Mengkritisi peran media dalam peliputan aksi demonstrasi di Maluku. Fokus utama adalah pada bagaimana pemberitaan yang dianggap provokatif dan penggunaan frasa ambigu seperti "dugaan" dapat berdampak negatif pada dinamika sosial dan integritas gerakan masyarakat sipil, sekalipun media dilindungi oleh undang-undang kemerdekaan pers.
Pers Merdeka atau Pers Provokator? Noda 'Dugaan' dalam Demo Maluku.
Media massa seringkali dielu-elukan sebagai pilar keempat demokrasi, sebuah entitas yang memiliki kekuatan untuk mengawasi kekuasaan dan menjadi suara bagi yang tak bersuara. Namun, peran mulia ini berada di ujung tanduk ketika kemerdekaan yang diperjuangkan justru berisiko disalahartikan menjadi lisensi untuk provokasi.
Peristiwa yang mengiringi aksi demonstrasi di Maluku menjadi sebuah studi kasus yang gamblang, memperlihatkan bagaimana media dapat goyah dari perannya sebagai pencerah menjadi pemicu keruh. Fenomena ini seakan menjadi pembenaran bagi adagium usang dalam jurnalisme: "bad news is good news".Gema "Bad News is Good News" dalam Peliputan AksiDalam industri media yang kompetitif, berita buruk, konflik, dan kerusuhan seringkali dianggap memiliki nilai berita yang lebih tinggi.
Prinsip "bad news is good news" mengajarkan bahwa konten negatif lebih mampu menarik perhatian publik, menaikkan rating, dan pada akhirnya, mendatangkan keuntungan. Akibatnya, aksi-aksi yang rusuh dan anarkis mendapatkan sorotan utama, sementara esensi dan tuntutan damai dari sebuah gerakan seringkali terpinggirkan. Media seakan sengaja menyaring dan menonjolkan potensi kekacauan, menciptakan narasi bahwa demonstrasi identik dengan anarkisme. Ini adalah sebuah simplifikasi berbahaya yang mengabaikan konteks dan tujuan utama dari aspirasi yang disuarakan.
Distorsi Narasi: Ketika Himbauan Damai Dibingkai untuk Meredam
Kecenderungan provokatif ini terlihat jelas dua hari sebelum aksi bersama di Maluku. Sebuah pertemuan penting diadakan antara para aktivis dari berbagai Organisasi Kemasyarakatan dan Pemuda (OKP) dengan pihak pemerintah. Agenda pertemuan tersebut sejatinya adalah untuk mendengarkan himbauan dari pemerintah agar aksi yang direncanakan dapat berjalan dengan damai dan tertib. Namun, bingkai berita yang disajikan oleh media justru melenceng jauh. Pertemuan tersebut dinarasikan sebagai upaya para aktivis yang diundang untuk "meredam" aksi.Framing ini bukan hanya tidak akurat, tetapi juga sangat destruktif. Secara subtil, ia menanamkan benih kecurigaan di antara massa aksi, menciptakan citra bahwa ada sebagian aktivis yang telah "masuk angin" atau berkompromi dengan kekuasaan. Niat baik untuk berkoordinasi demi aksi yang kondusif seketika tercemar oleh narasi yang menggiring opini dan berpotensi memecah belah solidaritas dari dalam.
Frasa "Dugaan" sebagai Senjata: Membunuh Karakter dan Memecah Massa
Puncak dari jurnalisme yang serampangan ini terjadi pada 2 September 2025, ketika sebuah berita menyebarkan informasi sensitif mengenai "dugaan" beberapa aktivis menerima dana sebesar Rp250.000 untuk meredam rencana demonstrasi. Kata "dugaan" kerap menjadi tameng hukum bagi media untuk melempar isu tanpa memiliki bukti yang kokoh, seolah-olah frasa tersebut dapat membebaskan mereka dari segala konsekuensi.
Namun, di pengadilan opini publik, dampak dari kata "dugaan" bisa lebih mematikan daripada vonis hukum. Ia dapat "membunuh" karakter, meruntuhkan kredibilitas, dan menghancurkan integritas seseorang atau sebuah gerakan tanpa proses pembuktian. Apa yang terjadi di Maluku membuktikan betapa efektifnya "senjata" ini. Berita tersebut berhasil menyulut api konflik internal di antara massa aksi, menciptakan perpecahan, dan mengalihkan fokus dari substansi tuntutan utama mereka. Misi untuk memecah belah massa aksi, yang mungkin tidak disadari sepenuhnya oleh jurnalis yang menulisnya, terbukti berhasil.
Ilusi Hak Jawab di Balik Kemerdekaan Pers yang Absolut
Para pembela media mungkin akan menunjuk pada Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang menjamin kemerdekaan pers serta menyediakan mekanisme Hak Jawab dan Hak Koreksi bagi pihak yang merasa dirugikan. Namun, kita perlu bersikap kritis terhadap efektivitas mekanisme ini. UU Pers, khususnya pada Pasal 5, juga mengamanatkan bahwa pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.
Persoalannya, Hak Jawab seringkali menjadi solusi yang terlambat dan tidak sepadan.
 Mampukah sebuah klarifikasi di kolom kecil koran atau beberapa detik di siaran berita memulihkan nama baik yang telah hancur lebur di media sosial dan percakapan publik? Mampukah ia merekatkan kembali kohesi sosial yang sudah retak? Jawabannya, hampir pasti tidak. Kerusakan yang ditimbulkan oleh berita utama yang sensasional dan viral jauh lebih besar dan bertahan lebih lama daripada koreksi yang mengikutinya. Hak Jawab menjadi sebuah ilusi pemulihan, sementara luka akibat pemberitaan yang tidak bertanggung jawab terus membekas.Kasus di Maluku harus menjadi lonceng pengingat bagi seluruh insan pers dan industri media di Indonesia. Kemerdekaan pers adalah sebuah mandat suci reformasi yang harus dijaga dengan penuh tanggung jawab, bukan dieksploitasi untuk rating dan sensasi. Media memiliki tanggung jawab sosial yang melekat untuk mencerdaskan publik, menyajikan informasi yang akurat dan berimbang, serta memperkuat tenun kebangsaan.Ketika media lebih memilih menjadi penyebar provokasi berkedok frasa "dugaan", ia sedang mengkhianati kepercayaan publik. Jika praktik semacam ini terus berlanjut, jangan salahkan masyarakat jika suatu saat mereka tidak lagi memandang pers sebagai pilar demokrasi yang kokoh, melainkan sebagai provokator konflik yang berbahaya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI