Mohon tunggu...
Handra Deddy Hasan
Handra Deddy Hasan Mohon Tunggu... Pengacara - Fiat justitia ruat caelum

Advokat dan Dosen Universitas Trisakti

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Peluang Lolos dari Hukuman bagi Koruptor yang Dihukum Berat oleh Hakim Agung Artidjo Alkostar

28 Januari 2021   14:32 Diperbarui: 28 Januari 2021   16:59 397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 (Sumber: tempo.co)

Lembaga Pengadilan merupakan lembaga terakhir bagi masyarakat untuk meraih keadilan dan juga merupakan lembaga terakhir bagi masyarakat untuk memulihkan rasa keadilan.

Bagi sengketa2 horizontal atau dinamakan juga sengketa perdata, setelah para pihak tidak bisa menemukan keadilan bagi pihaknya, tidak ada jalan lain selain memasukkan gugatan ke Pengadilan. Harapan para pihak mengajukan perkaranya ke Pengadilan agar menemukan keadilan. Harapan yang tentunya ditujukan kepada hakim yang memutus dengan bijaksana sesuai dengan hukum yang berlaku.

Begitu juga keadaan dimana para kriminal telah merusak tatanan sosial (peristiwa pidana) sehingga rasa keadilan masyarakat menjadi rusak, dalam hal ini masyarakat juga berharap agar pengadilan menghukum siapapun yang telah melanggarnya. Dengan dihukumnya para pelaku kejahatan maka harapan masyarakat  akan terpenuhi. Penegakan hukum yang konsisten akan menimbulkan rasa keadilan masyarakat.

Lagi-lagi peranan tunggal hakim dalam menghukum para pelaku kejahatan dapat memulihkan rasa keadilan di tengah masyarakat.

Peranan Pengadilan dengan aktor dominan hakim yang terlibat didalamnya tidak perlu dipungkiri lagi. Walaupun dalam proses persidangan di Pengadilan melibatkan tokoh lain seperti profesi Pengacara dan Jaksa Penuntut Umum (dalam kasus pidana), akan tetapi peranan hakim sangat dominan untuk menemukan keadilan.

Pengadilan sudah identik dengan hakim. Jadi berwibawanya lembaga yudikatif yang dinamakan pengadilan sangat tergantung kepada kualitas hakim2 yang berada di dalamnya. 

Semakin tinggi kualitas hakimnya yang tercermin dari putusan2nya yang dapat menjawab rasa keadilan, makin berwibawa pengadilan dimata masyarakat. Sekaligus lembaga pengadilan akan lebih dipercaya untuk dijadikan sandaran oleh masyarakat dalam mencari keadilan.

Tuntutan dan harapan yang besar kepada hakim membuat kualifikasi/persyaratan menjadi seorang hakim baik secara materil maupun secara formil menjadi tidak gampang. Profesi mulia yang mengambil alih tangan Tuhan didunia harus mempunyai kualitas yang melebihi orang rata2.

Peranan Profesi Jaksa Dan Pengacara Dalam Pencarian Keadilan.

Walaupun Hakim merupakan profesi yang dominan dalam menentukan keadilan sekaligus mempunyai kewenangan mutlak untuk memutuskan suatu perkara, namun agar putusan yang dibuatnya memenuhi standar keadilan, memerlukan bantuan dari profesi lain Pengacara, Jaksa Penuntut Umum.

Hukum acara mengatur sedemikian rupa agar bisa memuaskan pencari keadilan. Dubutuhkan 3 pilar (hakim, jaksa dan pengacara) dengan peranan masing2 agar proses dan hasil suatu perkara bisa secara maksimal menyimpulkan dan memutuskan rasa keadilan.

Sebelum hakim memutuskan suatu perkara (sengketa perdata) masing2 pilar baik Pengacara Penggugat maupun Pengacara Tergugat akan menyampaikan sudut pandang (visi) masing2 tentang keadilan.

Begitu juga dalam perkara pidana, sebelum hakim memutuskan hukuman kepada terdakwa, Jaksa akan menyampaikan sudut pandang kejahatan terdakwa, sebaliknya Pengacara akan memperlihatkan sudut pandang yang sebaliknya.

Peristiwa hukum dan rasa keadilan memang sangat subyektif. Hal ini identik dengan ilustrasi orang buta yang memegang gajah.

Bagi yang ebetulan memegang belalai akan mengambil kesimpulan bahwa binatang gajah itu bulat panjang. Berbeda bagi orang buta yang kebetulan memegang badan gajah akan mengatakan gajah sangat besar tidak terkira. Kesemuanya itu tentu keliru karena sudut pandang yang sempit dan tidak bisa melihat gajah secara keseluruhan.  

Butuh orang melek yang bisa melihat gajah secara keseluruhan agar bisa menentukan dengan akurat bentuk dan sosok binatang gajah yang sebenarnya.

Dari ilustrasi tersebut dapat kita katakan orang buta yang memegang belalai dan yang memegang badan gajah adalah para Pengacara (Penggugat, Tergugat) dan Jaksa yang melihat keadilan dari sudut pandang (visi) sempit yang terbatas, sedangkan orang melek yang bisa melihat dari segala sudut adalah hakim.

Hakim membutuhkan Pengacara dan Jaksa agar bisa melihat suatu perkara dalam multi sudut pandang dan bukan hanya dari satu sudut pandang yang sempit. 

Oleh karena itu hakim adalah orang yang bijaksana yang mau mendengar dengan hati terbuka agar dapat menemukan multi sudut pandang dalam memutuskan perkara secara obyektif dengan menegakkan hukum untuk memenuhi rasa keadilan.

Jenis2 Profesi Dan Kewenangan Hakim.

Berdasarkan Pasal 19 Undang2 Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kehakiman) yang dimaksud dengan hakim adalah pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam Undang2.

Agar bisa menjadi pejabat negara dengan jabatan mulia sebagai hakim harus mempunyai kualifikasi materil yang memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional dan berpengalaman di bidang hukum (Pasal 5 UU Kehakiman).

Selain itu jabatan hakim bisa dibagi lagi secara formil dari segi kebutuhan khusus dan dari cara pengangkatan.

Dari segi kebutuhan khusus ada hakim yang dinamakan sebagai Hakim Ad Hoc yang bersifat sementara yang memiliki keahlian dan pengalaman di bidang tertentu (Pasal 1 (9) UU Kehakiman).

Khusus untuk Hakim Agung pada Mahkamah Agung mengenal Hakim Karier dan Hakim non karier. Berdasarkan pengangkatannya sebagai Hakim di Mahkamah Agung  dikenal jenis Hakim Agung yang berdasarkan pengangkatan sebagai Hakim Agung karier dan Hakim Agung non karier.

Hakim karier adalah hakim yang pada awal bekerja, merintis profesinya dari awal sebagai hakim di dunia peradilan.

Berbeda dengan hakim non karier adalah hakim Mahkamah Agung yang pada awal profesinya bukanlah sebagai hakim, bisa saja dosen, advokat sebelumnya. Setelah melalui berbagai macam saringan akhirnya baru menjadi hakim agung.

Hanya di Mahkamah Agung dikenal hakim non karier. Di jajaran badan peradilan dibawah Mahkamah Agung seperti Pengadilan Tinggi dan Pengadilan tidak dikenal Hakim non karier.

Dengan demikian secara formal di Mahkamah Agung terdapat 3 jenis hakim yaitu Hakim karier, Hakim non karier dan Hakim ad Hoc. Sedangkan di jajaran badan peradilan dibawahnya (Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri) hanya 2 jenis hakim yaitu hakim karier dan hakim ad hoc.

Mengenal penggolongan formal jenis hakim sangat berguna untuk mengetahui tentang masalah kewenangannya. Fungsi hakim sebagai pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman sangat penting. Oleh karena itu fungsi tersebut tidak diperoleh dengan mudah, sehingga harus diatur dengan Undang2.

Pengenalan jenis hakim dari berbagai fungsinya dengan maksud untuk mengetahui apakah jabatan tersebut telah dilaksanakan dengan tepat untuk memeriksa, mengadili dan yang terakhir memutus suatu perkara.

Jenis hakim yang tidak tepat menjalankan fungsinya melaksanakan kekuasan kehakiman akan berakibat fatal.

Kualitas putusan hakim tidak terbatas penilaiannya pada substansi materi putusan, tetapi masalah kewenangan hakim juga menentukan sahnya suatu putusan.

Suatu putusan hakim yang cacad formal karena hakimnya tidak punya kewenangan akan merupakan berpotensi menimbulkan masalah dalam kepastian hukum dan tentunya berakibat buruk kepada penegakan hukum dan keadilan.

Hakim Pemilah Perkara.

