Ketika kita melihat Tabola Bale bergema di Istana, kita menyaksikan bukan sekedar pesta musik, melainkan pertarungan makna. Lagu itu adalah ruang negoisasi antara kekuasaan negara yang ingin menghadirkan citra bahagia, masyarakat Timur yang menuntut pengakuan, dan industri digital global yang mengubah ekspresi lokal menjadi keuntungan ekonomi. Dalam pusaran itu, kita belajar bahwa musik dapat menjadi bahasa politik, bukan dengan retorika keras, melainkan lewat tarian, tawa, dan joget bersama.
Tabola Bale adalah bukti bahwa budaya populer tidak pernah netral. Ia bisa menjadi jembatan kebersamaan, bisa pula alat legitimasi. Ia bisa menghadirkan tawa, tetapi juga menyimpan kritik. Dan justru disitulah kekuatannya yaitu mengingatkan bahwa kebahagiaan indonesia tidak boleh berhenti pada simbol di istana, melainkan harus hadir nyata dalam kehidupan rakyat, terutama mereka yang selama ini bersuara dari pinggiran.
Viralnya lagu ini di media sosial juga menunjukkan bagaimana ekspresi lokal bisa menjadi komoditas global. Platform digital mendapat keuntungan dari viralnya lagu ini, namun pencipta lagunya mungkin belum mendapat apresiasi yang sepadan. Seperti pada artikel tersebut bahwa budaya populer tidak pernah netral. Ia bisa jadi jembatan, bisa juga jadi alat legitimasi. Dan disinilah pentingnya kita sebagai bagian dari masyarakat untuk tetap kritis dalam memaknai setiap peristiwa budaya.
Menurut saya, artikel ini sangat menarik dan membuka wawasan tentang bagaimana budaya lokal bisa memiliki dampak besar secara nasional. artikel ini juga membawa pesan sosial dan politik yang dalam. artikel ini juga mengajak kita untuk tidak terlalu cepat puas dengan tampilan luar seperti viralitas atau apresiasi sesaat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI