Ini dua bola mataku telah ku congkel ku persembahkan kepadamu, katamu mataku seperti bintang gemerlapan dan kamu ingin memilikinya.
Lalu setelah dua bulan berjalan dan hujan mengiringi tumbuh mekar bunga cintamu kepadaku, kamu katakan bibirku yang mungil basah bagai percik embun itu, ingin pula kamu miliki.
Maka sejak itu bibirku tak pernah mengering bahkan selalu berair dan kau gelincirkan segala lumat nikmat coklat hingga di suatu waktu ku iris bibirku itu dan kuserahkan kepadamu.
Waktu terus berjalan cintamu padaku tak pernah surut dan kau bawa aku terbang menari di pelataran hujan sambil kau peluk aku menikmati percik air kerinduan.
Di situ kamu mulai berani menyukai dadaku yang baru saja mekar menyeruak keluar, aku tersenyum dan kau bisikkan sesuatu yang indah di telingaku.
Aku semakin jauh terbang melayang, ku tinggalkan siapa diriku, ku tanggalkan apa yang kamu mau, hingga habis dadaku kau gerogoti sampai tumbuh bercak-bercak biru meluruh bisu.
Lalu di kala sore dan gerimis datang berkunjung, kamu katakan kepadaku sudah tidak tahan, aku katakan kepadamu nikahilah aku bila memang sudah tidak tahan.
Kamu lihat sendiri bukan, mataku yang indah telah ku congkel untukmu, bibirku yang mungil telah ku iris buatmu dan dua buah dadaku yang juga baru mekar telah pula ku berikan kepadamu.
Kamu janganlah seperti laki-laki yang tak tahu budi, aku ini wanita yang juga mesti kamu hargai, tidak cinta seperti apa aku kepadamu, kurang berkorbannya apa aku untukmu.
Telah kau lumat riap-riap dosa bersamaku, Tuhan pun tahu soal itu bahkan Ia mengerti pula bagaimana tulusnya aku mencintaimu.Â