Jumat 22 Januari 2021 Mahkamah Agung (MA) resmi memiliki 17 orang Hakim Pemilah Perkara di tahap kasasi dan tahap Peninjauan Kembali setelah dilantik dan disumpah oleh Panitera MA Made Rawa Aryawan di lantai 2 Tower Gedung MA. Pembentukan Hakim Tinggi pemilah perkara di MA dianggap sebagai terobosan dibawah pimpinan Ketua MA Muhammad Syarifudin (Sindonews.com, Sabtu 23-1-2021).

Akan tetapi tidak dijelaskan apa dasar hukum adanya kehadiran dan berwenangnya Hakim Pemilah Perkara memeriksa perkara di Mahkamah Agung.

Sebagai mana kita ketahui bahwa jabatan hakim ditetapkan dengan Undang2 sebagai pejabat negara untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan suatu perkara atau menjalankan kekuasaan kehakiman (Pasal 19 UU Kehakiman)

UU Kehakiman hanya mengenal ada 3 jenis Hakim di Mahkamah Agung yaitu hakim karier, non karier dan hakim ad hoc, tidak ada yang namanya hakim pemilah perkara (Pasal 1 (5), 30 dan 32 UU Kehakiman)

Walaupun tugas hakim pemilah perkara tidak memutuskan perkara, tapi diberi kewenangan untuk memeriksa apakah suatu perkara mengandung question of fact (mengulang fakta) dan atau mengandung question of law (kesamaan dasar hukum) atas yang telah diputus oleh hakim sebelumnya (judex facti). 

Skenario berikutnya Hakim Agung langsung memutus menyatakan perkara tidak dapat diterima (niet onvankelijke verklaard - NO) apabila ternyata hakim pemilah perkara menemukan materi tersebut.

Pemberian kewenangan untuk memeriksa

suatu perkara merupakan kewenangan kekuasaan kehakiman yang seharusnya ditetapkan oleh Undang2. Dari skenario pembentukan dan pemberian kewenangan hakim pemilah perkara, hakim agung yang menangani perkara nampaknya terikat dengan opini hasil pemeriksaan hakim pemilah perkara. 

Hal demikian sama saja hakim pemilah perkara yang memutus perkara tersebut. Apakah ini bukan salah satu bentuk pelecehan kewenangan hakim agung yang seharusnya mandiri, bebas dari segala intervensi dan pengaruh dari kekuatan lain? Apakah ini bentuk campur tangan urusan peradilan oleh pihak diluar kekuasaan kehakiman?  (Pasal 1 (1) dan Pasal 3 UU Kehakiman).

Hadirnya hakim Pemilah Perkara dengan alasan untuk bertugas mempercepat proses memutus perkara  sampai tahap minutasi juga tidak tepat.

Berdasarkan Pasal 11 UU Kehakiman menyatakan bahwa dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara, hakim dibantu oleh seorang Panitera. Jadi untuk mempercepat proses memutus perkara menurut undang2 tidak dibutuhkan hakim untuk membantu Hakim Agung, yang dibutuhkan adalah Panitera. 

Fungsi Panitera sangat berbeda dengan fungsi hakim. Panitera lebih banyak berfungsi adminstratip dibanding fungsi hakim yang membuat kebijakan. Kedua fungsi itu jelas tidak bisa dicampur aduk. Bisa berabe akibatnya.

Adanya alasan penumpukan perkara di MA karena kekurangan Hakim Agung tentunya tidak bisa dijadikan dasar untuk melantik Hakim Pemilah Perkara mengisi kekurangan Hakim Agung. Hakim Agung tentunya, apapun alasannya tidak sama atau identik dengan hakim pemilah perkara.

Menurut Benny K Harman anggota Komisi III DPR, menurut UU seharusnya jumlah Hakim Agung 60 orang. Saat ini MA hanya memiliki 46 Hakim Agung, sehingga diduga akan mengakibatkan menumpuknya tunggakan perkara. Sehingga DPR mendorong agar Komisi Yudisial (KY) memperbaiki sistim perekrutan hakim agung agar kuota hakim agung terpenuhi dengan tetap menjaga kualitas yang dihasilkan (Kompas 26 Januari 2021).

Jadi masalah kurangnya hakim agung sehingga terjadi penumpukan perkara di MA bukanlah masalah internal MA, tapi karena proses rekrutmen KY yang lamban. 

Nampaknya MA tidak punya diplomasi untuk memaksa KY mempercepat proses rekrutmen, sehingga jadi panik dan mengambil langkah yang terburu2 dengan mengangkat dan melantik hakim pemilah perkara.

Pertanyaan yang cukup menggelitik untuk dicari jawabannya, apakah putusan yang ditetapkan oleh Hakim Agung berdasarkan pemeriksaan Hakim Pemilah Perkara tidak cacad formal?

Putusan yang dibuat oleh hakim agung seharusnya berdasarkan pemeriksaan dan analisanya sendiri.

Pada waktu suatu putusan didasarkan oleh pihak lain (Hakim Pemilah Perkara) apakah kewenangan independensinya yang diberikan oleh UU masih bisa dipertanggung jawabkan?

Kewenangan Hakim Non Karier Menangani Kasus Korupsi.

Selain adanya potensi masalah putusan hakim agung yang diintervensi oleh hakim pemilah perkara, saat ini juga telah terjadi putusan hakim agung di tingkat kasasi dan peninjauan kembali (PK) yang juga cacad formil. Parahnya lagi putusan2 tersebut menyangkut putusan perkara korupsi yang merupakan kejahatan luar biasa.

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi adalah pengadilan khusus dibawah lingkungan Peradilan Umum yang diatur dalam Pasal 2  Undang2 Nomor 46 tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (UU Pengadilan Korupsi).

Oleh karena Pengadilan Tindak Pidana korupsi merupakan pengadilan khusus, maka UU Pengadilan Korupsi juga mengatur tentang hakim yang juga khusus.

Dalam Pasal 1 UU Pengadilan Korupsi kembali merumuskan jenis2 hakim yang ada di lingkungan pengadilan tindak korupsi untuk menegaskan apa yang telah diuraikan dalam Pasal 30, Pasal 1 (9) dan Pasal 32 UU Kehakiman tentang adanya jenis hakim karier dan hakim ad hoc.

Dalam melaksanakan pengadilan tindak korupsi menuntut hakim yang menanganinya dengan persyaratan khusus dimana hakim tersebut dibebaskan dari tugasnya untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara lain selain perkara korupsi.

Selain itu secara tegas Pasal 10 (1) UU Pengadilan Korupsi menyatakan bahwa kualifikasi formal yang diberi kewenangan memeriksa, mengadili dan memutus perkara korupsi hanya Hakim karier dan Hakim ad hoc. Sedangkan hakim non karier tidak disebutkan sama sekali mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara korupsi.

Dalam kenyataaannya di MA sudah banyak perkara korupsi yang diputus oleh hakim non karier pada tingkat kasasi dan peninjauan kembali.

Contoh yang paling gampang adalah perkara2 korupsi yang menarik perhatian masyarakat karena hakim agung Artidjo Alkostar ketika masih menjabat telah menghujani para koruptor dengan hukuman yang jauh lebih berat ketika perkara naik kasasi atau peninjauan kembali di MA.

Padahal senyatanya Artidjo dalam pengangkatannya sebagai hakim agung berasal dari hakim non karier yang nota bene tidak mempunyai kewenangan untuk melaksanakan kekuasaan kehakiman pada pengadilan khusus korupsi.

Secara hukum dapat dinilai dengan tidak berwenangnya hakim non karier melaksanakan kekuasaan kehakiman pada pengadilan khusus korupsi akan menjadikan setiap putusan perkara korupsi yang ditanganinya menjadi cacad formal. 

Suatu putusan yang cacad seharusnya tidak mempunyai kekuatan eksekusi. Jadi pemenjaraan para koruptor berdasarkan putusan yang cacad adalah tindakan sewenang2 yang telah melampaui hukum.

Selain  itu kesalahan melaksanakan fungsi hakim yang seharusnya dilakukan oleh hakim karier atau hakim ad hoc, tapi dilaksanakan oleh hakim non karier akan menciptakan peluang hukum bagi koruptor untuk lepas dari sanksi penjara.

Sampai saat ini belum ada para koruptor melalui pengacaranya menggunakan celah dan peluang hukum ini untuk keuntungannya, bukan berarti peluang ini bukan peluang emas bagi koruptor untuk lolos dari hukuman.

Sebaiknya MA mulai memikirkan tindakan hukum antisipatif dan preventif sebelum peluang hukum ini menjadi populer di kalangan para koruptor yang akhirnya akan menjadi ancaman serangan masif bagi penegakan hukum korupsi.

Tentunya masyarakat yang begitu kagum akan tindakan hakim Agung Artidjo yang menghukum berat para koruptor akan berbalik menjadi kecewa nelangsa karena MA telah salah memakai kewenangan hakim non karier untuk perkara korupsi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun