Mohon tunggu...
handrini
handrini Mohon Tunggu... Lainnya - Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional

world are wide, but there's only small spot to make a mistake, Be wise, get grow, so can mature at the same time. be wise it's not easy eithout make wisely as a habit

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menjadi Anak Jalanan atau Anak Sekolahan ?

31 Mei 2013   13:17 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:45 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Baru kali ini saya merasakan kesedihan yang luar biasa dahsyatnya. Jauh melebihikesedihan yang sempat singgah dalam episode kehidupan saya.

Tidak mudah "merumahkan" dan mengiring anak-anak "jalanan" untuk sekolah.. Salah satunya adalah karena rasa malu karena belum bisa membaca sedang teman-teman di sekolah lebih muda. Mereka juga sudah terbiasa mendapatkan uang dg mudah, jika mereka sekolah berarti mereka harus berhenti meminta minta yang berarti tidak mendapatkan uang lagi selama waktu sekolah. Mereka juga masi belum terbiasa hidup teratur berdisiplin.

Pikiran yang merupakan kesimpulan yang terlalu dini itu saya tulis enam jam yang lalu. Sebuah kesimpulan yang terangkai dari beberapa peristiwa dan masukan demi masukan dalam pikiran saya.

Kurang lebih 18 Mei 2013 lalu, putri ketiga saya membawa kabar yang mengejutkan. “Beben sudah ga sekolah lagi Ma.. kata Bu guru Beben sekarang balik lagi jadi pengemis di rel kereta, “ katanya. Beben adalah salah satu teman satu kelas dengan putri saya. Meski tergolong lebih tua dari putri saya, tapi Bentar nama lengkap Beben baru masuk sekolah tahun ini. Pihak sekolah dan orang tua murid meski tergolong mayoritas di bawah rata-rata karena mayoritas pedagang pasar tradisional tapi mereka memiliki semangat gotong royong yang luar biasa untuk kasus Beben misalnya mereka bahkan Bu guru kelasnyasudah berulang kali mendatangi dan membujuk Beben untuk mau bersekolah. Tapi tetap saja Beben hingga hari Jumat, 31 Mei 2013 belum muncul juga.

Sejak adik tirinya yang berusia 3,5 tahun meninggal karena sakit, Beben tidak pernah masuk sekolah lagi. Dari cerita yang saya dapat dari guru hingga orang tua murid yang sudah berusaha membujuk kata Ibunya awalnya Beben minta dibeliin sepeda sebagai syarat tapi sudah dibelikan sepeda tetap saja Beben tidak mau masuk sekolah. Tapi salah satu sifat buruk saya tidak bisa percaya begitu saja cerita yang saya dapat dari orang lain. Saya harus ketemu dengan Beben sendiri! Tapi ternyata tidak mudah menemukan Beben. Jika semula Beben sempat mengontrak di daerah seputaran Palmerah, sejak adik tirinya meninggal sudah keluar dan kembali ke pinggir rel kereta Palmerah. Tapi permasalahannya ada beberapa gerobak pemulung yang juga berfungsi sebagai tempat istirahat mereka.

Alhamdulillah.. akhirnya saya bertemu dengan Beben. Tak hanya Beben tapi juga Wati kakak sepupunya yang bernasib sama. Kehidupan memaksa mereka menjadi pemulung.. saya terpaksa “menyalahkan” kehidupan sebab bagi mereka tak dapat memilih nasib yang lainnya. Sayang saya tidak berhasil bertemu dengan Ibu Beben dan ayah tirinya. Tapi tak mengapa saya berhasil bertemu dengan nenek Beben. Wanita tua yang mengenakan jilbab alakadarnya tengah istirahat sejenak sambil dihadapannya ada kerupuk pangsit sekantong plastik hitam cukup besar. Tak terasa waktu berlalu dan entah berapa kereta melintas dan rasanya saya mulai tak mampu membedakan suara kereta lewat ataukah batin saya yang lebih bergemuruh.. sibuk menata hati agar tak melompat-lompat tidak beraturan.

is miss you so deep Dadd.. you always know what I should do.. outside my world, this world so wild.. how i can make it be a better place for them ?_hope, pray dan do the best_that's all i know..

Dunia diluar dunia saya ternyata begitu kejam. Anak-anak malang itu benar-benar seolah tidak mempunyai pilihan lain selain harus menjadi pemulung. Emak, begitu Beben memanggil neneknya tidak memiliki pilihan lain selain harus menjaga kedua cucunya di usia senjanya. Alhamdulillahnya emak tetap mampu mengontrak sebuah tempat tinggal untuknya dan cucu-cucunya dengan biaya Rp. 300.000/bulan. Mendengar kata kontrakan saya teringat tentang kisah seorang wanita dan anak perempuan kecilnya yang diusir oleh suaminya dari rumah kontrakan. Kisah malang wanita itu akhirnya mengugah rasa kasihan seorang pria. Sayangnyamereka justru dipertemukan pada saat wanita malang itu tengah berjalan-jalan di sebuah mall yang megah bersama teman-temannya. Ternyata kisah wati – kakak sepupu Beben jauh lebih malang dari bocah perempuan kecil yang konon diusir oleh ayahnya sendiri bersama ibunya tersebut.

“Wati teh sudah lama Neng ditinggal begitu aja sama Bapaknya. Pisahan sih belum neng.. tapi ditinggal begitu aja.. Mamaknya terus kerja neng di bekasi sono ikut orang korea nyuci gosok di tempat kayak begituan tuh.. “ kata Emak sambil menunjuk apartemen Senayan yang tampak dari tempat kami ngobrol.

Beben nasibnya tak jauh beda. Sempat tertabrak motor saat mengemis menyebabkan Beben sedikit “berbeda” meski sepintas tidak terlihat. Tak hanya karena tertabrak motor, kehidupan jalanan yang jauh lebih bebas membuat Beben menjadi kikuk saat harus masuk ke sekolah. “Banyak orang galak di sekolah..” kata Beben. Tapi emaknya langsung menjelaskan panjang lebar tentang perilaku Beben yang “nakal”. Hehe.. soal itu sih sebenarnya putri saya yang berusia 6 tahun sudah kerap bercerita. Jangan-jangan putri saya tergolong salah satu “orang galak” yang diceritakan Beben sebab begitu Beben menepok pantatnya langsung Beben disasar dengan ceramah ala guru agama.. hehe..

Untuk sementara dari perbincangan panjang bersama Emak akhirnya diperoleh suatu cara, meminta Wati untuk bersekolah bersama Beben sehingga Beben tidak merasa canggung dan asing serta ada dorongan untuk sekolah. Semoga Beben dan Wati semoga dapat segera kembali bersekolah. Berada di lingkungan baru dan asing memang tidak akan pernah mudah bagi anak-anak pemulung. Kehadiran sosok yang dikenal dengan baik seperti Wati bagi Beben semoga dapat menjadi dorongan lebih bagi Beben agar dapat segera ke bangku sekolah.Mudah-mudahan Emak bisa membujuk Wati agar bersedia sekolah bersama di tempat Beben sekolah dan emak berhasil membujuk Beben serta bantuan dari pihak sekolah tentunya..

Mewajibkan anak-anak pemulung untuk bersekolah tak sekedar memerlukan sarana peralatan belajar gratis tapi lebih dari itu. Mereka sudah terbiasa mendapatkan penghasilan dari mereka mengemis dan bagi orang tua yang membesarkan dan mengasuh mereka harus merelakan juga ketika penghasilan anak-anak itu menjadi tidak ada karena mereka bersekolah. Selain itu harus ada manfaat bagi kehidupan mereka khususnya dalam jangka pendek bagi kehidupan mereka. Dari cerita emak saya menangkap emak meski bersyukur cucunya ada yang sempat sekolah hingga SMP tapi akhirnya berakhir di pemulung juga. Tampaknya pemerintah harus jeli melihat tantangan kehidupan yang dihadapi anak-anak yang dipaksa menjadi pemulung oleh kehidupan ini. Tak ada salahnya menjadi pemulung sebenarnya. Jika tidak ada pemulung saya pun tak mampu membayangkan tempat pembuangan akhir di Jakarta akan menjadi seperti apa. Alangkah bijaknya jika pendidikan sekolah dasar pun bersifat terapan yang mengajarkan tentang bagaimana berwirausaha sehingga tak hanya kemampuan baca tulis yang mereka dapatkan melainkan satu sisi mereka dapat mengolah apa yang mereka temui dalam kehidupan sehari-hari menjadi sesuatu yang lebih menghasilkan keuntungan materi yang akan dapat dimanfaatkan bagi kehidupan mereka atau pendek kata mengajarkan mereka bagaimana menjadi pemulung yang profesional. Sebuah impian yang rasanya memang perlu kerja keras bersama tapi bukan berarti tak mungkin bukan ?


Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun