Anak Kecil Disetubuhi Rame-Rame Oleh 11 Orang Dewasa.
oleh Handra Deddy Hasan.
Anak dibawah umur korban kekerasan seksual yang dilakukan rame-rame oleh 11 pria dewasa viral dibicarakan di media sosial TikTok.
 Diantaranya diungkap oleh akun TikTok @mazzini_gsp yang menyatakan bahwa gadis usia 15 tahun di Sulteng jadi korban pemerkosaan 11 orang pria. Diantara pelakunya menurut akun Tiktok tersebut ada Kepala Desa, guru dan anggota polisi (Brimob).
Sebagaimana informasi yang beredar di media, korban yang merupakan gadis Poso tersebut berangkat menjadi relawan banjir bandang di Desa Torue, Kecamatan Torue, Parimo pada 2022 lalu. Pada saat itulah korban bertemu para pelaku.
Pemerkosaan diduga dialami korban sejak April 2022 hingga Januari 2023. Kasus ini terungkap setelah korban pulang ke Parimo dan menceritakan peristiwa pilu yang ia alami kepada ibunya yang sedang menjadi asisten rumah tangga di Jakarta.
Menyimak dari hasil wawancara penyiar TV One pada acara Kabar Petang pada hari Selasa tanggal 30 Mei 2023 sekitar  jam 17.00 WIB dengan Kapolres Parigi Moutong AKBP Yudianto Wiyono,  nampaknya peristiwa kekerasan seksual tersebut tidak tepat secara hukum dinamakan tindak pidana pemerkosaan.Â
Peristiwa tindak kekerasan seksual tersebut terjadi dalam kurun waktu tertentu, kemudian kejadiannya berlangsung secara berulang, di tempat yang berbeda dan dilakukan terhadap korban oleh pelaku yang berbeda. Pelaku diduga berjumlah 11 orang.Â
Sebagaimana terungkap dalam wawancara tersebut korban selain anak dibawah umur juga dari keluarga yang tidak mampu. Kedua orang tuanyapun telah bercerai, sementara korban menanggung kehidupan 2 (dua) orang adiknya yang masih kecil.Â
Para pelaku bisa melaksanakan niat jahatnya menikmati tubuh korban dengan mengimingi-imingi dan melakukan tipu muslihat.
Bermacam-macam modus yang dilakukan pelaku untuk memuaskan nafsu setannya, misalnya dengan memberi uang dari Rp 50.000,- (lima puluh ribu rupiah) sampai dengan Rp 500.000,- (lima ratus ribu rupiah), memberi pakaian, memberi makanan, menjanjikan pekerjaan menjadi juru masak bahkan ada yang menjanjikan akan memberi ponsel.
Dalam acara yang sama Kabid Humas Polda Sulawesi Tengah menambahkan bahwa Polisi telah menetapkan sepuluh orang jadi tersangka yang terdiri dari berbagai profesi diantaranya ada guru dan Kepala Desa. Dari kesepuluh tersangka, Â lima orang diantaranya telah ditahan, lima orang lagi masih dikejar, sedangkan 1 orang polisi (Brimob) masih dilakukan pendalaman alat bukti, apakah yang bersangkutan terlibat.
Tipu Muslihat Untuk Melakukan Perbuatan Cabul.
Melihat skenario cerita diatas, nampaknya tidak tepat secara hukum peristiwa tersebut masuk katagori tindak pidana pemerkosaan, karena salah satu unsur tindak pidana pemerkosaaan adalah adanya unsur paksaan baik dengan ancaman kekerasan maupun dengan kekerasan.Â
Padahal dalam kenyataannya tidak ada sama sekali unsur paksaan dengan kekerasan ataupun ancaman kekerasan.Â
Tindak pidana demikian lebih pas menggunakan Pasal tipu daya, membujuk, berbohong untuk melakukan perbuatan cabul kepada anak (korban berumur 15 tahun).
Perbuatan seperti ini diatur dalam Pasal 76D dan Pasal 76E juncto Pasal 81 ayat 2 dan Pasal 82 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU Perlundungan Anak.
Pasal 81 ayat 2 UU Perlindungan Anak ;
Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud ayat 1 (pemerkosaan) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Pasal 76 E UU Perlindungan Anak ;
Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.
Pasal 82 ayat 1 dan 2 UU Perlindungan Anak ;
ayat 1.
Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000.- (lima milyar rupiah).
ayat 2.
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Alternatif Menggunakan Undang-Undang Kekerasan Seksual.
Sebagaimana diberitakan dalam program Kabar Petang TV One, saat ini korban sedang didampingi oleh Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA).Â
Sebetulnya di UU Perlindungan Anak tidak mengenal unit UUTD PPA. UUTD PPA dikenal dan diadopsi dari Undang-Undang Nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).Â
Pada prinsipnya untuk kasus seperti narasi diawal artikel juga bisa diterapkan UU TPKS selain UU Perlindungan Anak, karena unsur-unsur tindak pidananya sama.
Secara teori dalam suatu kasus apabila terdapat 2 atau lebih hukum yang mengaturnya, maka untuk menentukan hukum mana yang akan diberlakukan, kita dapat menggunakan azaz hukum "lex speciale derogat lex generale". Azaz ini memiliki arti bahwa hukum khusus mengesampingkan hukum umum.
Tujuan azaz ini adalah memastikan bahwa hukum diterapkan dengan tepat dalam kasus-kasus tertentu, daripada menerapkan hukum umum yang mungkin tidak sepenuhnya memperhatikan elemen-elemen unik dari situasi tertentu. Dengan memberikan prioritas pada hukum khusus, azaz ini bertujuan untuk memberikan regulasi yang lebih presisi dan terarah untuk skenario-skenario khusus.
Namun masalahnya dalam kasus yang sedang kita bicarakan apakah kekhususannya terletak pada "anak"nya atau apakah terletak pada "kekerasan seksual"nya.Â
Apabila kita memandang bahwa kekhususan terletak kepada korban anak, maka yang akan diterapkan adalah UU Perlindungan Anak, sebaliknya kalau kita memandang kekhususannya pada kekerasan seksualnya maka yang akan diberlakukan UU TPKS.
Untung Rugi Antara Menggunakan UU Perlindungan Anak atau UU TPKS.
Terlepas saat ini polisi akan menuntut para tersangka dengan UU Perlindungan Anak, sebagai pengetahuan perlu diperbandingkan apabila seandainya diberlakukan UU TPKS terhadap kasus kekerasan seksual masif ini.
Titik persamaan kedua Undang-Undang tersebut terletak adanya perlindungan terhadap korban, namun didalam UU TPKS perlindungan berupa pedampingan lebih jelas diatur dalam Pasal 26 antara lain korban dapat didampingi seperti oleh petugas UPTD PPA, tenaga kesehatan, psikolog, psikiater, advokat, dll.
Dalam hal ancaman hukuman pidana penjara dan dendanya berdasarkan Pasal 82 ayat 1 UU Perlindungan Anak lebih unggul karena ancaman hukuman maksimalnya lima belas tahun dan denda maksimalnya Rp 5 milyar.
 Sedangkan UU TPKS berdasarkan Pasal 6 ayat c, hukuman maksimalnya hanya 12 tahun dan denda maksimalnya hanya Rp 300 juta.
Namun kelemahan UU Perlindungan Anak tidak mengenal hukuman tambahan berupa hukuman restitusi, sedangkan dalam UU TPKS ada aturan hakim bisa menjatuhkan hukuman tambahan berupa hukuman restitusi.
Restitusi pasca mengalami kekerasan seksual mengacu pada upaya memberikan kompensasi atau pemulihan kepada korban kekerasan seksual setelah kejadian tersebut terjadi. Restitusi ini bertujuan untuk membantu korban mengatasi dampak medis, psikologis, dan sosial yang diakibatkan oleh kekerasan seksual.
Korban kekerasan seksual mungkin membutuhkan perawatan medis yang mendesak setelah kejadian tersebut, seperti pemeriksaan forensik, pengobatan luka fisik, atau penanganan infeksi yang mungkin terjadi akibat serangan seksual. Restitusi dapat mencakup biaya pengobatan dan pemeriksaan medis.
Kekerasan seksual dapat meninggalkan dampak emosional dan psikologis yang serius bagi korban. Restitusi pasca kekerasan seksual dapat mencakup biaya terapi atau konseling psikologis yang membantu korban memulihkan diri, mengatasi trauma, dan mengurangi dampak jangka panjang yang mungkin timbul.
Kemudian perlu juga diperbandingkan dalam hal pemberatan hukuman yaitu tambahan hukuman dari ancaman hukuman yang ada. Dalam Pasal  82 ayat 2 UU Perlindungan Anak pelaku yang mendapatkan pemberatan dan ditambah hukumannya 1/3  hanya yang mempunyai profesi guru (salah satu pelaku kabarnya berprofesi guru).
Sedangkan dalam Pasal 15 ayat 1g UU TPKS seluruh pelaku akan mendapat bonus tambahan hukuman 1/3 dari hukuman maksimal karena tindak pidana kekerasan seksualnya terjadi pada anak dibawah umur.
Jadi penambahan ekstra tambahan hukuman dalam UU TPKS bukan kepada profesi pelaku, tapi penekanannya pada korban (anak), sehingga kalau menggunakan UU TPKS yang akan mendapat hukuman tambahan tidak hanya guru, tapi seluruh pelaku.
Namun sampai sejauh ini pada umumnya pihak kepolisian belum berani memproses dengan UU TPKS. Alasannya menunggu aturan turunan UU TPKS atau aturan pelaksanaannya. Sebagai catatan UU TPKS masih baru dan mulai berlaku 9 Mei 2022.Â
Padahal sebulan setelah UU TPKS diundangkan yaitu pada 28 Juni 2022, Kepala Polri mengirim telegram keseluruh jajaran kepolisian dan memerintahkan agar kepolisian langsung menggunakan UU TPKS. (Kompas, Selasa 30 Mei 2023).
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI