Mohon tunggu...
handrini
handrini Mohon Tunggu... Lainnya - Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional

world are wide, but there's only small spot to make a mistake, Be wise, get grow, so can mature at the same time. be wise it's not easy eithout make wisely as a habit

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

ATC, Pemegang Kuasa Udara yang Terpinggirkan

29 Mei 2013   12:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:51 6558
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Air Traffic Controllers (ATC) adalah salah satu pihak penentu keselamatan penerbangan tentu tak ada yang menyangsikan. ATC adalah "pemegang kuasa udara" - bagaimana tidak ? tak ada seorang pun pilot yang (:seharusnya) berani mengabaikan perintah ATC baik itu untuk take off maupun landing. Miskomunikasi antara ATC dan pilot merupakan salah satu penyebab terjadinya bencana penerbangan. Tapi bagaimana status pegawai, sistem penggajian (remunerasi), proses transfer Indonesia Air Traffic Controllers mungkin tak banyak orang mengetahuinya.

Sejumlah kajian antara lain yang dilakukan oleh Robert Baron yang berjudul Barriers to Effective Communication: Implications for The Cockpit mengungkap implikasi negatif adanya kendala dan hambatan komunikasi hingga menyebabkan terjadinya kecelakaan pada berbagai kasus antara lain kecelakaan penerbangan yang sangat legendaris yang terjadi di Bandar Udara Internasional Los Rodeos di Tenerife, Kepulauan Canary Spanyol pada 27 Maret 1977 pukul 17.06 waktu setempat. Akibat miskomunikasi antara Air Traffic Controller (ATC) dengan pilot, dua pesawat Boeing 747 yaitu Pan Am nomor penerbangan 1736 bertabrakan dengan KLM nomor penerbangan 4805 hingga mengakibatkan 583 orang tewas.

Di Indonesia kasus miskomunikasi antara ATC dengan pilot yang berujung kecelakaan juga terjadi pada pesawat jenis Airbus A-300 B4-200 milik Garuda Indonesia PK-GIA penerbangan GA 152 yang jatuh 26 September 1997 sekitar pukul 13.30 di desa Buah Nabar, Sibolangit, Deli Serdang, Sumatera Utara yang mengakibatkan 234 tewas. Demikian juga kecelakaan yang terjadi pada pesawat Sukhoi Superjet 100 yang sedang melakukan joyflight hilang kontak pada tanggal 9 Mei 2012. Berdasarkan keterangan Komite Nasional Kecelakaan Transportasi (KNKT), pesawat tersebut mengalami Controlled Flight Into Terrain (CFIT) pada ketinggian 5.800 feet pada kemiringan 85 derajat. CFIT adalah sebuah istilah dalam dunia penerbangan yang berarti sebuah pesawat yang laik terbang dan tidak mengalami kerusakan serta di bawah kendali pilotnya, tanpa sengaja terbang dan menabrak terrain atau daratan, obstacle atau penghalang, atau air. Penerbangnya biasanya tidak sadar sampai akhirnya terlambat untuk menghindar. Hal tersebut terjadi karena miskomunikasi antara ATC dengan pilot.

Sejumlah pemikiran tentang ATC sudah digagas sejak lama diantaranya sebagaimana diusulkan Ketua Komisi V DPR RI Yasti Soepredjo Mokoagow yang mengusulkan adanya pemisahan antara ATC dengan pengelola bandara dengan alasan ATC berpikir selalu tentang keamanan jalur penerbangan sedangkan pengelola bandara hanya berorientasi pada keuntungan semata.

Pemisahan antara ATC dengan pengelola bandara sebenarnya telah diamanatkan UU No.1 tahun 2009 tentang Penerbangan. Amanat tersebut diatur secara rinci dalam beberapa pasal yaitu sebagai berikut : Pada Paragraf 2 tentang Penyelenggara Pelayanan Navigasi Penerbangan Pasal 271 ayat (1) Pemerintah bertanggung jawab menyelenggarakan pelayanan navigasi penerbangan terhadap pesawat udara yang beroperasi di ruang udara yang dilayani. Ayat (2) Untuk menyelenggarakan pelayanan navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah membentuk satu lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan. Ayat (3) Lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memenuhi kriteria sebagai berikut: mengutamakan keselamatan penerbangan; tidak berorientasi kepada keuntungan; secara finansial dapat mandiri; biaya yang ditarik dari pengguna dikembalikan untuk

biaya investasi dan peningkatan operasional (cost recovery). Ayat (4) Lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibentuk oleh dan bertanggung jawab kepada Menteri. Pada Pasal 272 ayat (1) ditegaskan bahwa Lembaga penyelenggara pelayanan navigasi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 271 ayat (2) wajib memberikan pelayanan navigasi penerbangan pesawat udara.

Tugas ATC atau yang dalam UU Penerbangan disebut sebagai pelayanan lalu lintas penerbangan adalah sebagai berikut : mencegah terjadinya tabrakan antarpesawat udara di udara; mencegah terjadinya tabrakan antarpesawat udara atau pesawat udara dengan halangan (obstacle) di daerah manuver (manouvering area); memperlancar dan menjaga keteraturan arus lalu lintas penerbangan; memberikan petunjuk dan informasi yang berguna untuk keselamatan dan efisiensi penerbangan; dan memberikan notifikasi kepada organisasi terkait untuk bantuan pencarian dan pertolongan (search and rescue).

Bagi masyarakat awam yang ingin mengetahui bagaimana ATC bekerja dan peran pentingnya ATC dapat melihat "sinetron" korea Take Care Of Us, Captain. Di melodrama tersebut digambarkan dengan tepat tentang mekanisme bekerja ATC yang melakukan pengaturan lalu lintas udara di menara untuk aerodrome control tower agar dapat melihat dengan jelas keadaan landas pacu sedang untuk approach control unit dan area control center berada di ruangan yang letaknya berdekatan dengan menara untuk memudahkan koordinasi.

Bagaimana proses bekerja ATC ? Dalam setiap penerbangan, setelah pesawat tuntas menghidupkan mesin dan pada posisi siap untuk berjalan, maka pilot akan minta ijin untuk taxi. Dipandulah pesawat tersebut menuju titik dimana akan memulai take-off. Dalam bahasa penerbangan disebut dengan holding position. Kemudian pilot meminta ATC Clearance sebelum menghidupkan mesin dan bersiap meninggalkan lokasi parkir. Setelah lengkap menjawab ATC Clearance 10 menit kemudian penerbang akan meminta untuk menghidupkan mesin pesawat dan mundur dari lokasi parkir. Perlu diketahui masing-masing terminal keberangkatan mempunyai unit sendiri. Untuk terminal A-B-C penerbang akan berkomunikasi dengan GS, sedangkan terminal D-E-F dengan GN. Dipertengahan jalan pada posisi yang sudah clear dengan pesawat yang lain penerbang akan diberi istruksi untuk berkomunikasi dengan unit TWR, karena tanggung jawab TWR yang akan memberangkatkan pesawat tsb. Proses untuk keberangkatan ini akan tergantung dengan pesawat lain yang akan mendarat ataupun pesawat yang berada di depannya. Sehingga perhitungan dan pengalaman seorang ATC untuk memberangkatkan pesawat sangat berperan. Sesaat pesawat memulai mengudara, penerbang akan diminta berkomunikasi dengan unit TE, setelah lepas ketinggian tertentu penerbang diminta berkomunikasi dengan unit LE, demikian seterusnya hingga ke unit US. Setiap sektor pemanduan LLU, ATC yang bertugas mempunyai tanggung jawab memisahkan antar pesawat dengan separasi yang sesuai. Unit US akan selalu berkoordinasi dengan Unit Makassar ACC akan keberadaan pesawat yang dimaksud, sehingga pada suatu titik pesawat tsb akan dilimpahkan status tanggung jawabnya ke wilayah udara Makassar. Makassar ACC akan memandu pesawat tersebut hingga memasuki wilayah udara Surabaya TMA, dan seterusnya pada akhirnya penerbang akan berkomunikasi dengan Juanda TWR untuk melaksanakan pendaratan. Dan melaju ke tempat parkir pesawat di apron.

Lalu bagaimana status pegawai, sistem penggajian (remunerasi), proses transfer ATC? Mari kita lihat dari pengaturan Air Traffic Service dalam Annex 11 terlebih dahulu. Pada Annex 11 (Air Traffic Service), bahwasannya tujuan diselenggarakannya ATS dapat tercapai dengan efektif apabila dibentuk organisasi yang akan menyelenggarakan pelayanan dan metode untuk mencapai tujuan tersebut.  Namun ICAO tidak mengatur secara spesifik bentuk maupun struktur organisasi penyelenggara ATS tersebut.  Biasanya suatu negara membagi seluruh administrasi penyelenggaraan ATS tersebut menjadi regulator, engineering planning dan divisi penyelenggaraan pelayanan ATS.  Dimana divisi penyelenggaraan pelayanan ATS yang berperan penting dalam penyelenggaraan operasi ATS sehari-hari.

Secara garis besar organisasi penyelenggara ATS (kalau di Indonesia seperti Angkasapura 1, Angkasapura2 pada awalnya sebelum terbentuk  Perusahaan Umum (Perum) Lembaga Penyelenggaraan Pelayanan Navigasi Penerbangan Indonesia ATC menjadi bagian dari ATS) memiliki pembagian kerja sebagai berikut: Operasional termasuk air traffic control, flight service, ATSRO, briefing office, SAR, dsb ; Peralatan dan teknologi; termasuk sistem, maintenance dan upgrade; Keuangan termasuk penggajian, pembelanjaan, perpajakan, dsb; Personalia termasuk administrasi, karir, rekrutmen, training dsb; Riset dan Pengembangan (R&D); Safety Management System; Audit dan assurance; Komersial dan pengembangan bisnis; termasuk SBU selain core bisnis, penagihan dsb ; Korporat affairs.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun