Mohon tunggu...
hanif sofyan jr
hanif sofyan jr Mohon Tunggu... pegiat literasi

penyuka fotografi dan menulis Lomba Blog Pekan Film Indonesia Lomba Blog Competition Pendidikan Bermutu untuk Semua chapter #2

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Demam MengEMASkan Indonesia Merebak, Obrolan di Kursi Tukang Cukur

16 Oktober 2025   20:22 Diperbarui: 17 Oktober 2025   06:50 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
obrolan di tukang cukur-koleksi julia treter

Apa yang biasanya diobrolin orang saat cukur bisa random banget. Dari curhatan pribadi, urusan kompleks, sekolah anak, mancing, pesawat ulang alik, copet, pornografi, sampai urusan politik demo senayan dan anggota dewan yang asal jeplak. 

Saya juga kalau lagi cukur, walaupun awalnya diam, tapi seringkali kepancing sama si tukang cukur. Mungkin karena "kesepian" pas ada pelanggan, kesempatan nih jadi ajang teman ngobrol.

Di pojok barbershop kecil di pinggir jalan, aroma sabun cukur bercampur dengan alunan suara radio yang memutar lagu lawas Ebiet G. Ade. Di ruang tunggu berupa bangku panjang, saya duduk menunggu giliran, sambil memperhatikan obrolan dua orang yang baru saja masuk, Pak RT dan si tukang cukur langganan saya, Bang Jaya. 

Biasalah, apa lagi yang menarik jadi topik orang-orang apalagi saat tengah bulan begini, jika tidak kasak kusuk soal duit.

"Bang, sekarang cari uang kayak nyari rambut di kepala saya---sedikit-sedikit rontok," kelakar Pak RT membuka obrolan dengan tawa.

"Iya, RT. Orang kaya saya kerja udah rajin, tapi harga minyak, beras, sama sekolah anak naik terus. Kadang mikir, mending punya tabungan emas aja ya dari dulu, kayak di Pegadaian itu." timpal Bang Jaya, entah kenapa tiba-tiba bahas emas.

Saya yang mendengar dari kursi tunggu ikut tersenyum, obrolan yang menarik pikir saya. Obrolan di tukang cukur ini seperti cerminan jujur keadaan masyarakat sekarang, meski nyari duit seret tapi semangat tetap menyala.

Saya baru kepikiran, bener juga di tengah situasi begini, nama Pegadaian memang munculnya paling tepat. Biasanya sih cuma sebagai tempat "gadai pas kepepet", tapi Bang Jaya tumben sekali bisa ngomong soal Pegadaian tabungan emas?

Emas yang Tidak Sekadar Berkilau

Sejak jaman emak babe saya, orang ingat Pegadaian kalau lagi butuh uang cepat. Tapi sekarang, citra itu pelan-pelan berubah. Banyak yang mulai paham kalau Pegadaian bukan cuma "penolong saat darurat", tapi juga tempat menabung dan berinvestasi dengan cara paling sederhana tapi paling menarik, lewat emas.

Bang Jaya rupanya sudah lebih dulu mempraktikkan hal itu. "Saya tiap bulan nyisihin dua puluh ribu aja buat Tabungan Emas Pegadaian. Dulu mikir, dua puluh ribu itu cuma bisa buat rokok. Eh, sekarang udah lumayan berat di saldo emasnya," ujarnya sambil tersenyum bangga.

"Emas?" tanya pak RT lagi. "Berarti saya ketinggalan ya Bang?" jawaban Bang Jaya malah tawa terkekeh.

"Ngurus rakyat itu kewajiban, tapi ngurus ketahanan dompet itu keharusan Pak RT,"goda Bang Jaya.

Benar juga menurutku, di masa paceklik ketika nilai uang terasa makin kecil, emas tetap punya pesona tak tergoyahkan. Ibarat kata dalam lumpur pun jika emas, akan tetap berkilau. 

Mau sesusah apa negara, emas tidak bisa dicetak ulang seenaknya, tidak tergantung politik, dan selalu punya nilai di mata dunia. Dan yang paling menarik, Pegadaian membuka pintu selebar-lebarnya untuk siapa saja yang ingin memiliki emas tanpa harus kaya duluan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun