Mohon tunggu...
walkingbook
walkingbook Mohon Tunggu... Full Time Blogger - booklover

penulis the dark years-hans

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Praktek Klientelisme dan Alasan Mengapa Orang Mau "Jual Suara" Dalam Pemilu

9 Desember 2023   09:56 Diperbarui: 9 Desember 2023   16:36 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pemilih dalam sebuah pemilu beserta surat suara sumber gambar kompas.id

Ada yang menarik dari hasil jajak pendapat yang dilakukan oleh Litbang Kompas pada awal tahun 2023. Jajak pendapat itu  menemukan fakta bahwa 36,5 persen dari 506 orang responden secara nasional yang dijadikan rujukan mengaku pernah menerima uang atau melihat orang lain menerima uang dari para konstituen peserta pemilihan umum. Berarti 3 dari setiap 10 orang Indonesia yang pernah ikut pemilu, pernah terlibat dalam transaksi politik uang.

Rasanya praktik politik uang atau klientelisme memang masih menjadi parasit yang menggerogoti kehidupan berpolitik dan berdemokrasi di Indonesia sampai saat ini. Buktinya KPK dalam Bus Roadshownya kemarin juga menyoroti soal ini. Istilah "Serangan Fajar" yang mengacu pada pemberian uang ilegal dari para peserta pemilu kepad para calon pemilih pada pagi hari menjelang waktu pemilihan menjadi sesuatu yang tak bisa hilang.

Caranya ada yang terang-terangan, namun ada yang secara sembunyi-semunyi. Masing-masing calon menggunakan cara rahasia agar tak diketahui calon lain agar tak dianggap curang.

Statistik Angka yang Mengkuatirkan

Munculnya jumlah calon pemilih yang sudah pernah berurusan dengan uang ilegal pemilu itu cukup mengkhawatirkan, apalagi jika tidak ada tindakan atau pelaporan kasus. Apalagi menjelang Pemilu 2024. Sayangnya, pemahaman masyarakat dan para aktor politik terkait persoalan klientelisme di Indonesia masih belum sepenuhnya utuh, sehingga segala upaya pencegahan yang sudah dilakukan, melalui sosialisasi dan kampanye anti politik uang yang umumnya dilakukan oleh Bawaslu, belum benar-benar membuahkan hasil.

Kebanyakan kasus temuan tentang politik uang masih berkutat pada perilaku vote-buying (menawarkan uang untuk membeli suara), sedangkan yang menyasar aspek psikologis yang mendorong perilaku vote-selling (menerima uang untuk menjual suara) masih sangat terbatas.

Padahal kedua aktor tersebut memberi kontribusi yang sama-sama signifikan dalam menciptakan praktik klientelisme. Politik uang tidak akan mungkin terjadi jika tidak ada masyarakat yang ingin menerima uang, sekali pun ada politikus yang menawarkan. Bukan faktor kesadaran warga calon pemilih saja yang harus digugah, bagaimanapun selama persoalan ekonomi masih jadi masalah, politik uang akan tetap mendapatkan tempatnya dalam masyarakat.

Namun aturan ketat kepada konstituen pemilunya yang harus diperketat, melalui mekanisme pelaporan yang memungkin bisa mengungkap praktek kecurangan yang terjadi. Mungkin disertai dengan reward tertentu yang positif bisa mengungkap praktek buruk politik uang tersebut.

Berbagai faktor lain selain ekonomi diduga juga ikut menjadi pemicu kemunculan serangan fajar saat pemilu berlangsung dalam setiap periode yang ada.  Namun ada hal yang menarik berdasarkan kajian yang dilakukan oleh  dalam bukunya "Kuasa Uang: Politik Uang dalam Pemilu Pasca-Orde Baru", akademisi ilmu politik Burhanuddin Muhtadi, menjelaskan secara gamblang bahwa faktor yang mendukung selalu berjalannya praktek curang serangan fajar tidak selalu berkaitan dengan pendapatan, status sosial ekonomi dan tingkat pendidikan. Bahkan tidak berpengaruh secara signifikan dalam mendorong seseorang untuk terlibat dalam transaksi klientelisme.

Penyebab utamanya justru karena adanya normalisasi yang dilakukan masyarakat terhadap praktik tersebut. Ini membuat mereka jadi permisif. Seperti perilaku yang menjadi kebiasaan yang rutin pada akhirnya bisa menjadi seperti tradisi yang umum dan biasa. Itulah yang terjadi dalam praktik kecurangan politik uang.

Selain itu, masih banyak komunitas masyarakat yang memandang tindakan klientelisme sebagai gestur kebaikan hati, bahkan dikait-kaitkan dengan sedekah dari sisi agama. Sehingga membuat praktik ini sebagai tindakan yang baik dan bentuk kepedulian calon kepada masyarakat yang membutuhkan bantuan. Sehingga yang belum meyakini sepenuhnya tindkan ini sebagai praktik baik atau buruk, menggunakan cara " terima uangnya, buang amplopnya". 

Dengan bentuk tindkan itu, para pengirim amplop serangan fajar justru nantinya akan dikucilkan akrena sudah jelas dianggap sebagai pelaku yang curang. Toh saat mereka memilih bersifat rahasia dan tidak dapat dideteksi.

Namun pernah terjadi hal yang aneh, ketika syarat pemberian aung serangan fajar itu harus disertai bukti bahwa mereka memeilihnya, dengan menyelinapkan gadget merekamnya. Dan demi uang praktik ini sebagiannya berhasil.

pemilih di bilik suara sumber gambar detiknews.com
pemilih di bilik suara sumber gambar detiknews.com

Bermain Dengan Risiko

Studi lain berkaitan dengan perilaku vote-selling yang dilakukan oleh Rizka Halida, seorang pakar psikologi sosial asal Universitas Indonesia, pada tahun 2022 menemukan bahwa jumlah nominal uang yang ditawarkan dapat memengaruhi keputusan vote-seller untuk menerima uang atau tidak. Namun, hal ini hanya berlaku jika vote-seller memiliki inhibitory self-control yang rendah. Inhibitory self-control bisa diartikan sebagai kemampuan untuk menahan hasrat untuk melakukan perilaku-perilaku impulsif yang berisiko, membahayakan atau melanggar aturan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun