Mohon tunggu...
Hanifah Salma Muhammad
Hanifah Salma Muhammad Mohon Tunggu... Penulis

Pemerhati isu Ekonomi, Hukum Keluarga dan Sosial Humaniora

Selanjutnya

Tutup

Parenting

Psikososial Anak Pertama Perempuan: Diamnya Luka, Ramainya Tanggungjawab

30 April 2025   11:29 Diperbarui: 23 Mei 2025   09:31 818
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam sistem keluarga di Indonesia yang cenderung patriarkal dan berorientasi pada nilai-nilai kolektivisme, peran anak pertama perempuan sering kali dibentuk oleh ekspektasi sosial dan norma budaya yang tidak tertulis. Anak perempuan sulung di banyak keluarga bukan hanya dituntut untuk menjadi panutan, akan tetapi juga sering kali dibebani peran sebagai caregiver kedua setelah ibu, bahkan ketika dirinya belum sepenuhnya matang secara emosional maupun ekonomi.

Fenomena ini bukan hanya asumsi atau narasi sentimental belaka. Berdasarkan hasil survei pada tahun 2023, mayoritas responden perempuan yang merupakan anak pertama mengaku merasa memiliki tanggung jawab moral dan finansial yang lebih besar dibandingkan saudara-saudara mereka. Sekitar 58% menyatakan bahwa mereka merasa tidak memiliki ruang untuk melakukan kesalahan, dan lebih dari 60% menyatakan kesulitan dalam mengekspresikan perasaan karena takut dianggap lemah. Data ini memperlihatkan bahwa fenomena beban mental yang dialami oleh anak pertama perempuan bukanlah sebuah kasus sporadis saja, melainkan gejala sosial yang meluas dan terstruktur.

Dalam banyak kasus, anak perempuan pertama didorong untuk menjadi "dewasa sebelum waktunya". Bahkan mereka harus mampu membantu mengurus rumah, menjaga adik, memahami situasi ekonomi keluarga, hingga turut menanggung beban keuangan, terlebih jika orang tua mengalami kesulitan finansial atau menghadapi situasi krisis, seperti kematian salah satu pasangan atau perceraian. Sayangnya, semua itu sering kali terjadi tanpa adanya sistem dukungan emosional yang memadai dari keluarga maupun lingkungan sosial.

Sosiolog keluarga memandang bahwa kondisi ini merupakan bentuk dari parentification, yaitu ketika anak mengambil peran orang dewasa dalam keluarga. Meski dalam jangka pendek terlihat "menguntungkan" karena anak terlihat mandiri dan bertanggung jawab, namun jika dilihat dalam jangka panjang, maka kondisi ini dapat menyebabkan dampak psikologis, seperti kecemasan berlebih, krisis identitas, hingga perasaan terisolasi secara emosional.

Dari sisi gender, beban ini juga menunjukkan adanya ketimpangan distribusi peran dalam keluarga. Anak laki-laki, meski juga memiliki tanggung jawab, cenderung diberi ruang yang lebih luas untuk berkembang tanpa tekanan emosional yang sedalam anak perempuan. Dalam laporan Komnas Perempuan tahun 2022, disebutkan bahwa beban domestik dan peran pengasuhan masih sangat banyak dialokasikan kepada perempuan di usia muda dalam keluarga, termasuk mereka yang belum menikah. Ini menjadi indikasi bahwa sistem sosial kita masih mendaur ulang peran tradisional gender, bahkan sejak di usia anak.

Kondisi ini menjadi alarm bagi para pendidik, pembuat kebijakan, dan orang tua untuk mulai merefleksikan ulang bagaimana nilai-nilai pengasuhan diterapkan dalam rumah tangga. Anak perempuan pertama memang bisa menjadi figur yang tangguh, namun ketangguhan tidak boleh dibangun di atas pengabaian terhadap hak dasar anak, yakni hak untuk tumbuh dalam lingkungan yang mendukung perkembangan emosional secara sehat dan seimbang.

Sudah saatnya masyarakat melihat peran anak pertama perempuan bukan hanya sebagai "tulang punggung cadangan" keluarga, melainkan sebagai individu dengan hak dan kebutuhan yang setara. Penyusunan kebijakan berbasis keluarga, kurikulum pendidikan karakter, hingga sistem pendampingan psikologis di sekolah harus mulai merespons realita ini secara serius. Edukasi kepada orang tua pun perlu terus digaungkan agar pengasuhan tidak mengorbankan kesejahteraan emosional anak perempuan hanya demi idealisasi "anak sulung yang kuat".

Dalam dunia yang semakin terbuka dan sadar akan pentingnya kesehatan mental, tidak adil jika kita terus membiarkan beban emosional ini berulang lintas generasi. Anak perempuan pertama berhak untuk tumbuh, gagal, dan beristirahat, sama seperti anggota keluarga lainnya. Mereka bukan pahlawan diam-diam yang tugasnya menanggung semuanya sendiri. Mereka adalah manusia yang juga layak diperlakukan sebagai manusia dengan rasa empati, pengertian, dan penghargaan yang setara.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun