Mohon tunggu...
Hanifa Rahmawati Rachman
Hanifa Rahmawati Rachman Mohon Tunggu... Guru - Menulis adalah caraku agar tetap waras.

Maafkan masa lalu. Merdekakan hatimu, biar waras!

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ibu Sekolah Pertamaku: Menjadi Hamba dan Manusia

6 Desember 2020   16:01 Diperbarui: 6 Desember 2020   16:25 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

PRAK.

"Simpen di bawah biar gak pecah. Nih, kayak gini!"

Pelajaran pertama dari ilmu mencuci piring adalah selalu menyimpan semua piring dan gelas di bawah. Bahkan, jika aku akan menggosoknya dengan sabun colek, ia tetap memintaku tak mengangkatnya. Kombinasi sabun colek yang kuremas di dalam plastik hitam bekas kantong membeli bawang merah ditambah air adalah LI-CIN.

Ia adalah mama, begitu aku memanggil ibuku. Seorang perempuan kuat yang melahirkanku. Ia adalah guru pertamaku dan rumah adalah sekolah pertamaku. Ini bukan tentang keahlian membaca dan menghitung. Aku justru mendapatkan kemampuan itu di sekolah dasar bersama guruku di kelas. Ada ilmu praktik yang aku dapatkan dari mamaku.

Setiap kali mamaku memberi perintah dan petunjuk, aku jadi kesal. Jadi tak mau menuntaskan pekerjaanku. Apakah kalian pernah merasakannya?

PRAK.

"Cuuu!!"

Entah berapa kali aku memecahkan piring, mangkuk dan gelas selama proses belajar itu berlangsung. Sekarang? Kadang aku masih memecahkannya. Mamaku? Masih mengatakan hal yang sama. Kamu tahu mengapa mama memintaku menaruhnya di bawah? Karena bahaya. Pelajaran mencuci piring aku terima sejak sekolah dasar, saat telapak tanganku bahkan tak lebih besar dari piring yang akan aku cuci. Jangan sekali-kali mengangkatnya. Apalagi jika tanganmu kecil.

"Piring bisa dibeli. Kalau tangan yang terluka, gimana?"

Mamaku bukan seseorang yang pandai berkata manis. Kami juga bukan keluarga yang terbiasa mengekspresikan rasa cinta. Tetapi kini, setiap kali mengingat hardikannya, hatiku menghangat. Argh, kenapa dulu aku merasa kesal jika diajarinya? Maafkan aku, Ma.

Persoalan mencuci piring ini tidak biasa. Meski kesal, setiap harinya aku belajar untuk lebih berhati-hati. Melakukannya dengan tergesa bukan pilihan baik. Aku belajar meminimalisir timbulnya bencana, sesuatu yang bahaya. Piring pecah, tangan terluka, mamaku tak menginginkannya pun sebetulnya diriku. Satu hal yang aku tidak sadari dulu, dalam keseharianku, aku mulai menjaga dan merawat dengan baik apa yang menjadi milikku, yang menjadi tanggung jawabku. Aku mulai berpikir sebelum bertindak. Sungguh, perihal mencuci piring ini membuatku tersadar, bahwa aku perlu mencintai diriku sendiri.

Piring bisa dibeli. Kalau tangan yang terluka, gimana?

Kalimat tanya dari mamaku bermakna dalam. Sampai sekarang, aku masih dibantu olehnya untuk mencintai diriku sendiri. Ia peran utama dalam hidupku. Yang membuatku hidup, bertahan hidup.

Ya, banyak hal yang aku pelajari sejak kecil. Ilmu-ilmu itu aku gunakan hingga sekarang. Kapan kalian belajar mencuci pakaian? Setelah lulus sekolah menengah atas? Waaah! Jika iya, aku ingin menceritakan kisahku dengan bangga.

Aku belajar mencuci pakaian sejak kelas satu sekolah dasar. Mama membuat perjanjian denganku, sepatu dan pakaian dalam adalah kewajibanku. Dan pakaian-pakaian yang cukup besar ukurannya bukan tanggung jawabku. Setiap hari minggu, aku akan dengan senang hati memulai hari dengan mencuci sepatu.

Kamu tahu? Mamaku bilang, cuci dari bagian atas, sikat dari yang paling depan, tempat di mana jari-jari kaki kita bersembunyi. Lalu berlanjut ke samping kiri dan kanan sepatu. Terakhir bagian telapak kaki alias bagian paling belakang sepatu. 

Begitu  urutan mencuci sepatu. Untuk pakaian dalam, aku melihat bagaimana mama mencucinya, lalu aku lakukan hal yang sama saat mencuci. Pastikan pakaian dalam keadaan terbalik adalah ilmu dasar sebelum pakaian kotor disimpan ke tempat cuci. Entah kelas berapa SD, tetapi, aku juga mulai mencuci seragam. Ingat! mulai dari kerah baju. Itu pelajaran penting dari ilmu mencuci baju.

Mencuci sesuai urutan dan menjaga komitmen untuk mencuci sepatu setiap minggu itu tidak mudah. Aku mencuci pakaian dalamku setiap minggu. Tetapi sepatu? Aku bahkan bisa tak mencucinya selama tiga minggu berturut-turut. Apakah mama lantas mencucinya untukku? Tidak. Sama sekali tidak. Jika sepatunya kotor, aku yang akan merasa tak nyaman saat pergi ke sekolah.

Lalu?

Aku belajar menjaga komitmen. Aku sadar, bahwa menjaga konsistensi dalam keseharian adalah hal yang sulit jika tak dilatih. Jika tidak biasakan. Jika tidak pernah dimulai. Dan aku memulainya berkat mamaku.

Dalam hal belajar, mama nyaris tak pernah mengingatkanku akan belajar. Karena secara sadar dan mandiri aku akan mengerjakan PR-PR ku di kamar, dalam kondisi masih berseragam dan tak mau makan jika belum selesai. Tetapi soal salat, aku diingatkan terus menerus. Bahkan sampai hari ini, hari di mana aku berbagi kisah ini dengan kalian.

Mamaku adalah guru. Ia adalah orang tua tunggal. Saat melaksanakan salat ia adalah imam bagiku. Meskipun bacaan salat dzuhur dan ashar  harusnya pelan, mamaku selalu membacanya dengan suara yang cukup nyaring. Hingga aku yang berdiri di sampingnya, bisa mendengar dengan jelas. Begitu caraku menghapal bacaan salat. Mama juga membawaku ke guru mengaji dan ketika aku pulang, ia akan bertanya dan mendengar ulang bacaan mengajiku.

Aku juga belajar berpuasa secara bertahap. Mulai dari berbuka puasa pukul 10 pagi, 12 siang, jam 2 siang, jam 4 sore sampai bisa bertahan dan berbuka saat magrib. Sungguh, proses belajar agama adalah hal yang luar biasa. Aku belajar sabar, belajar secara bertahap, selangkah demi selangkah sampai aku merasa yakin dan bisa. Dan, mama menemaniku dalam prosesnya. Ia yang menguatkan saat aku mulai lemah. Ia yang mengingatkan saat aku mulai malas. Ia yang memiliki banyak peran agar aku bertahan.

Tahukah kamu?

Setiap kali kami pergi ke kota untuk berbelanja, mamaku akan memberikan uang koin padaku dan memintaku memberikannya pada yang tak mampu. Bahwa, memberi itu adalah kebahagian. Tak harus banyak, berikan dengan iklas, tersenyum, lalu anggukkan kepalamu. Begitu aku belajar ilmu sedekah dari mamaku.

Empati itu tumbuh seiring berjalannya waktu. Sebanyak aku menerima uang koin dan lembaran dari mamaku. Sebanyak pasang mata yang aku pandang dan berikan senyuman. Sebanyak doa yang mereka ucapkan saat kami anggukan kepala dan mengucap amiin atas doanya.

Mama adalah sekolah pertamaku.

Membesarkan lima orang anak tentu tidak mudah. Kami semua bahkan mengenyam bangku kuliah. Sudah bekerja dan beberapa membangun keluarga kecilnya. Mamaku bahkan menyelesaikan strata satunya di usia senja. Bukankah ia sangat hebat?

Aku melihat sosok perempuan yang kuat dalam diri mamaku. Aku bersamanya dari kecil, dari menjual es, menjual makanan ringan ke warung-warung di pasar, membuka kantin di sekolah tempat mamaku menjadi guru, membuka jasa catering untuk acara-acara lomba tingkat kabupaten. Ia juga tetap berorganisasi di lingkungannya bekerja.

Dan aku? Aku belajar bersosialisasi dari apa yang aku lihat. Aku belajar bagaimana berkomunikasi yang baik pada setiap orang yang berbeda. Aku belajar bahwa ingin saja tidak cukup. Bahwa perlu kerja keras dan doa. Bahwa setiap usaha diikuti oleh hasil yang baik. Meski tak baik di mata dunia, setidaknya Allah tahu usahaku. Setidaknya, mentalku tumbuh dengan baik.

"Pelajaran mental itu, tidak ada mata pelajarannya di sekolah." Begitu mama meyakinkanku untuk ikut lomba pidato tingkat kabupaten sebagai perwakilan tempat ngajiku dulu.

Juara dua. Dan itu luar biasa. Mamaku senang. Aku ingat ia berlari, menangis dan memelukku setelah aku turun dari podium pidato. Pendidikan itu penting dan proses untuk meraihnya lebih penting. Itu yang selalu aku ingat. Pun sekarang, apapun yang aku lakukan, mampu melalui prosesnya adalah hal yang berharga.

Bagaimana jika aku atau adikku melakukan kesalahan? Mama akan marah. Sama seperti uang jajan sewaktu SD, jika mamaku tahu uang jajan dibelikan untuk Komik Petruk Gareng dan bukan makanan, maka, keesokan harinya tidak ada lagi uang jajan sampai tiga hari berturut-turut. Dan jika aku mendapat peringkat satu di kelas, mama akan membawaku ke rumah makan dan kami akan makan dengan nasi berlauk daging gepuk.

Bentuk hukuman dan penghargaan seperti ini, membuatku dan keempat saudaraku lebih bertanggung jawab dan menghargai waktu. Ibu sekolah pertamaku. Aku pastikan kalimat ini benar adanya. Mama tahu, kapan anak-anaknya perlu diberi hukuman dan kapan penghargaan itu diberikan. Dengan caranya, mama memberi tahu kami bahwa manusia harus memiliki rasa takut dan perlu memiliki rasa bangga.

Mama menunjukkan banyak rasa kehidupan pada anaknya sejak kecil. Sejak aku secara pribadi bahkan tak tahu harus menjadi manusia yang seperti apa. Dan, mama berperan menjadikan kami, anak-anaknya, menjadi seorang hamba dan manusia.

Sekarang, aku adalah seorang guru. Sama seperti salah satu profesi mamaku dulu. Mama yang membantu dan mengarahkanku. Sejatinya, guru adalah caraku untuk belajar seumur hidup. Aku masih belajar dan akan terus belajar untuk menjadi pribadi yang kuat dan bermanfaat.

Ma, maaf karena piring dan mangkuk yang kupecahkan. Maaf karena tak menyimpan piringnya dengan benar. Maaf karena wadah mahal mama terbakar. Terima kasih karena masih tersenyum, saat aku marah padamu, dulu. Terima kasih karena tak menuntut banyak hal dariku. Terima kasih karena masih memarahiku, mengingatkanku, memperingatkanku, meneleponku, mengirim pesan padaku. Terima kasih karena masih bertanya saat aku tak ingin bercerita, masih bertanya saat aku tak juga tiba.

Aku sayang mama.

Sumedang, 6 Desember 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun