Sederet pembicara yang tangguh seperti Jokowi, Risma, Yudi Latif, dan Sri Sultan Jogja sendiri tidak mampu untuk membendung kekecewaan praktisi budayawan muda pada umumnya, dan budayawan Jogja pada khususnya terhadap Kongres Kebudayaan Indonesia 2013, ang berlangsung di Hotel Ambarukmo Yogyakarta, 8-11 Oktober 2013 kemarin. Apa sebabnya? Â Berita jpnn.com yang dibenarkan pihak Kemendikbud Kacung Maridjan menyatakan sebagai berikut:
Direktur Jenderal (Dirjen) Kebudayaan Kacung Marijan membenarkan ada aksi protes tersebut. Penyebab aksi protes itu beragam. Mulai dari tudingan jika kongres ini tidak mengundang budayawan Jogjakarta. Selain itu muatan dari kongres ini juga disebut asal-asalan oleh sejumlah budayawan setempat. (Sumber)
Tudingan kongres abal-abal ini tentunya sangat mengusik hati para pemerhati dan pegiat sosial budaya. Â Pemimpin Art Music Today , sebuah komunitas grass root kebudayaan anak muda yang cukup berpengaruh di Jogja, di Facebook statusnya cukup tajam menyindir keberadaan kongres ini sebagai berikut: [caption id="attachment_272051" align="aligncenter" width="505" caption="Dokumentasi Pribadi"]
Education remains the most corrupt sector in the country. Indonesia Corruption Watch found that in 2011, the education sector contributed the most cases of graft. Of 436 cases handled by law enforcers, 12.4 percent, or 54 cases, were associated with corruption in the education sector. (Sumber)
Fakta yang menyedihkan kita semua.  Mulai dari UN, Kurikulum 2013, dan fakta pendidikan  penyumbang korupsi terbesar, tidak berlebihan kalau kita bisa mengatakan bahwa bangsa ini salah arah, harus segera di kembalikan ke jalan yang benar.  Kongres Kebudayaan harusnya memberikan rekomendasi solusi untuk hal ini, bukan menambah kekecewaan hati. 2) Rumusan lengkap kongres ini dapat di lihat di JogjaPages (link).  Dan rekomendasi yang ke-5 mengatakan sebagai berikut:
Menyiapkan generasi muda yang mampu menjadikan sumber daya kebudayaan untuk pembentukan keindonesiaan yang bermartabat dan mengembangkan sumberdaya kebudayaan secara berkelanjutan
Rumusan dan rekomendasi yang membuat sakit hati karena dibuat tanpa melibatkan budayawan-budayawan muda dan juga para pemikir muda yang lain. Â Semakin memperlihatkan adanya jurang antara birokrat dan masyarakat. Perlu ditekankan bahwa keterlibatan masyarakat dalam pembangunan bangsa adalah suatu keharusan dalam demokrasi yang berhasil. Â Begitu banyak program dan event pemerintah yang masih bersifat "ngeksis" artinya tidak menyentuh akar rumput. Â Dibutuhkan #PeopleRevolution yang membawa kepada Rennaisance Indonesia atau kelahiran baru budaya Indonesia sehingga integrasi antara birokrasi dan rakyat akan sinergis dan menjadi simbiosis mutualisme. Pendekar Solo