Mohon tunggu...
Hanifa Rahmawati Rachman
Hanifa Rahmawati Rachman Mohon Tunggu... Guru - Menulis adalah caraku agar tetap waras.

Maafkan masa lalu. Merdekakan hatimu, biar waras!

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ibu Sekolah Pertamaku: Menjadi Hamba dan Manusia

6 Desember 2020   16:01 Diperbarui: 6 Desember 2020   16:25 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku juga belajar berpuasa secara bertahap. Mulai dari berbuka puasa pukul 10 pagi, 12 siang, jam 2 siang, jam 4 sore sampai bisa bertahan dan berbuka saat magrib. Sungguh, proses belajar agama adalah hal yang luar biasa. Aku belajar sabar, belajar secara bertahap, selangkah demi selangkah sampai aku merasa yakin dan bisa. Dan, mama menemaniku dalam prosesnya. Ia yang menguatkan saat aku mulai lemah. Ia yang mengingatkan saat aku mulai malas. Ia yang memiliki banyak peran agar aku bertahan.

Tahukah kamu?

Setiap kali kami pergi ke kota untuk berbelanja, mamaku akan memberikan uang koin padaku dan memintaku memberikannya pada yang tak mampu. Bahwa, memberi itu adalah kebahagian. Tak harus banyak, berikan dengan iklas, tersenyum, lalu anggukkan kepalamu. Begitu aku belajar ilmu sedekah dari mamaku.

Empati itu tumbuh seiring berjalannya waktu. Sebanyak aku menerima uang koin dan lembaran dari mamaku. Sebanyak pasang mata yang aku pandang dan berikan senyuman. Sebanyak doa yang mereka ucapkan saat kami anggukan kepala dan mengucap amiin atas doanya.

Mama adalah sekolah pertamaku.

Membesarkan lima orang anak tentu tidak mudah. Kami semua bahkan mengenyam bangku kuliah. Sudah bekerja dan beberapa membangun keluarga kecilnya. Mamaku bahkan menyelesaikan strata satunya di usia senja. Bukankah ia sangat hebat?

Aku melihat sosok perempuan yang kuat dalam diri mamaku. Aku bersamanya dari kecil, dari menjual es, menjual makanan ringan ke warung-warung di pasar, membuka kantin di sekolah tempat mamaku menjadi guru, membuka jasa catering untuk acara-acara lomba tingkat kabupaten. Ia juga tetap berorganisasi di lingkungannya bekerja.

Dan aku? Aku belajar bersosialisasi dari apa yang aku lihat. Aku belajar bagaimana berkomunikasi yang baik pada setiap orang yang berbeda. Aku belajar bahwa ingin saja tidak cukup. Bahwa perlu kerja keras dan doa. Bahwa setiap usaha diikuti oleh hasil yang baik. Meski tak baik di mata dunia, setidaknya Allah tahu usahaku. Setidaknya, mentalku tumbuh dengan baik.

"Pelajaran mental itu, tidak ada mata pelajarannya di sekolah." Begitu mama meyakinkanku untuk ikut lomba pidato tingkat kabupaten sebagai perwakilan tempat ngajiku dulu.

Juara dua. Dan itu luar biasa. Mamaku senang. Aku ingat ia berlari, menangis dan memelukku setelah aku turun dari podium pidato. Pendidikan itu penting dan proses untuk meraihnya lebih penting. Itu yang selalu aku ingat. Pun sekarang, apapun yang aku lakukan, mampu melalui prosesnya adalah hal yang berharga.

Bagaimana jika aku atau adikku melakukan kesalahan? Mama akan marah. Sama seperti uang jajan sewaktu SD, jika mamaku tahu uang jajan dibelikan untuk Komik Petruk Gareng dan bukan makanan, maka, keesokan harinya tidak ada lagi uang jajan sampai tiga hari berturut-turut. Dan jika aku mendapat peringkat satu di kelas, mama akan membawaku ke rumah makan dan kami akan makan dengan nasi berlauk daging gepuk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun