut. Dalam hal ini, edukasi tentang cara menanggulangi sampah yang baik, lewat integrase antara pengampu kebijakan, pengelola areal wisata, pemerhati lingkungan, pencinta alam, bahkan wisatawan dan para pendaki menjadi sebuah aspek fundamental yang semestinya sudah harus ada, berjalan beriringan dengan pengembangan destinasi wisata alam tersebut. Sayangnya, justru hal sebaliknya yang saya saksikan; pengelola yang tidak dibekali pengetahuan dan regulasi dalam mengelola pariwisata secara berkelanjutan, pengampu kebijakan yang acuh, serta para pendaki, wisatawan serta warga yang belum punya kesadaran bersama terkait kebersihan dan kelestarian alam.
Dampaknya jelas, Salahutu kehilangan kemegahannya, yang semakin hari semakin diselimuti kejorokan sampah, kejorokan perilaku manusia yang secara peyoratif menodai kemegahan dan kesakralan Salahutu. Dari sini, pertanyaan “siapa yang harus bertanggungjawab?” sudah tidak relevan lagi, sebab yang seharusnya kita tanyakan ialah “harus menunggu dampak apa lagi sehingga kita semua bisa sadar dan merubah cara berpikir dan berlaku atas kerusakan yang kita semua perbuat?”
Dari ketinggian 1038 MDPL puncak Salahutu, saya kemudian merenung, mungkin akan tiba saatnya Salahutu akan menegur kita semua, sebab kemegahannya kian hilang, berganti pesona baru yang manusia sandingkan dengan namanya, Salahutu yang penuh sampah. Sampai kapan?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI