Mohon tunggu...
Hanik Maria Ulva
Hanik Maria Ulva Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa Komunikasi Penyiaran islam di UIN Sunan Kalijaga. Menulis untuk berbagi sudut pandang dan memperluas wawasan bersama.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Merdeka Atau Sekadar Seremoni?

16 Agustus 2025   21:02 Diperbarui: 21 Agustus 2025   22:31 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Canva/nuhrizqi

Setiap tahun, tanggal 17 Agustus selalu dipenuhi dengan gegap gempita. Bendera merah putih dikibarkan, lagu kebangsaan dikumandangkan, lomba-lomba digelar di kampung-kampung, dan pidato berisi kata-kata manis dibacakan oleh para pejabat. Semua itu seolah menjadi penanda bahwa bangsa ini telah merdeka, bahwa kita hidup dalam kebebasan yang telah diperjuangkan dengan darah dan nyawa para pahlawan. Namun, pertanyaannya: apakah benar kita sudah merdeka? Ataukah kita sedang merayakan sesuatu yang sebenarnya tidak pernah ada?

Kemerdekaan hari ini seringkali hanya menjadi seremoni. Sebuah ritual tahunan yang penuh simbol, tapi miskin makna. Bendera dikibarkan, tetapi hati rakyat masih terpasung. Lagu kebangsaan dinyanyikan, namun jeritan rakyat kecil tenggelam dalam hiruk pikuk politik murahan. Pidato penuh janji dilantangkan, tetapi kesejahteraan yang dijanjikan tak pernah benar-benar menyentuh kehidupan nyata.

Kita tidak lagi dijajah oleh bangsa asing dengan bedil dan meriam. Tapi kita dijajah oleh sistem ekonomi yang mencekik, oleh pajak yang tak pernah berhenti menagih, oleh utang yang diwariskan lintas generasi. Kita dijajah oleh uang digital yang mengikat manusia dalam pusaran transaksi tanpa henti, membuat kita seolah-olah sibuk, produktif, bahkan "modern," padahal sesungguhnya kita hanya semakin dalam terjerat. Kita bekerja mati-matian setiap hari, namun tetap saja tidak pernah bebas. Upah yang diterima hanya cukup untuk bertahan hidup, sementara harga kebutuhan terus melambung.

Di sisi lain, kebenaran disembunyikan lewat panggung politik yang murahan. Rakyat disuguhi drama-drama kekuasaan yang penuh sandiwara, sementara kebijakan yang lahir lebih sering berpihak pada kepentingan segelintir elit. Suara rakyat, yang seharusnya menjadi penentu arah bangsa, justru dikecilkan, dipatahkan, atau bahkan dibungkam. Kita dipaksa untuk bangga pada kemerdekaan, padahal yang kita miliki hanyalah penjara tak kasat mata.

Inilah ironi terbesar dari bangsa yang konon "merdeka." Kita diajak untuk merayakan kemenangan yang tak pernah benar-benar kita menangkan. Kita disuruh merasa bebas di dalam sistem yang terus mengikat kita dengan aturan-aturan yang menjerat, dengan ekonomi yang memiskinkan, dengan politik yang menipu.

Maka, jangan heran bila banyak orang mulai mempertanyakan: kemerdekaan seperti apa yang sebenarnya kita rayakan? Jika merdeka berarti bebas menentukan arah hidup, bebas dari penindasan, dan bebas dari ketakutan, maka jelas kita belum merdeka. Kita masih diperbudak, hanya saja kali ini bukan oleh kolonial asing, melainkan oleh sistem yang lebih licin, lebih modern, dan lebih sulit dilawan.

Selama rakyat masih kesulitan untuk hidup layak, selama keadilan hanya milik mereka yang punya kuasa, dan selama suara hati nurani terus dibungkam oleh kepentingan, maka merdeka hanyalah kata kosong. Ia hanya simbol yang diperingati setahun sekali, bukan kenyataan yang bisa dirasakan sehari-hari.

Kita boleh saja mengibarkan bendera, menyanyikan lagu, dan merayakan seremoni. Tapi jangan pernah lupa: merdeka bukan soal simbol, melainkan soal hidup yang benar-benar bebas, adil, dan sejahtera. Selama hal itu belum terwujud, maka sesungguhnya kita hanya sedang merayakan sesuatu yang tak pernah ada.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun