Dengan gaji ala kadarnya jangankan membeli rumah, mengontrak rumahpun kami tidak sanggup. Sehingga kami menumpang di garasi saudara istri yang kami sulap menjadi kamar.
Kami sangat bahagia, kondisi serba kekurangan tidak merusak sama sekali kehidupan perkawinan indah kami.
Suatu hari yang saya lupa apa penyebabnya, saya sangat kesal kepada istri. Saya dongkol dan sewot namun tidak berani untuk menyampaikan rasa itu, reaksi alami saya menghadapi itu adalah diam. Nampaknya istriku merasakan ada hal yang tidak beres dengan komunikasi kami, karena saya cenderung diam dan ketus, padahal sehari-harinya saya senang bercerita entah apa saja, baik masalah hubungan di kantor atau tentang buku-buku yang kami baca dan diskusikan.
Istri reaksinya juga diam. Suasana kamar sempit kami yang 4 L (lu lagi lu lagi) jadi dingin dan sepi. Walaupun semua kegiatan terjadi di kamar sempit terjadi seperti biasa, tapi semua dilakukan dengan diam. Kami makan, mandi, tidur bersebelahan, atau sekedar duduk di kamar dilakukan tanpa berbicara dan seperti robot. Rasanya sangat menyiksa.Â
Ingin saya mengakhiri aksi diam ini, tapi ego mengatakan saya tidak boleh kalah. Kalau saya yang memulai percakapan, rasanya seperti kalah, padahal sebenarnya ini bukan masalah kalah-menang.Â
Aksi diam-diaman antara kami terjadi berhari-hari dan rasanya ketika saya pergi berangkat bekerja dan meninggalkan rumah yang biasanya ada rasa berat meninggalkan istri sendiri, justru itu merupakan pembebasan yang menyenangkan.Â
Penyebab kedongkolan atau kekesalan sudah terlupakan, malah sekarang saya pasang gengsi bahwa saya tidak boleh menyerah, emangnya siapa dia.Â
Akhirnya penderitaan aksi diam kami berakhir ketika istri dapat momen dimana dia bisa memulai percakapan.Â
Saya ingat betul bahwa konten pembicaraan itu sengaja dipilih istri dengan konten yang netral yang tidak ada mengandung provokasi ingin ngajak berantem. Awalnya sesuai dengan kesombongan rasa ego, saya  menanggapi percakapan dengan dingin, sok angkuh dengan menjawab percakapan dengan pendek dan ketus.
Hebatnya istri tidak tersinggung dengan sikap arogan seperti itu, dengan sabar dia meladeni komunikasi kami seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa dan semua baik-baik saja.
Akhirnya sayapun luluh, lumer dari segala keangkuhan dan bisa kembali berkomunikasi seperti sedia kala, seperti sebelum terjadi insiden tersebut