Mohon tunggu...
Hanny Setiawan
Hanny Setiawan Mohon Tunggu... Administrasi - Relawan Indonesia Baru

Twitter: @hannysetiawan Gerakan #hidupbenar, SMI (Sekolah Musik Indonesia) http://www.hannysetiawan.com Think Right. Speak Right. Act Right.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kongres Kebudayaan, Kongres Abal-abal

14 Oktober 2013   13:46 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:33 553
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sederet pembicara yang tangguh seperti Jokowi, Risma, Yudi Latif, dan Sri Sultan Jogja sendiri tidak mampu untuk membendung kekecewaan praktisi budayawan muda pada umumnya, dan budayawan Jogja pada khususnya terhadap Kongres Kebudayaan Indonesia 2013, ang berlangsung di Hotel Ambarukmo Yogyakarta, 8-11 Oktober 2013 kemarin. Apa sebabnya?  Berita jpnn.com yang dibenarkan pihak Kemendikbud Kacung Maridjan menyatakan sebagai berikut:

Direktur Jenderal (Dirjen) Kebudayaan Kacung Marijan membenarkan ada aksi protes tersebut. Penyebab aksi protes itu beragam. Mulai dari tudingan jika kongres ini tidak mengundang budayawan Jogjakarta. Selain itu muatan dari kongres ini juga disebut asal-asalan oleh sejumlah budayawan setempat. (Sumber)

Tudingan kongres abal-abal ini tentunya sangat mengusik hati para pemerhati dan pegiat sosial budaya.   Pemimpin Art Music Today , sebuah komunitas grass root kebudayaan anak muda yang cukup berpengaruh di Jogja, di Facebook statusnya cukup tajam menyindir keberadaan kongres ini sebagai berikut: [caption id="attachment_272051" align="aligncenter" width="505" caption="Dokumentasi Pribadi"]

1381729763792865044
1381729763792865044
[/caption] Budayawan tidak mencari eksistensi, tapi budayawan mampu mempengaruhi! Kira-kira itu kesimpulan teriakan para budayawan muda.  Guru besar sastra Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) di kutip koran Tempo juga menyatakan keheranannya,"Wah gawat yang orang Yogya saja tidak tahu" (Sumber). Solo Research Network juga menyatakan keherananny melalui salah satu tweetnya: [caption id="attachment_272061" align="aligncenter" width="515" caption="Dokumen Pribadi"]
13817327211361519180
13817327211361519180
[/caption] Tidak terkoneksinya grass root dan birokrat semakin nampak dari kasus ini. Kisah ini kongres ini serupa dengan yang terjadi di scope lebih kecil yaitu Solo City Jazz event.  Sebagai pemerhati jazz, dan pendidikan musik asal kota Solo, saya tahu persis bahwa pegiat jazz solo yang paling konsisten adalah Solo Jazz Society, tapi justru mereka tidak dilibatkan dalam event kota itu.   Apakah itu yang terjadi dengan SIEM (Solo International Ethnic Music) dan SIPA (Solo International Performing Art) juga? Semua serba birokrasi tanpa campur tangan pegiat yang asli?  Tampaknya seperti itu itu karene event-event itu pun meredup biarpun di gelontori investasi. Kembali ke Kongres Kebudayaan yang akhirnya merekomendasikan lima rekomendasi yang di tweetkan Nuh selaku nahkoda Kemendikbud sebagai berikut: [caption id="attachment_272056" align="aligncenter" width="516" caption="Dokumentasi Pribadi"]
13817309091118440258
13817309091118440258
[/caption] Rekomendasi yang sangat absurd dan jauh dari kenyataan.   Ada dua hal yang memperkuat tudingan ketidakjelasan kongres milyaran rupiah ini. 1) Tidak adanya rekomendasi dan solusi mengenai pemberantasan BUDAYA KORUPSI memperlihatkan bahwa kongres ini jauh dari realitas.  Kementerian pendidikan dan kebudayaan bukanlah departemen sejarah yang hanya berandai-andai dan membayangkan budaya nusantara masa lalu.  Justru PR besarnya adalah menjawab kebutuhan masa kini dan masa datang dalam hal membangun Manusia Indonesia yang sesuai harapan.  Anies Baswedan di Wall Street Journal menuliskan bahwa Pendidikan adalah Sektor yang paling korup dan menyumbangkan 12,4% dari total korupsi.
Education remains the most corrupt sector in the country. Indonesia Corruption Watch found that in 2011, the education sector contributed the most cases of graft. Of 436 cases handled by law enforcers, 12.4 percent, or 54 cases, were associated with corruption in the education sector. (Sumber)

Fakta yang menyedihkan kita semua.   Mulai dari UN, Kurikulum 2013, dan fakta pendidikan  penyumbang korupsi terbesar, tidak berlebihan kalau kita bisa mengatakan bahwa bangsa ini salah arah, harus segera di kembalikan ke jalan yang benar.  Kongres Kebudayaan harusnya memberikan rekomendasi solusi untuk hal ini, bukan menambah kekecewaan hati. 2) Rumusan lengkap kongres ini dapat di lihat di JogjaPages (link).  Dan rekomendasi yang ke-5 mengatakan sebagai berikut:

Menyiapkan generasi muda yang mampu menjadikan sumber daya kebudayaan untuk pembentukan keindonesiaan yang bermartabat dan mengembangkan sumberdaya kebudayaan secara berkelanjutan

Rumusan dan rekomendasi yang membuat sakit hati karena dibuat tanpa melibatkan budayawan-budayawan muda dan juga para pemikir muda yang lain.   Semakin memperlihatkan adanya jurang antara birokrat dan masyarakat. Perlu ditekankan bahwa keterlibatan masyarakat dalam pembangunan bangsa adalah suatu keharusan dalam demokrasi yang berhasil.  Begitu banyak program dan event pemerintah yang masih bersifat "ngeksis" artinya tidak menyentuh akar rumput.   Dibutuhkan #PeopleRevolution yang membawa kepada Rennaisance Indonesia atau kelahiran baru budaya Indonesia sehingga integrasi antara birokrasi dan rakyat akan sinergis dan menjadi simbiosis mutualisme. Pendekar Solo

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun