Mohon tunggu...
Hanifati Alifa
Hanifati Alifa Mohon Tunggu... Wiraswasta - Ibu rumah tangga

Gemar menulis | mengutarakan isi hati dan pikiran mengenai isu kekinian

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Tingginya Biaya Pendidikan dan UKT, Kita Bisa Apa?

11 Februari 2024   21:33 Diperbarui: 11 Februari 2024   21:41 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Biaya kuliah atau UKT yang menjadi tema hangat lantaran dibayar dengan sistem pinjaman membawa saya pada memori di masa perkuliahan. Sudah cukup lama, kurang lebih 10 tahun yang lalu. Kala itu, saya adalah anggota lembaga pers mahasiswa. Namun sudah ada kegiatan untuk meliput mengenai seminar-diskusi tentang UKT di kampus kami, sebuah PTN di Kota Malang. 

Ada hal menarik saat itu, saat mendengarkan cerita yang disampaikan oleh si pemateri di akhir sesi seminar. Ia mengatakan ada sebuah penelitian terkait pendidikan di Amerika (kalau tidak salah). Penelitian ini dilakukan di sebuah sekolah yang paling baik (fasilitas lengkap) dan sekolah yang paling buruk (fasilitas tidak lengkap). Dari sini, manakah siswa-(dari kedua sekolah tadi) yang  memiliki motivasi lebih tinggi untuk prestasi? Jawabannya adalah tidak pengaruh. Prestasi tergantung pada motivasi, tidak ada hubungannya dengan fasilitas. 

Mari kita coba berpikir. Kita membayar mahal di kampus tempat kita menimba ilmu, mengenyam pendidikan tinggi untuk meraih gelar sarjana, berharap memperoleh pekerjaan dan atau bahkan mungkin diharapkan dapat menciptakan pekerjaan. Sang pemateri berupaya mengajak peserta diskusi dan merenungi keadaan saat itu. Mencoba mempertanyakan apakah dari biaya yang telah kita investasikan atau kita ibaratkan uang yang telah kita tanamkan untuk menuai buah kesuksesan atas studi kita.

Pada saat itu ada sekilas ulasan biaya UKT di salah satu fakultas.

Pada 2013 uang SPP FIB paling mahal adalah:  Rp 4.680.000 X 8  semester = Rp 38.880.000

Pada 2010 uang SPP FIB paling mahal adalah Rp 3.338.750 X 8 semester = Rp 26.710.000

Beda 12 juta 170 ribu.  Dengan demikian melalui sistem UKT (juga ada golongannya), kita tidak akan lagi membayar biaya-biaya untuk ujian, KKN, wisuda, yudisium dsb yang terkait akademik dan operasional. Setiap jurusan memang berbiaya sama di Indonesia, bahkan ada peraturan menterinya, hanya saja di beberapa bagian dikelola oleh universitas dengan pertimbangan yang diambil seperti indeks kewilayahan dan kondisi-kondisi lain. Seringnya kasus kesalahpahaman adalah masih saja ketidaksesuaian fakta dan data terhadap penerima biaya. Ada yang merasa kemahalan, atau malah sebaliknya. Kesalahan bisa saja terjadi pada mahasiswa yang tidak mencantumkan data keuangan sesuai fakta. Sulitnya membedakan penghasilan.

PTN kami saat itu memperoleh peringkat di Web rank  di posisi 7, Webometrics di posisi 6 dan Dikti di posisi 5. Tentu dalam pemeringkatan ini ada indikator penilaian yang harus ditaati. Seperti misalnya, ada paten varietas, publikasi ilmiah, model pembelajaran, penelitian, pengembangan fisik dan non fisik dsb. Tentunya kehebatan ini juga tidak boleh lepas dari cita-cita Tri Dharma Perguruan tinggi; Pengajaran, Penelitian,Pengabdian.

Satu hal yang terpenting juga dalam pembelajaran adalah rasio jumlah mahasiswa dengan jumlah dosen yang seharusnya setara.  
Setiap tahun, jumlah mahasiswa semakin besar, ibarat kapal keruk dia mengeruk harta karun begitu banyak, yaitu maba (mahasiswa baru). Kurang lebih seperti ini:

Dari 2007-2011 ada 15 ribu mahasiswa namun 12 ribu yang mendaftar ulang.

2008-2009 naik 4.000 per tahun

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun